Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia semestinya telah bertransformasi menjadi negara maju—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga dalam kecerdasan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial rakyatnya. Kesejahteraan ini merupakan syarat dasar bagi tumbuhnya demokrasi yang kuat, di mana rakyat tampil sebagai subjek yang berdaya, bukan objek eksploitasi. Dalam tatanan tersebut, rakyat harus memiliki posisi menentukan dalam memastikan penyelenggaraan negara berjalan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Salah satu agenda strategis untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah memastikan terbangunnya kedaulatan pangan. Dalam kerangka ini, rakyat adalah subjek utama. Kepemilikan lahan menjadi faktor mutlak karena produksi pangan tidak mungkin berjalan tanpa kontrol rakyat atas sumber penghidupan tersebut. Mereka memiliki hak untuk menentukan jenis produksi pangan yang dikembangkan secara mandiri, sesuai kebutuhan, tanpa intervensi kepentingan modal yang mengekang.
Namun, harapan tersebut kini menghadapi tantangan besar akibat semakin dominannya sistem kapitalisme dalam sektor pangan dan agraria. Kapitalisme menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama, dan pemilik modal besar menjadi aktor paling menentukan. Ironisnya, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru sering menjadi kepanjangan tangan kepentingan pemodal, terlihat dari kebijakan yang berjalan.
Ketahanan Pangan yang Semu
Pemerintah terus menggaungkan konsep ketahanan pangan, yang menekankan pada ketersediaan stok pangan dalam jumlah besar. Ketika stok menipis, impor dilakukan sebagai solusi cepat. Namun kebijakan ini justru menjadi ironi besar. Impor pangan menekan harga produksi pertanian dalam negeri dan membuat petani semakin terpuruk.
Petani: Produsen Pangan yang Justru Kelaparan
Di tengah narasi besar pembangunan ekonomi, kehidupan petani tetap berada dalam ruang sunyi dan penuh kesulitan. Mereka adalah produsen pangan, namun justru berada dalam kelompok paling rentan kelaparan—sebuah paradoks yang telah berulang kali disorot oleh FAO. Banyak petani terjebak dalam utang, panen dijual dengan harga rendah, hingga kehilangan lahan—yang merupakan sumber hidup dan martabat mereka.
Krisis Iklim, Kehancuran Ekologis, dan Perampasan Lahan Hijau
Krisis iklim turut memperburuk kondisi pertanian. Panen rusak, keanekaragaman hayati menurun, dan kearifan lokal tergerus oleh pertanian industrial yang mengedepankan efisiensi dan profit. Muncul pula fenomena green grabbing—perampasan lahan atas nama proyek energi hijau dan perdagangan karbon. Di atas kertas dianggap solusi, namun pada praktiknya membuka jalan baru bagi korporasi besar untuk menguasai lahan rakyat, merampas wilayah adat, dan mengubah fungsi lahan pertanian demi kepentingan investasi.
Melemahnya Peran Masyarakat Sipil
Negara juga dinilai kurang memberikan ruang bagi penguatan masyarakat sipil. Pengorganisasian rakyat—yang seharusnya menjadi kendaraan edukasi, solidaritas, dan kesadaran kolektif—tidak berkembang optimal. Situasi ini makin sulit karena ruang politik didominasi partai-partai pragmatis yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, membuat masyarakat mudah diadu dan terpecah demi kepentingan elite.
Tuntutan Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia
Menyikapi situasi tersebut, Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia menyampaikan beberapa seruan:
- Mendesak Presiden Prabowo Subianto menegakkan kedaulatan pangan dengan mengakhiri dominasi korporasi. Skema food estate terbukti tidak membawa manfaat signifikan bagi kesejahteraan petani dan bahkan justru melahirkan kerusakan lingkungan serta perampasan lahan.
- Negara harus menciptakan pasar yang adil dan pro-petani, bukan dikuasai oleh pemilik modal besar. Perlindungan terhadap rakyat harus diwujudkan melalui kepastian kepemilikan lahan dan akses input pertanian.
- Negara perlu bersikap proaktif dalam mengatasi krisis iklim dengan menggandeng petani sebagai mitra strategis. Proyek-proyek pembangunan yang merusak ekosistem harus dihentikan, dan diganti program berkelanjutan yang melibatkan petani dalam menjaga hutan, air, serta produktivitas lingkungan.
- Pemerintah harus membuka ruang bagi penguatan organisasi rakyat, serta menghentikan tekanan, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap petani serta aktivis yang memperjuangkan hak-hak agraria. Rakyat yang terdidik dan terorganisasi merupakan mitra strategis untuk membangun bangsa.
- Reforma agraria harus dijalankan secara konsisten dan nyata. Dominasi pemilik modal atas lahan, perampasan wilayah atas nama proyek strategis, termasuk pagar laut dan kebijakan serupa, perlu dihentikan. Penegakan hukum harus dilakukan tegas untuk memberikan efek jera bagi pelaku perampasan lahan.

Pernyataan ini disampaikan oleh John Erryson, Sekretaris Jenderal Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia, dalam rangkaian Kongres II Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia di Jakarta pada 16 November 2025. Rilis ini menjadi pedoman dan seruan bagi seluruh anggota, pengurus, kader, serta pihak terkait untuk memperkuat perjuangan mewujudkan kedaulatan pangan yang berpihak pada rakyat.(*)
(Sukir Anggraeni)

Terkait
Menanti Sistem Upah yang Lebih Adil: Pemerintah Siapkan PP Baru, Buruh Siap Kawal
Mendengarkan Suara Anak, Menjaga Masa Depan Dunia
Merawat Toleransi, Meneguhkan Perdamaian: Jalan Panjang Indonesia yang Berkeadaban