Jakarta – World Resources Institute (WRI) Indonesia merayakan ulang tahun ke 10 tahun di Thamrin Nine Ballroom, Jakarta Pusat pada Senin (5/8/2024).
World Resources Institute (WRI) Indonesia, didirikan di Indonesia dengan nama Yayasan Institut Sumber Daya Dunia, adalah lembaga kajian independen yang mendorong pembangunan sosio-ekonomi nasional secara inklusif dan berkelanjutan.
Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia menyampaikan kegiatan ini bertujuan untuk memperingati 10 tahun dukungan WRI Indonesia di Indonesia, bagaimana strategi global dan arah baru lembaga kepada pemangku kepentingan. Serta memperkuat hubungan dengan mitra-mitra kunci dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Kegiatan yang berlangsung dari jam 18.00 WIB sampai dengan 21.00 WIB ini dilanjutkan dengan diskusi publik bertajuk Transisi Besar untuk Manusia, Alam, dan Iklim di Indonesia. Hadir sebagai narasumber adalah Dino Patti Djalal, Mari Elka Pangestu dan Mahyeldi Ansharullah.
Tantangan Sektor Industri dan Energi
“Ini adalah dekade penting bukan hanya untuk Indonesia, tetapi secara global untuk mengurangi emisi secara ambisius sebesar 43 hingga 50 persen. Jika kita ingin mencapai net zero pada tahun 2050, kita harus mulai sekarang. Akhir-akhir ini kita merasa sepertinya neraka bocor karena suhu bumi naik hingga 4 derajat celcius. Demikian pula kenaikan 1,5 derajat celcius di Paris. Jadi ini benar-benar biang dari segala masalah.” tegas Dino Patti Djalal.
Perlu dicari solusi yang tepat atas permasalahan ini. Muncul ide perlunya solusi eksponensial, yaitu pola pikir berani yang menantang kita untuk membayangkan masa depan dengan peluang tak terbatas. Misalnya menuju 2030 secara global menargetkan 75% kendaraan dunia menjadi Electric Vehicle (EV). Kemudian naik dari 75% menjadi 95% pada tahun 2030. Sehingga tahun 2034 diharapkan bisa mencapai 100%. Menurutnya, Indonesia bisa menjadi bagian dari solusi tersebut.
Sementara itu, Mari Elka Pangestu mengajak para hadirin untuk flashback ke tahun 2007. Di mana, pertemuan UNFCC menjadi turning point terkait pentingnya melakukan advokasi iklim. Komitmen berlanjut di Paris dan Glasgow. Terjadi perkembangan yang luar biasa dari segi kesadaran.
“Dari sinilah muncul narasi utamanya, bagaimana kita bisa memasukkan komitmen itu ke dalam RPJMN dan RPJPK. Masuk di dalam dokumen perencanaan Bappenas. Nah itu adalah kemajuan yang dilakukan oleh Indonesia. Dalam kenyataannya, sejak 2015 terutama, Indonesia telah berhasil mengurangi deforestasi. Dan itu diakui,” tuturnya tentang pencapaian yang telah diperoleh oleh WRI Indonesia.
Ia melanjutkan bahwa telah terjadi penurunan efek gas rumah kaca atau CO2 yang sukup signigikan dengan dipertahankannya hutan dan gambut. Namun demikian ada yang tetap naik yaitu energi dan industri. Itulah tantangannya, bagaimana mengurangi emisi karbon yang angkanya mencapai 74%. Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana meningkatkan sumber energi baru dan terbarukan. Salah satu tantangan terbesar adalah transisi energi karena industri akan tumbuh, ekonomi akan tumbuh dan kita menginginkan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ia menyoroti, Indonesia deforestasinya lebih besar dari Brazil tapi monetisasinya jauh lebih kecil, yang berarti kita tidak mengambil peluang itu dengan baik. monetisasi berarti harus bisa terukur, bisa diuangkan sebagai carbon credit dan itu ada kaitannya dengan pasar karbon yang perlu kita bentuk. Jadi isu penting lainnya dalah pembentukan pasar karbon di Indonesia dan bahwa carbon credit itu bisa diperdagangkan lintas batas.
“Itu salah satu isu kebijakan yang kita hadapi saat ini kalau kita ingin benar-benar monetisasi carbon credit dan menurut saya potensinya luar biasa, di luar deforestasi dan reforestasi, ada program besar mangrove, kita akan restorasi mangrove secara besar-besaran, itu juga bisa dimonetisasi,” lanjut Mari Elka Pangestu.
Posisi Strategis WRI Indonesia
Ada kemajuan yang baik dalam menurunkan tingkat deforestasi, tapi tantangan besar adalah pada sektor energi dan industri yang terus naik. Jadi bagaimana kita mengurangi emisi CO2 dari sektor energi dan industri, inilah tantangan besar. Dan untuk Indonesia, prioritas dalam jangka pendek, menengah, panjang adalah untuk memastikan transisi energi yang berkelanjutan tapi adil. Kita perlu menjaga aksesibilitas energi untuk semua lapisan masyarakat dan memastikan bahwa harga energi tidak melonjak tajam.
Bagaimana kita bisa melakukannya? Kita perlu meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan. Di sini, WRI bisa memainkan peran besar dalam memberikan saran kebijakan berbasis data untuk mendorong adopsi energi terbarukan dan membantu pemerintah membangun kerangka regulasi yang mendukung investasi di sektor ini.
Tantangan kedua adalah membangun narasi yang kuat tentang keuntungan ekonomi dari transisi hijau. Dunia bisnis perlu diyakinkan bahwa ini bukan hanya tentang tanggung jawab lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan peluang bisnis baru dan meningkatkan daya saing. WRI bisa berperan dalam menyediakan bukti-bukti bahwa pertumbuhan hijau dapat berjalan seiring dengan peningkatan ekonomi.
Dan yang terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, adalah monetisasi kredit karbon. Ini adalah area di mana Indonesia memiliki potensi besar tapi perlu regulasi yang jelas dan pasar karbon yang efektif. WRI bisa membantu merancang mekanisme yang transparan dan akuntabel untuk perdagangan karbon.
Kesimpulannya, WRI Indonesia berada di posisi yang strategis untuk mendorong kebijakan yang berbasis data, membangun narasi yang kuat tentang keuntungan ekonomi dari transisi hijau, dan membantu menciptakan mekanisme untuk monetisasi kredit karbon. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil, kita bisa mencapai target iklim kita dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil. (*)
Mila Nabilah
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme