Sejumlah 600-an petani Jambi melakukan aksi jalan kaki 1000 kilometer ke Jakarta. Aksi jalan kaki di mulai dari Kantor Gubernur Jambi pada hari Rabu, tanggal 16 Maret 2016 pukul 13.20 WIB menuju Istana Negara memakan waktu kurang lebih 40 hari. Rute yang akan ditempuh adalah dari Jambi, Sumsel, dan Lampung, yang merupakan daerah yang bergolak karena konflik agraria.
Terik matahari yang cukup menyengat dan panjangnya perjalanan yang harus ditempuh tak menyurutkan barisan perempuan dan ibu-ibu yang tergabung dalam rombongan aksi. Semangat mereka tak surut walaupun harus menggendong anak-anak mereka dengan baju yang basah kuyup oleh keringat. Sedikitnya terdapat 40 perempuan petani dan beberapa ibu yang membawa 10 anak turut serta dalam rombongan aksi petani Jambi tersebut. Para ibu terpaksa membawa serta anak-anaknya yang masih kecil karena tidak mungkin meninggalkan mereka sendirian di rumah. Saking semangatnya, seorang Ibu yang habis menjalani operasi-pun turut serta mengikuti aksi bersama ratusan petani lainnya.
Para perempuan merasa harus turut serta memperjuangkan hak mereka, karena sudah bosan dengan penderitaan yang mereka alami. Setiap saat pihak perusahaan perkebunan dengan seenaknya melakukan penggusuran. Dalam penggusuran tersebut tak sedikit pihak perusahaan melibatkan para preman untuk meneror dan menakut-nakuti petani. Di pihak lain, nasib petani dari hari ke hari tidak semakin membaik tetapi semakin menderita. Hal ini dikarenakan harga karet anjlok di pasar dunia.
Menurut Nurlela, perwakilan API-Kartini Jambi, “Rata-rata petani karet hidup pas-pasan dan banyak yang miskin. Harga getah karet hasil sadapan para petani hanya dihargai murah, yakni Rp 4000/kg. Kalau dalam sehari kami mampu menyadap getah karet sekitar 10-14 kilogram, maka rata-rata kami hanya mendapatkan penghasilan Rp 40.000,- sampai Rp 56.000,- per hari. Bagaimana kami bisa menyekolahkan anak-anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan penghasilan tersebut? Sementara biaya sekolah sangat tinggi dan harga kebutuhan pokok semakin melambung.”
Atas dasar inilah para perempuan petani rela bergabung bersama ratusan petani Jambi lainnya memperjuangkan nasib mereka dan nasib kaum tani Indonesia pada umumnya mewujudkan keadilan agraria. Nurlela menyampaikan bahwa sebagian petani dan Suku Anak Dalam masih ada yang bertahan dan melangsungkan aksi di Batanghari.
“Kami kaum perempuan bergabung dalam aksi karena kami juga bagian dari keluarga petani Jambi. Kami berjuang untuk kepentingan kaum tani Indonesia agar segera diwujudkan keadilan agraria. Kami ingin agar Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA tahun 1960 ditegakkan. Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia mendukung perjuangan petani Jambi,” lanjut Nurlela
Agar para peserta aksi jalan kaki bertahan sampai di tempat tujuan, pada malam hari peserta beristirahat di tempat-tempat umum yang cukup luas untuk menampung sejumlah peserta. Selain beristirahat, para peserta aksipun membuka dapur umum untuk mempersiapkan keperluan nasi bungkus dan minum para peserta aksi. Para perempuan dibantu petani laki-laki bahu-membahu membentuk dapur umum berdasarkan wilayahnya masing-masing agar mereka tetap kuat selama menjalankan aksi jalan kaki.
Situasi Darurat Agraria
Aksi ini merupakan upaya penyelesaian konflik agraria di Suku Anak Dalam dan 4 Kabupaten. Mereka terdiri dari petani-petani yang sedang tercekik konflik agraria di Jambi, seperti Suku Anak Dalam (SAD), petani dusun Mekar Jaya (Sarolangun), petani Kunangan Jaya I dan II (Batanghari), dan petani Tanjung Jabung Timur.
Konflik agraria yang dialami SAD dengan PT. Asiatic Persada (AMS/Wilmar Group) sudah sejak tahun 1986. Tetapi sampai sekarang tidak selesai. Sedangkan Konflik agraria antara petani Kunangan Jaya I dan II (Batanghari) dan petani Mekar Jaya (Sarolangun) dengan PT.Agronusa Alam Sejahtera dan PT.Wanakasita Nusantara (Barito Group) serta PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) sudah sejak tahun 1990–an.
Konflik agraria yang dialami petani Jambi ini hanyalah sebagian kecil dari segunung kasus konflik agraria di seantero Indonesia. Merujuk pada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 terjadi 252 kasus konflik agraria di Indonesia, yang menyeret 108.714 keluarga. Jika diakumulasi dalam satu dekade terakhir, terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia.
Situasi “darurat agraria” itu ditunjukkan oleh struktur kepemilikan tanah yang makin timpang. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72. Lalu, menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85 persen rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.
Di Jambi ini ada banyak sekali konflik agraria yang melibatkan petani dengan perusahaan. Bahkan sebagian konflik itu sudah ada yang berpuluh tahun. Konflik agraria telah menyebabkan petani kehilangan aksesnya terhadap tanah. Akibatnya, selama konflik itu tidak terlesaikan, nasib petani pun akan terkatung-katung tidak jelas.
Atas situasi dan kondisi tersebutlah, maka petani Jambi mendatangi Pemprov Jambi dan mendesak Gubernur Zumi Zola untuk segera membentuk Komite Penyelesaian Konflik Agraria yang bekerja berdasarkan amanat pasal 33 UUD 1945. Dengan menyatakan “darurat agraria”, pemerintah Provinsi hingga Kabupaten bisa menjadikan penyelesaian konflik agraria ini sebagai salah satu prioritas kerja.
Para petani berharap bahwa perjuangan mereka di Jambi mendapatkan dukungan dan jawaban yang positif dari Presiden Jokowi. Karena adanya darurat agraria tersebut petani Jambi menuntut kepada Presiden Jokowi untuk membentuk Dewan Nasional/Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria yang berpedoman pada konstituasi Pasal 33 UUD 1945 dan UU PA No. 5 Tahun 1960.
Berbagai upaya sudah ditempuh oleh petani untuk mengusahakan penyelesaian konflik tersebut, mulai dari negosiasi, aksi massa, hingga aksi pendudukan. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian tuntas atas konflik itu. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan petani Jambi memilih aksi jalan kaki ke Jakarta, di mana merupakan tempat para pemangku kebijakan tertinggi Republik ini.
Kronologi Aksi Jalan Kaki 1000 kilometer Jambi-Jakarta:
Rabu, 16 Maret 2016: masa petani mendatangi pendopo Pemprov Jambi untuk bertemu Gubernur Zumi Zola. Dalam aksi tersebut, para petani mendesak Gubernur untuk memperjuangkan pengembalian tanah ulayat milik Suku Anak Dalam (SAD) 113 seluas 3550 ha yang dirampas oleh PT Asiatic Persada. Perwakilan petani diterima untuk berdialog dengan Asisten I Setda Provinsi Jambi, Kailani, SH, M.Hum. Pihak Asisten I berjanji akan menyampaikan tuntuan petani langsung ke Gubernur.
Usai menggelar aksi di kantor Gubernur, para petani kembali ke Pendopo kantor Gubernur. Malam hari para petani menginap di Pendopo kantor Gubernur.
Kamis, 17 Maret 2016: rombongan mulai bergerak melanjutkan aksi ke Jakarta. Saat sudah menempuh jarak 5 kilometer, karena panas terik matahari, tiga orang petani pingsang di jalan. Ketiganya adalah Yasim (50), Yesus (40), dan Ratna. Kemudian, menjelang beristirahat, kembali seorang ibu bernama Waginem (39) jatuh pingsan.
Setelah berjalan kaki berjam-jam, sekitar pukul 18.00 WIB, petani singgah beristirahat dan menjalankan sholat Magrib di Masjid di kelurahan Bagan Pete, Kota Baru, Jambi. Malam harinya para peserta aksi menginap di Masjid di kelurahan Bagan Pete, Kota Baru, Jambi.
Jumat, tanggal 18 Maret 2016: Jumlah peserta aksi bertambah karena adanya petani yang mulai bergabung di sepanjang perjalanan menjadi 700-an peserta. Peserta aksi jalan kaki memulai aksinya pagi hari di seputar Kota Jambi menuju Jalan Lintas Timur Sumatera.
Siang hari pukul 11.00 WIB massa aksi jalan kaki tiba di Simpang Tempino Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi dan disambut langsung oleh Bapak Drs. Rossa Candra Budi, M.Pd, Camat Mestong dan Kapolsek Mestong. Pukul 11.00 WIB, massa aksi beristirahat di Balai Benih dan Pembibitan Provinsi Jambi.
Setelah melakukan aksi kaki jalan kaki selama 3 hari, rata-rata para peserta mengalami pegal dan keram kaki. Semalam mereka beristirahat dan menginap di Aula Kantor Camat Mestong.
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024