19 Januari 2025

Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan

Ilustrasi Ibu Bumi: pngtree

0Shares

Ibu Bumi sedang berdarah, dan darahnya mengalir deras, membanjiri peradaban dengan kesakitan yang tak terucapkan. Seperti seorang perempuan yang tengah mengalami menstruasi paling menyakitkan, bumi kini mengerang di bawah beban perang, agresi, genosida, dan eksploitasi. Setiap tetes darah yang jatuh adalah simbol dari luka kemanusiaan yang terus menganga, tak kunjung sembuh. Ini adalah darah dari kerakusan manusia yang memanfaatkan kekuatan tanpa batas, dari ketidakpedulian yang merenggut nyawa, tanah, dan masa depan.

Di benua Afrika, kita melihat luka-luka itu begitu nyata. Sudan terjebak dalam perang saudara, menyisakan ribuan korban jiwa dan menghancurkan kehidupan rakyatnya. Kongo, dengan kekayaan alam yang luar biasa, terus menerus dieksploitasi tambang-tambang besar, merampas tanah dan kehidupan penduduknya. Mozambik, dihantam konflik yang terus membara, memaksa ribuan orang untuk meninggalkan rumah mereka, menjadikan mereka pengungsi di negeri sendiri.

Ibu Bumi sedang menstruasi—seperti perempuan yang menanggung sakit perut hingga tak sanggup berdiri, bumi ini menderita oleh kekerasan yang tiada henti. Tapi sakit ini bukan sekadar penderitaan; ia adalah penanda sebuah proses yang lebih dalam, sebuah panggilan untuk perubahan. Perempuan yang merasakan sakit ini tahu bahwa darah yang mengalir juga membawa potensi untuk penyembuhan. Di tengah rasa sakit, ada kekuatan untuk melahirkan dunia yang baru.

Perempuan adalah penjaga kehidupan. Sejak awal sejarah manusia, perempuan telah mengandung, melahirkan, dan menjaga kehidupan di atas bumi ini. Seperti ibu yang mengandung selama sembilan bulan, bumi ini juga mengandung potensi besar—potensi untuk kebangkitan, kedamaian, dan keadilan. Namun, bumi kita kini berada dalam kondisi yang kritis, seperti perempuan yang mengalami kehamilan yang penuh risiko. Setiap hari, tanahnya dirampas, udaranya tercemar, dan anak-anak yang lahir di atasnya harus menghadapi dunia yang penuh kekerasan dan ketidakpastian.

Saatnya bagi kita, perempuan, untuk menjadi bidan bagi kelahiran peradaban baru. Peradaban yang lebih lembut, lebih berkeadilan, lebih penuh kasih. Karena siapa lagi yang lebih memahami rasa sakit melahirkan selain kita, para perempuan? Kita tahu bahwa di balik setiap rasa sakit ada kehidupan baru yang menanti. Dalam pelukan kita, peradaban ini akan tumbuh—bukan melalui senjata dan kekerasan, tetapi melalui cinta dan kesetaraan.

Namun, proses melahirkan dunia baru ini tidak akan mudah. Seperti seorang ibu yang pernah mengalami keguguran, bumi ini juga telah kehilangan banyak hal. Perempuan-perempuan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin kehilangan tanah mereka karena eksploitasi tambang dan agresi militer. Di Palestina, perempuan-perempuan dipaksa menyaksikan anak-anak mereka gugur di medan perang. Di Myanmar, Rohingya terusir dari tanah kelahirannya. Bumi ini keguguran berkali-kali, kehilangan anak-anaknya yang tak sempat melihat dunia.

Namun, seperti perempuan yang tetap tegar setelah keguguran, kita, para perempuan, juga harus bangkit dan terus berjuang. Kita tidak bisa menyerah di tengah jalan. Perjuangan ini belum selesai. Setiap keguguran adalah luka yang dalam, tetapi juga sebuah pembelajaran. Kita tahu bahwa bumi ini bisa sembuh, bisa pulih, dan bisa melahirkan kehidupan yang lebih baik. Tetapi untuk itu, kita harus merawatnya dengan lebih baik, kita harus menyatukan energi kasih sayang yang hanya dimiliki oleh para perempuan.

Ibu Bumi sedang menstruasi, sedang melahirkan, dan pernah keguguran. Kita, perempuan, tahu betapa sakitnya semua proses ini. Namun kita juga tahu bahwa di balik setiap rasa sakit, ada peluang untuk kehidupan yang baru, ada kekuatan yang muncul dari rasa sakit itu. Perempuan harus bersatu untuk membangun dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil dan manusiawi.

Perubahan yang kita bawa bukan hanya untuk kita sendiri, tapi untuk setiap makhluk hidup di bumi ini. Perempuan yang merasakan sakit dalam kehamilan, yang menanggung penderitaan melahirkan, juga tahu bahwa mereka adalah pembawa kehidupan. Kita harus menyalurkan kekuatan ini untuk menciptakan peradaban baru, yang mengedepankan perdamaian dan kasih sayang. Di tangan kita, dunia yang penuh luka ini bisa disembuhkan.

Ini adalah panggilan suci bagi perempuan. Perjuangan ini adalah perjuangan bagi bumi yang sedang terluka, untuk anak-anak yang belum lahir, untuk generasi mendatang yang berhak mendapatkan dunia yang damai. Kita, perempuan, adalah penjaga kehidupan, pengasuh masa depan.

Masa depan peradaban ini ada di tangan kita. Mari kita bersama-sama membawa terang baru ke dunia yang gelap ini, menyembuhkan luka-luka bumi, dan memastikan bahwa darah yang tertumpah hari ini adalah langkah awal menuju kelahiran peradaban yang lebih damai dan manusiawi.

Milla Joesoef

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai