12 September 2025

Femisida: Ancaman Nyata di Balik Relasi Intim

0Shares

Femisida—pembunuhan terhadap perempuan karena alasan gender—adalah bentuk paling kejam dari kekerasan berbasis gender. Kasus ini berbeda dengan pembunuhan biasa, karena berakar pada relasi kuasa yang timpang, rasa memiliki, dan budaya misogini yang masih kuat di masyarakat.

Data PBB menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, pada tahun 2023 sekitar 51.100 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga. Sayangnya, banyak kasus tidak tercatat sebagai femisida, melainkan sekadar “pembunuhan umum”. Akibatnya, motif berbasis gender terhapus, dan upaya pencegahan menjadi terbatas.

Sementara di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat indikasi femisida terus ada setiap tahunnya: 95 kasus pada 2020, 237 kasus pada 2021, 307 kasus pada 2022, 159 kasus pada 2023. Mayoritas pelaku adalah suami, mantan suami, pacar, atau pasangan yang tinggal serumah.

Terbaru, kasus femisida yang terjadi pada awal September 2025 di Surabaya, Alvi Maulana (24) bertengkar dengan perempuan yang jadi kekasihnya berinisial TAS (25), dan berakhir dengan tindakan keji dan sadis.

Motif femisida selalu sama pemicunya, seperti rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, penolakan perceraian, atau kekerasan seksual. Semua ini mencerminkan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Lemah Data Kasus Femisida

Komnas Perempuan menekankan pentingnya femisida watch—mekanisme pemantauan resmi untuk mengumpulkan dan mempublikasikan data. Tanpa data yang jelas, negara akan kesulitan membuat kebijakan pencegahan.

Mengutip pernyataan Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024, Rainy Hutabarat, terkait data kasus femisida di Indonesia, “Pantauan melalui pemberitaan memiliki keterbatasan, karena femisida bisa tidak terdeteksi melalui kata kunci yang digunakan, perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu terjadinya femisida serta tidak mendapatkan kontruksi kasus secara utuh, hanya didasarkan pada indikasi dari informasi yang dituliskan oleh wartawan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch,” jelasnya

Apa yang Harus Dilakukan?

YLBH APIK Jakarta bersama dengan Mitra menyarankan untuk membangun awareness dan pencegahan agar femisita tidak terus berulang, juga menuntut dan mendesak agar institusi dan lembaga negara:

  • Polisi melakukan investigasi menyeluruh dan transparan;
  • Jaksa menuntut pelaku dengan memasukkan restitusi bagi keluarga korban;
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan dan ganti rugi;
  • Komnas Perempuan memantau dan mendorong aparat penegak hukum dalam penegakan hukum kasus pembunuhan terhadap perempuan;
  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memantau dan mengawasi perkembangan kasus dan mendorong pihak terkait untuk melakukan penanganan dan pemulihan;
  • Pemerintah menyediakan pemulihan dan pendokumentasian kasus femisida.

Ancaman femisida bukan hanya krisis keadilan—melainkan juga masalah ekonomi dan pembangunan yang mendalam. Bahkan sebelum tindakan mematikan terjadi, ketakutan akan kekerasan telah memberikan hambatan yang mengubah hidup perempuan dan anak perempuan. Hal ini memengaruhi mobilitas mereka, serta kesehatan fisik dan mental.(*)

Dari berbagai sumber

0Shares