7 Desember 2025

5 Film yang Menggugah Kesadaran Tentang Kekerasan terhadap Perempuan

0Shares

Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia, bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, UN Women, dan UNFPA menyelenggarakan peluncuran sekaligus screening film dan diskusi “UNiTE Short Film Fellowship 2025”, Jumat (5/12/2025) di CGV fX Sudirman, Jakarta.

Acara ini adalah bagian dari kampanye global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan sekaligus mengajak pembuat film untuk menggunakan kekuatan cerita untuk menginspirasi perubahan. Fellowship ini juga bertujuan untuk mendukung para pembuat film dalam menciptakan cerita yang membuka percakapan, mengubah norma, dan menginspirasi diskusi publik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Berikut lima film terpilih yang telah melalui proses kompetitif, mencakup seleksi proposal dan wawancara dengan juri dari UN Women, UNFPA, dan Minikino.

1. Busa-Busa Di Piring

BUSA-BUSA DI PIRING, O.M.G Films / Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah / 2025

Produksi O.M.G Films ini bercerita tentang seorang anak perempuan, Mayang (10) merasa sebal karena harus pergi ke acara kumpul keluarga di Rumah Nenek karena trauma masa lalu. Namun di sana ia malah bertemu dua sepupu perempuannya dan kemudian merencanakan suatu “gebrakan” di acara kumpul keluarga.

Fala Pratika, sutradara film ini mengatakan: “Saya tumbuh dalam budaya konservatif yang menuntut perempuan untuk selalu “baik-baik”, sementara laki-laki dirayakan hanya dengan menjadi dirinya. Dari kecil saya diajari untuk menghormati yang lebih tua tanpa boleh bertanya “untuk apa?”, hingga kabar pelecehan seksual dalam keluarga saya membuat konsep hormat itu runtuh”.

Pengalaman itu meninggalkan luka bagi Fala, namun juga mengajarkan pentingnya ruang aman dan support system. Film ini mengikuti seorang anak perempuan yang menemukan kekuatan lewat sesamanya—bentuk perlawanan kecil yang lahir dari keinginan saling melindungi.

2. Dirias Perias

DIRIAS PERIAS, Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS) / Sulawesi Selatan / 2025

Produksi Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan. Di sebuah meja rias sempit, persahabatan antara seorang perempuan cis yang terjebak dalam perjodohan dan seorang transpuan yang pernah ditolak keluarga menjadi ruang lahirnya keberanian

Eman Memay Harundja, si sutradara film ini menjelaskan, bahwa sebagai transpuan ia menghadirkan tokoh transpuan yang berdaya dan memiliki daya lenting di tengah tekanan sosial. Salon adalah ruang aman dan nyaman bagi sebagian besar transpuan, ruang bebas berekspresi, untuk bekerja, berkolektif, bertahan hidup dan tempat berinteraksi secara sosial dengan masyarakat.

“Melalui film ini, saya berharap penonton merasakan kehangatan solidaritas dua perempuan yang saling menjaga dan menemukan keberanian untuk menentukan hidup mereka sendiri,” ungkapnya.

3. Fotome

FOTOME, Gertak Film Indonesia / Kalimantan Barat / 2025

Seorang perempuan muda dan sahabatnya menjadi korban pelecehan daring setelah foto lari mereka tersebar tanpa izin, memaksa mereka menghadapi tekanan keluarga, publik, dan fotografer lari yang arogan, hingga persahabatan dan harga diri mereka dipertaruhkan.

Sutradara film ini, Vera Isnaini, menjelaskan bahwa menghapuskan kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah langkah yang akan terus menerus diusahakan. “Melalui film ini kami ingin—setidaknya, teman-teman pelari mengetahui bentuk dan dampak dari kekerasan yang sedang beredar di lingkungan mereka. Ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman dan kepedulian tentang isu tersebut. Film ini juga diharapkan dapat menjadi pemantik diskusi tentang jalan keluar dari kekerasan di dalam lingkungan pelari perempuan,” katanya.

4. Malam Sepanjang Nafas

MALAM SEPANJANG NAFAS, Komunitas Film Kupang / Nusa Tenggara Timur / 2025

Meri ingin memperjuangkan keadilan untuk adiknya, Rina, yang mengalami pelecehan seksual oleh Om Nadus, kepala desa sekaligus paman kandung mereka sendiri.

Irwan Sebleku, sutradara, menjelaskan bahwa cerita ini berangkat dari kegelisahan mendengar cerita teman-teman tentang pelaku pelecehan yang adalah orang-orang terdekat di dalam rumah. Di sekitar Kota Kupang yang tidak jauh dari akses informasi dan akses terhadap lembaga hukum, masih ada kasus pelecehan seksual yang diselesaikan secara kekeluargaan dan secara adat. Pelaku tetap bisa melenggang bebas setelah melakukan aksinya. “Keresahan inilah yang mendorong saya membuat film ini. Film ini bukan sekadar upaya dokumentasi; ini adalah sebuah kritik yang menolak normalisasi impunitas,” tegas Irwan.

5. Potret

POTRET, Yayasan Kembang Gula / Solo, Jawa Tengah / 2025

Terjebak dalam sesi pemotretan yang semakin salah arah, seorang perempuan harus memilih antara mengorbankan kenyamanannya demi karier atau mendengarkan instingnya yang mengatakan bahwa sesuatu tidak beres.

Reni Apriliana mengatakan, bahwa sebagai sutradara ia ingin menyoroti bagaimana rasa tidak nyaman sering terselip di balik kata “profesional”. Film ini menghadirkan ketegangan batin yang sering tak diucapkan, ketika seseorang berusaha menjaga diri dalam sistem yang tidak memberikan ruang untuk consent atau persetujuan. “Glimpse” bukan sekadar kisah tentang pemotretan, tetapi tentang keberanian untuk sadar dan mempertahankan ruang aman bagi diri sendiri.[]

Humaira

0Shares