Dari sebuah percakapan dengan Masita Riany (Kolektor batik tulis lawas dan kebaya, pegiat seni sastra, budaya, dan lingkungan)
Percakapan dengan Masita Riany seperti menyelami sebuah naskah kuno yang hidup, karena baginya batik bukan sekadar objek yang dikoleksi, tapi sebuah entitas yang bernapas, sebuah jiwa yang diwujudkan melalui titik-titik, garis-garis malam di atas kain.
“Bagi saya, batik tulis itu adalah perwujudan nyata dari nilai-nilai adiluhung Nusantara, setiap helainya adalah naskah peradaban yang mengukir sunyi, membawa pesan-pesan leluhur yang penuh makna, “katanya tenang.
Kecintaannya pada batik tulis dan kebaya bukanlah sebuah aksi temporer dan ikutan tren, karena ia secara independen dan kesadarannya sendiri telah sangat lama mengkoleksi serta menjadikan wastra dan kebaya sebagai identitasnya, jauh sebelum komunitas-komunitas wastra dan kebaya marak bermunculan beberapa tahun belakangan ini.
“Saya melihat fenomena komunitas-komunitas baru bermunculan beberapa tahun belakangan, ini positif dan saya sangat gembira. Ini adalah sebuah kemajuan dalam upaya kolektif kita mempertahankan seni budaya Batik Nusantara. Karena semakin banyak yang mencintai dan mengenakan, semakin kuat upaya pelestarian kebaya dan wastra nusantara ini. Apalagi saya juga melihat hadirnya komunitas yang selain berkain batik dan berkebaya, mereka juga bersanggul!, ”ujarnya sambil tersenyum.
Namun, di balik dukungannya, Masita teguh memegang prinsip apa itu batik sesungguhnya. Sebagai seorang pegiat seni budaya ia tegas membedakan antara seni budaya dan produk tekstil bermotif. “Definisi otentik batik itu jelas dan tidak bisa dikompromikan. Batik sejati, harus melalui proses yang melibatkan dua unsur fundamental: canting dan lilin atau malam, kita harus tetap kritis dalam memelihara keotentikan” tegasnya.

“Yang secara sah dapat disebut batik hanyalah batik tulis, dibuat dengan tangan penuh kesabaran, sementara batik cap dibuat menggunakan stempel tembaga, dan batik printing, meski coraknya mirip, pada hakikatnya itu bukanlah batik. Itu adalah produk tekstil bercorak batik, dibuat massal, diproduksi tanpa jiwa dan proses ritual dari canting dan malam. Membedakan hal ini adalah kunci untuk mempertahankan nilai seninya yang tinggi, “tambahnya lagi.
Masita menjelaskan tentang batik yang mulia. Batik berawal dari sebuah teknik melukis titik-titik, dari kata ‘amba’ dan ‘titik’, yang berkembang pesat di lingkungan keraton Jawa. Batik awalnya adalah seni yang sakral dan eksklusif. Motif-motif seperti Parang Rusak dan Kawung bukanlah sekadar hiasan; mereka adalah simbol kekuasaan, kesempurnaan, dan ajaran moral yang hanya diperuntukkan bagi raja dan bangsawan.
Penyebarannya sampai daerah pesisir justru memperkaya khazanah batik itu sendiri. contoh Mega Mendung dari Cirebon, ia bukan sekadar awan, tetapi simbolisasi tentang kesabaran dan kearifan dalam meredam amarah. Setiap daerah di masing-masing kota melahirkan ciri khasnya sendiri, menjadikan batik sebagai cermin jati diri kultural dan media transmisi nilai-nilai luhur yang tak ternilai.
Ketika ditanya tentang proses kreatif dibalik sehelai batik tulis, Masita menjelaskan bahwa itu adalah sebuah ritual yang butuh kesabaran tingkat tinggi. Dari mempersiapkan kain, nyorek atau menggambar pola, hingga proses inti yaitu nyangga atau mencanting, di mana tangan pengrajin harus stabil dan hatinya harus teduh. Kemudian proses pewarnaan atau medel yang berulang, dan akhirnya nglorod, meluruhkan lilin untuk membuka tabir keindahan yang tersembunyi. Sehelai batik tulis bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. Hasilnya adalah sebuah mahakarya yang unik, tidak ada yang sama persis, dan di situlah nilai seni tertinggi berada.
Sebagai seorang pegiat lingkungan dan mendalami ranah hukum, Masita tidak menutup mata terhadap tantangan berat yang menghadang batik di era modern. Dimanan batik adalah pilar ekonomi kerakyatan yang nyata, penggerak UMKM dan sektor padat karya. Namun, warisan kita ini menghadapi tiga tantangan krusial, pertama ancaman devaluasi nilai dari tekstil printing bercorak batik yang murah. Ini mengaburkan pemahaman masyarakat dan mengancam kelangsungan pengrajin tradisional. Kedua, krisis regenerasi. Sangat sedikit generasi muda yang mau bersabar mempelajari teknik membatik yang rumit ini. Dan ketiga, isu lingkungan dan plagiarisme. Limbah pewarna kimia dan maraknya peniruan motif adalah masalah serius yang membutuhkan solusi berkelanjutan dan perlindungan HKI yang kuat.
Meski tantangannya kompleks, visinya untuk masa depan batik tetap jelas dan penuh harapan. “Masa depan batik ada di tangan kita semua, dan generasi muda memegang peran vital, sebagai penerus keterampilan tangan dengan berguru pada para pengrajin batik, juga sebagai inovator dan advokat digital.
Masita membayangkan sebuah gerakan kolektif. Mereka bisa berkolaborasi dengan pengrajin batik tradisional, menciptakan desain-desain kontemporer yang membuat batik tetap relevan di kancah fashion global. Bekerja sama dengan para Designer Wastra Nusantara, memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi publik, menceritakan filosofi di balik setiap motif, dan mengajak untuk mencintai yang otentik. Juga tak kalah penting, kita perlu memperkuat sistem sertifikasi otentik dan mendorong praktik keberlanjutan, beralih ke pewarna alami, dan mengelola limbah batik dengan lebih bertanggung jawab.
Sebagai tambahan informasi, saat ini Jurusan Teknologi Batik masih pada jenjang D3, ada baiknya nanti jurusan seni batik diperbanyak dan ditingkatkan hingga S1.
Teknologi batik di Universitas Pekalongan memiliki akreditasi B, serta batik dan fashion di Institut Seni Indonesia Yogyakarta juga memiliki akreditasi B. Sementara itu, teknik batik di Politeknik Pusmanu, Pekalongan, memiliki akreditasi C.
Di jurusan ini dipelajari tentang teknik pembatikan, termasuk pula sejarah hingga filosofi batik. Dengan gelar Ahli Madya (A.Md.), alumni Teknologi Batik tak hanya tahu tentang batik dan terampil dalam membatik, namun juga dapat mengembangkan teknologi batik dan menciptakan usaha batik secara mandiri.
Di akhir percakapan, Masita Riany menyimpulkan dengan sebuah pernyataan; “Batik tidak boleh kita pandang hanya sebagai peninggalan masa lalu yang dikenang dengan nostalgia. Ia harus kita posisikan sebagai busana yang tetap relevan untuk saat ini dan masa datang. Batik tidak hanya indah secara visual, namun juga kaya secara filosofis, berkelanjutan secara lingkungan, dan jadi simbol nyata akan identitas dan kebanggaan kita. Batik adalah jiwa kita yang dituliskan pada kain. Dan tugas kita adalah memastikan bahwa jiwa itu terus hidup, bernafas dari generasi ke generasi selanjutnya.(*)
(Humaira)
Terkait
Saat “Donna Donna” Menggema di Aksi Women March Jakarta
Malak Mattar: “Saya Mulai Melukis untuk Melarikan Diri dari Rasa Takut akan Kematian”
Seruan Perlawanan Kolektif dari Women’s March Jakarta 2025