17 Juni 2025

Penulisan Ulang Sejarah Berpotensi Mereduksi Peran Perempuan dalam Sejarah

0Shares

Jelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Kementerian Kebudayaan menggagas proyek besar penulisan ulang sejarah. Menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon proyek ini akan melibatkan 113 penulis yang terdiri dari sejarawan, arkeolog dan ilmuwan humaniora lainnya dari 34 perguruan tinggi, 8 institusi, termasuk 20 editor jilid dan 3 editor umum.

Proyek penulisan ulang sejarah nasional ini akan menghasilkan 10 jilid buku sejarah resmi yang akan menjadi rujukan utama bagi bangsa Indonesia ke depan. Dikutip dari draft Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia Indonesia menyatakan bahwa tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air.

Setelah penyusunan kerangka kerja bulan Januari 2025, saat ini proses pengerjaan proyek penulisan buku telah mencapai 70 persen. Sejak awal ide ini digagas banyak menuai kritik dan kontroversi. Salah satu arkeolog Harry Truman Simanjuntak yang menempati posisi editor untuk bagian jilid satu tentang sejarah memutuskan keluar sebelum genap sepuluh hari tim bekerja. Menurut Truman, penghapusan prasejarah dari nomenklatur keilmuan dan diganti menjadi sejarah awal adalah sebuah kesalahan fatal.

Kritik terhadap Penulisan Ulang Sejarah

Ide dan gagasan Kementerian Kebudayaan tentang penulisan ulang sejarah Indonesia menuai kritik dari berbagai pihak. Alih-alih mendapatkan dukungan, proyek ini dikhawatirkan akan mereduksi sejarah dan semakin meminggirkan peran perempuan dalam sejarah Indonesia.

Sejumlah aktivis dan sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan penolakannya dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI pada Senin (19/52025). Mereka menilai bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini pengerjaannya terburu-buru dan tidak transparan. Selain itu, proses penyusunannya juga di bawah kendali rezim yang berkuasa sehingga berpotensi meminggirkan peristiwa-peristiwa sejarah yang berseberangan dengan rezim penguasa.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan penolakan AKSI terhadap penulisan ulang sejarah Indonesia bukan sekedar kritik terhadap proses penyusunannya yang terburu-buru dan tidak transparan, tetapi juga mempertanyakan urgensi dari rencana tersebut. Asvi melihat bahwa konsep penulisan ulang sejarah Indonesia yang dibuat oleh tim perumus dari Kementerian Kebudayaan pada 16 Januari 2025 sebagai manipulasi sejarah. Mengapa demikian? Karena penulisan penulisan ulang sejarah oleh sebuah rezim yang tengah memerintah berpotensi hanya mengambil hal-hal yang menguntungkan dari suatu rezim dan hal-hal yang dianggap negatif akan dihilangkan atau ditutupi.

Asvi menyebut 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru hingga Reformasi dan telah diakui oleh Presiden Joko Widodo pada 2023. Menurutnya, penulisan ulang sejarah Indonesia oleh rezim penguasa yang tengah memerintah berpotensi mengaburkan pemahaman tentang pelanggaran HAM berat di masa lalu yang memiliki indikasi negatif terhadap seorang atau rezim tertentu. Penolakannya berangkat dari kekhawatiran akan trauma masa lalu, di mana rezim berkuasa melakukan indoktrinasi melalui tafsir tunggal sejarah bangsa. Sehingga berpotensi menghapus peran tokoh atau kelompok dalam peristiwa penting di masa lalu dan menyulitkan proses pengungkapan kebenaran terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Jaleswari Pramodhawardhani, aktivis perempuan sekaligus Direktur LAB45 mengkhawatirkan penulisan ulang sejarah Indonesia akan menghilangkan peran perempuan dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa.

“Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, kita semua tahu bahwa negara ini memiliki episode sejarah yang panjang dalam proses pembentukannya, tetapi ada penghilangan sejarah di sana, yaitu Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang seakan dibiarkan menghilang,” kata Jaleswari.

Ita Fadia Nadia, sejarawan dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) Indonesia yang juga sekretaris AKSI menyoroti peran perempuan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia yang seringkali dipandang sebelah mata. Menurutnya, di masa pemerintahan Presiden Sukarno sudah dikirim sejumlah perempuan untuk ambil bagian dalam berbagai konferensi dunia. Akan tetapi, setelah berakhirnya pemerintahan Sukarno peran sejumlah perempuan tersebut seakan dibiarkan tenggelam.

Ita menyoroti hilangnya peran Setiati Surasto, seorang perempuan yang duduk di Komisi ILO nomor 100 untuk membicarakan tentang upah yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Ada pula Francisca Fanggidaej, tokoh perempuan dari kepulauan NTT yang diutus Bung Karno keliling dunia untuk mengabarkan tentang kemerdekaan Indonesia, namun perannya tidak ditulis dalam buku sejarah. Juga peran Suwarsih Djojopuspito yang dahulu aktif mengajar di sekolah liar yang tidak dituliskan dalam sejarah nasional.

Setelah reformasi, berbagai informasi sejarah yang sulit terungkap karena terhalang rezim otoriter Soeharto mulai mendapat perhatian publik. Namun, rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah yang tengah berkuasa dikhawatirkan membuat catatan-catatan sejarah dari pihak maupun kelompok yang berseberangan dengan rezim penguasa kembali terpinggirkan.

Alasan-alasan di atas yang membuat sejumlah sejarawan dan aktivis yang tergabung dalam AKSI menolak penulisan ulang sejarah Indonesia. Karena banyak sekali dokumen-dokumen kehebatan perempuan Indonesia seakan dihilangkan dari sejarah.

Keterlibatan perempuan dalam penulisan sejarah Indonesia masih mendapatkan porsi yang sangat kecil. Tema-tema penulisan sejarah Indonesia umumnya bergelut pada isu politik dan militer yang didominasi oleh dunia laki-laki. Kenyataan ini semakin jelas dalam penulisan sejarah yang androsentris, di mana perempuan sering dianggap tidak penting dan hanya pelengkap.

Penulisan ulang sejarah nasional yang terburu-buru dan tidak transparan juga dikhawatirkan semakin menyulitkan penyelesaianaa kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, di mana banyak sekali korbannya adalah perempuan.

Irianto Sulistyowati, Guru Besar Antropologi Hukum UI dan wakil ketua AKSI mengatakan bahwa peran sejarah dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap peristiwa-peristiwa sesudahnya tidak mungkin terlaksana bila penulisan sejarah tidak dilakukan secara objektif dan transparan. Ia mencontohkan bagaimana peristiwa 1965 dan 1998 yang sarat akan kekerasan melahirkan trauma di kalangan masyarakat.

“Ada begitu banyak perempuan yang menjadi korban dalam peristiwa 1965 dan 1998. Memorialisasi di Pondok Rangon menjadi satu-satunya bukti bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi dan menyasar sejumlah perempuan di tahun 1998. Jika itu tidak ada, mungkin kejahatan seksual terhadap perempuan di masa itu akan terus disangkal,” kata Sulistyowati.

Menghadirkan Her Story

Pada dasarnya penolakan terhadap penulisan ulang sejarah berangkat pada asumsi bahwa akan lebih baik bila sejarah dibiarkan tumbuh dari masyarakat, dari hasil penelitian dan penelusuran para peneliti maupun akademisi sehingga melahirkan pandangan yang beragam, tidak mengacu pada satu tafsir tunggal yang justru berpotensi mendistorsi sejarah atau justru meminggirkan peran perempuan dalam sejarah.

Selama ini penulisan sejarah (history) masih didominasi oleh laki-laki. Sehingga sudah seharusnya bangsa ini mulai menuliskan kembali sejarah perempuan (her story). Artinya, penulisan sejarah menempatkan perempuan sebagai subyek yang mendapat porsi lebih besar karena keterlibatan mereka dalam berbagai peristiwa sejarah, seperti perang, perundingan dan konferensi luar negeri.

Gerakan sejarah perempuan lahir sebagai respons terhadap ketidakadilan dalam penulisan sejarah. Sejarah perempuan berusaha untuk memahami dan menyoroti peran perempuan dalam berbagai aspek sejarah, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan sejarah gender merupakan subdisiplin sejarah yang lebih luas, yang mempertimbangkan peran gender dalam peristiwa sejarah. Sejarah gender membantu untuk memahami bagaimana peristiwa sejarah mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda.

Dengan semakin banyaknya penelitian dan penulisan sejarah perempuan, perspektif mengenai peran perempuan dalam sejarah mulai berubah. Perempuan mulai dilihat sebagai subyek sejarah yang aktif, bukan hanya obyek observasi. Selain itu keterlibatan perempuan dalam penulisan sejarah Indonesia menjadi sangat penting, sehingga porsinya harus lebih diperbanyak.

Siti Rubaidah

0Shares