14 Desember 2024

Sitti Anira Kanaha, Sastra dan Perlawanan Perempuan

0Shares

Berbicara tentang sastra dan perlawanan perempuan, Redaksi Suluh Perempuan mewawancarai Sitti Anira Kanaha, Ketua DPK Suluh Perempuan Ternate. Dalam wawancara di IG Live @suluh_perempuan, Anira mengenalkan diri sebagai mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Khairun.

Kesehariannya, Anira aktif menulis baik karya fiksi maupun non fiksi. Salah satu tulisannya berjudul ‘Perempuan Itu Aku’ pernah dimuat di https://suluhperempuan.org.  

Sebagai penulis, Anira selalu menyempatkan diri untuk menulis setiap hari. “Ketika saya ingin menulis saya pasti akan menulis, walaupun hanya menulis dan menyimpannya di handphone (HP). Karena spontan, mungkin bahasa tingkat duanya kurang pas dan perlu diperindah lagi suatu saat nanti dengan gaya metafor misalnya. Sehingga bahasanya lebih menarik dan tidak membuat orang jenuh untuk membaca,” tuturnya.

Kebiasaan menulis di handphone ini cukup simpel namun beresiko. Misalnya, kalau handphone error maka tulisannya akan hilang.

“Saya punya trilogi cerpen, cerpen pertama berjudul ‘Perempuan itu Aku’. Cerpen kedua berjudul ‘Kepulangan’. Sayangnya, tulisan ketiga hilang karena handphone saya rusak. Begitulah suka dukanya menulis di handphone,” kata Anira sedih.

Menurut Anira, dalam cerpen berjudul ‘Perempuan Itu Aku’, ia ingin menyampaikan bahwa ketidakadilan itu bisa terjadi pada siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Walaupun, dalam kenyataan sehari-hari perempuan yang lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan dengan laki-laki.

Apa itu Sastra?

Sastra itu adalah hasil karya yang menggairahkan kehidupan dan disampaikan dengan menggunakan bahasa. Karya sastra adalah karya tulis atau lisan yang merupakan ungkapan pribadi manusia dalam bentuk gambaran kehidupan. Karya sastra bersifat imajinatif, kreatif dan menggunakan bahasa yang indah. Legenda, mite, karmina, dongeng, hikayat, gurindam, pantun, syair, seloka dan talibun adalah beberapa contoh karya sastra. Adapun contoh karya sastra modern adalah puisi, novel, cerpen, dan drama.

Menurut Aristoteles sastra adalah karya untuk menyampaikan pengetahuan, memperkaya wawasan dan memberikan kenikmatan yang unik. Aristoteles juga memandang sastra sebagai ilmu yang menyediakan kerangka kerja untuk memahami fenomena. Pemikiran Aristoteles tentang sastra, seni dan retorika telah mempengaruhi perkembangan kebudayaan Barat. Karya-karyanya telah memberikan panduan berharga bagi para penulis dan pementasan di seluruh dunia

Sastra sebagai Bentuk Perlawanan

Perlawanan bisa dilakukan dengan berbagai strategi dan taktik. Di dunia pergerakan kita mengenal demontrasi, aksi massa, pemogokan, boikot, dll. Namun, menurut Anira perlawanan juga bisa dilakukan dalam bentuk sastra.

Sastra sebagai bentuk perlawanan dapat ditemukan dalam tulisan Pramudya Ananta Tour berjudul Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer. Buku ini merupakan catatan Pramoedya Ananta Toer tentang derita gadis-gadis Indonesia yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang pada masa Perang Dunia Kedua.

“Dalam kehidupan ini kita banyak melihat ketertindasan, tapi seringkali orang hanya melihat dari segi romansa saja. Misalnya karya Buya Hamka berjudul ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk’ lebih menonjolkan aspek romansa dalam penceritaannya”, lanjut Anira.

Sebagai perbandingan, dalam dunia musik ada perbedaan yang menonjol antara karya musik Ariel Noah dan Iwan Fals. Lagu-lagu ciptaan Ariel Noah biasanya hanya berisi romansa, sementara lagu-lagu Iwan Fals berisi kritik sosial. Demikian pula dalam karya senirupa, ada bentuk perlawanan dan kritik sosial melalui gambar atau lukisan yang ditonjolkan oleh seniman Lekra di masanya. Sementara seniman Manikebu lebih menonjolkan sisi keindahannya.

Mengenal Sastrawan Indonesia dari Masa ke Masa

Angkatan Pujangga Lama atau Era Balai Pustaka: pada periode ini dunia sastra tanah air lebih banyak menghasilkan karya-karya sastra dengan genre roman. Periode Balai Pustaka ini mulai tahun 1920 sampai 1930. Adanya pembatasan karya oleh Pemerintah Belanda kala itu membuat mayoritas sastrawan periode ini didominasi oleh orang Sumatera. Ciri khas karya sastra Balai Pustaka kental dengan bahasa Melayu tinggi.

Angkatan Pujangga Baru: sebutan ini berawal dari sebuah majalah sastra dan budaya “Poedjangga Baroe” yang terbit 29 Juli 1933. Karya fenomenal di era ini adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Umumnya sastrawan era ini berkarya tanpa ingin campur tangan kolonial Belanda.

Angkatan 45: Jenis karya sastra pada periode ini bercorak realistis, di mana konteks tulisan lebih dipentingkan dibandingkan kaidah kebahasaan. Periode ini melahirkan banyak nama sastrawan besar Indonesia yang masih terkenal hingga hari ini. Adapun nama tokoh yang menandai periode sastra Angkatan 45 adalah Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Ida Nasution, Utuy Tatang Sontani, Balfas, J.E. Tatengkeng, dan Asrul Sani. Salah satu karya sastra paling fenomenal yang lahir pada periode ini adalah kumpulan puisi berjudul Aku, karya Chairil Anwar. Angkatan 1945 ramai dengan suara-suara perjuangan dan lantang menyampaikan kritik rakyat. Perjuangan yang berperang melalui tulisan.

Angkatan 1966: era di mana marak terjadi penyalahgunaan kekuasaan pada periode 1960-1970. Karya fiksi banyak ditulis. Angkatan 1980-an berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru, karya sastra mendapat pengawasan sangat ketat. Angkatan ini membahas romansa dan kehidupan sehari-hari.

Angkatan Reformasi: ditandai maraknya karya sastra bertema sosial politik dan seputar reformasi. Sastrawan era Reformasi merefleksikan keadilan sosial dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an. Nama-nama yang lahir di era ini antara lain: Rendra, Seno Gumira Ajidarma, Joko Pinurbo, Widji Thukul, dan masih banyak lagi.

Angkatan 2000: gaya bersastra semakin mengandalkan kekuatan literasi dan mengungkapkan cerita secara estetik. Tugas penulis adalah hanya menulis, pembaca lah yang mendefinisikan karya tulisan itu. Sastrawan era ini antara lain: Afrizal Malna, Andrea Hirata, Habibusrrahman El Shirazy. Selain itu lahir pula penulis perempuan seperti Ayu Utami.

Sastrawan dan Penulis Perempuan

Dunia kepenulisan identik dengan dunia laki-laki, perempuan selalu dinomorduakan. Hal ini berpengaruh juga dalam hal kepenulisan. Lahirnya penulis atau sastrawan perempuan mungkin sudah lahir sejak awal peradaban, sayangnya tulisan-tulisan mereka tidak banyak yang terekspose. Sebagaimana penulisan sejarah, nama-nama tokoh perempuan selalu hilang di telan jaman. Hanya sedikit nama perempuan yang diakui dan dikenal dalam sejarah sebagai penulis, misalnya Kartini, NH Dini, Ayu Utami, Dee Lestari, Linda Christanty dan Leila S. Chudlori.

“Saya berasumsi, jauh sebelum masa Kartini sudah ada perempuan yang menulis sebagai bentuk perlawanan dan kritik atas situasi yang ada di sekitarnya namun sayang karya-karyanya tidak terpublikasikan secara luas,” kata Anira.

Bahkan sampai hari ini, pandangan bahwa perempuan itu tidak penting masih ada. Ketika ada perempuan menulis atau mengekspose isu kekerasan seksual, orang lain seringkali menilai hal itu tidak penting.

“Ini adalah tantangan bagi penulis dan sastrawan perempuan. Bagaimana mereka tetap menulis dan menorehkan karyanya. Karena pada dasarnya tugas penulis hanyalah menulis, biarlah orang lain yang mendefinisikan dan menilai tulisan kita,” tegasnya.

Selain pengakuan atas keberadaan penulis perempuan, masih ada banyak tantangan bagi penulis perempuan. Misalnya: ada pembatasan komunitas ketika menulis di Facebook, adanya senshorship dari pemilik media mainstream. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan berbagai media alternatif yang ada. Sehingga berbagai isu dan kritik sosial yang ingin disampaikan sebagai bagian dari edukasi masyarakat tersampaikan. (*)

Humaira

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai