12 September 2025

Menyelamatkan Harapan di Tengah Krisis Mental dan Ekonomi

0Shares

Tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Kesadaran Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Momen ini mengingatkan kita bahwa kasus bunuh diri masih tinggi di seluruh dunia. Penyebabnya beragam: tekanan ekonomi, masalah emosional, kesehatan mental, hingga hubungan dengan teman, keluarga, maupun pasangan.

Hari Kesadaran Pencegahan Bunuh Diri Sedunia ini pertama kali digagas pada 2003 oleh International Association for Suicide Prevention bersama World Health Organization (WHO). Data WHO mencatat, lebih dari 720 ribu orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Itulah mengapa kampanye ini hadir untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap bunuh diri dan pentingnya dukungan emosional.

Untuk periode 2024–2026, WHO mengusung tema: “Changing the Narrative on Suicide” atau Mengubah Narasi tentang Bunuh Diri. Pesannya jelas: hentikan stigma, jangan merendahkan orang lain, dan jadilah ruang aman yang mampu menguatkan sesama.

Potret Kasus di Indonesia

Indonesia pun tak lepas dari kasus memilukan:

  • Bandung, September 2025 – Seorang ibu muda, EN (34), ditemukan meninggal bersama dua anaknya. Ia meninggalkan surat wasiat yang menggambarkan rasa lelah dan kalah menghadapi hidup.
  • Tulungagung, Jawa Timur pada Agustus 2025 – Pasangan suami-istri tewas menenggak racun, meninggalkan surat yang menunjukkan tekanan ekonomi berat.
  • Bangkalan, Jawa Timur, Februari 2025 – NS (26), seorang ibu muda, gantung diri setelah menulis permintaan maaf pada keluarga.
  • Lubuklinggau, Sumatera Selatan, Januari 2025 – Seorang perempuan mengakhiri hidupnya karena beban utang dan pengangguran suami.

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, perempuan dan anak muda semakin rentan mengalami depresi hingga bunuh diri, terutama akibat tekanan ekonomi, kekerasan, maupun stigma sosial.

Perempuan sebagai “Filter Penderitaan”

Dalam banyak kasus, perempuan memikul beban ganda: mengurus rumah tangga, menjaga martabat keluarga, sekaligus menghadapi teror debt collector dan stigma masyarakat. Akibatnya, mereka sering menjadi “filter penderitaan” keluarga, menyerap tekanan mental paling besar ketika ekonomi runtuh.

Sayangnya, negara nyaris tak hadir. Layanan konseling terbatas, perlindungan sosial rapuh, dan kampanye pencegahan bunuh diri masih minim gaungnya.

Tanggung Jawab Bersama

Mencegah bunuh diri bukan hanya urusan individu, melainkan tanggung jawab kolektif. Kita perlu menciptakan ruang aman bagi perempuan, anak, dan semua warga melalui pendidikan, komunitas, dan kebijakan yang berpihak.

Pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan sosial yang melindungi rakyat, bukan justru membebani dengan pajak tinggi. Ironis ketika rakyat menjerit, sementara para pejabat menikmati kemewahan dengan gaji besar dan tunjangan berlimpah.(*)

Dari berbagai sumber

0Shares