Pemimpin perang adalah orang yang memiliki kekuasaan atas pasukan militer dan wilayah, memimpin sejumlah pasukan yang tentu sudah terlatih dan dipersenjatai. Sebuah kerajaan atau negara sangat tergantung kepada seorang panglima/pemimpin perangnya untuk memastikan apakah pasukan yang ada siap menghadapi serbuan atau menyerang musuh.
Jenderal Soedirman, Tuanku Imam Bonjol, Jenderal Gatot Subroto, dan nama-nama lainnya telah berjasa bagi Republik dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, mereka memimpin gerilya, mengorganisir perlawanan rakyat, dan bertempur melawan penjajah.
Selain itu ada juga para Pemimpin Perang Perempuan yang turut andil dalam perjuangan pembebasan negeri dari penjajah Portugis dan Belanda. Mereka juga cakap memimpin pasukan, bertempur di lautan, atau gerilya di hutan-hutan.
Maka dalam rangka Hari Pahlawan 10 November 2025, Redaksi SuluhPerempuan.org coba mencatat ulang sederet panglima perang, pemimpin gerilya perempuan yang kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional atas jasa dan keberaniannya
1. Laksamana Malahayati
Malahayati lahir dari keluarga kerajaan Aceh, perempuan kelahiran 1 Januari 1550, adalah putri Laksamana Mahmud Syah, seorang panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada 1530 sampai 1539.
Setelah menyelesaikan pendidikan agama, Malahayati melanjutkan pendidikan militer di akademi militer milik Kerajaan Aceh, disana ia bertemu dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, keduanya menikah setelah lulus akademi militer.
Di usia 35 tahun, Malahayati dipercaya menjabat sebagai kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan panglima Protokol Pemerintah semasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.
Mengutip https://disnakermobduk.acehprov.go.id, Malahayati melakukan pertempuran pertamanya melawan Portugis di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586. Suami Malahayati, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga Kepala Pengawal Sultan memimpin pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, armada perang Kesultanan Aceh mampu mengalahkan Portugis, tetapi Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief gugur.
Malahayati kemudian menggantikan posisi suaminya dan diberi pangkat laksamana oleh Sultan Riayat Syah. Malahayati lalu membentuk Inong Balee, yakni 2.000 orang prajurit perempuan yang adalah janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis.

Pasukan Inong Balee yang dibekali 100 kapal perang besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan ini kerap dilibatkan dalam pertempuran melawan Portugis dan Belanda, pasukan ini begitu disegani dan ditakuti lawan.
Laksamana Malahayati, selain ahli dalam negosiasi, juga tangguh dalam pertempuran, bahkan ia berhasil membunuh pemimpin pasukan Belanda, Cornelis de Houtman pada 11 September 1599. Konon Cornelis de Houtman terbunuh oleh rencong Laksamana Malahayati dalam duel di atas kapal.
Laksamana Malahayati sendiri gugur saat memimpin pertempuran antara pasukan Inong Balee melawan pasukan Portugis di Teuluk Krueng Raya, di perairan Selat Malaka, pada 1615. Selain ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namanya juga disematkan pada salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut bernama ‘KRI Malahayati-362’.
2. Cut Nyak Dien
Lahir dari keluarga bangsawan di Lampadang, Aceh Besar tahun 1848. Ibunya adalah putri seorang Lampagar Uleebalang (pahlawan pejuang), sedang ayahnya seorang bangsawan dan panglima perang. Cut Nyak Dien sering diajak oleh ayahnya menghadiri pertemuan adat, disanalah ia mulai terpapar cerita bagaimana perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah.
Di usia yang masih muda, Cut Nyak Dien menikah dengan seorang pejuang Aceh bernama Teuku Ibrahim Lam.

Saat Perang Aceh berkobar pada 1873, suaminya ikut bertempur melawan Belanda dan gugur pada 1878. Kematian suaminya membuatnya marah dan Cut Nyak Dhien bertekad melanjutkan perjuangan. Ia juga berjanji tidak akan berhenti berperang sampai bisa mengusir Belanda dari tanah Aceh.
Tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah dengan seorang panglima perang bernama Teuku Umar. Pasangan ini bahu-membahu dalam pertempuran hingga kerap kali mengalahkan pasukan Belanda. Mereka bahkan terus bersama dalam perang gerilya selama 20 tahun, hingga Teuku Umar gugur saat pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899.
Sejak itu Cut Nyak Dhien melanjutkan perlawanan sekaligus memimpin perang gerilya di hutan-hutan Aceh. Tahun 1901 saat kesehatannya terus memburuk, Cut Nyak Dhien tetap memimpin gerilya, tapi tertangkap Belanda, dibuang ke Sumedang, hingga wafatnya pada 6 November 1908
3. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752 dengan nama Raden Ajeng Kustiah Retno Adi, ia adalah putri dari Pangeran Notoprojo yang terkenal sebagai Panembahan Serang, Pangeran Notoprojo adalah juga Bupati Serang, kemudian diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwana I.
Saat pertempuran VOC dengan pasukan Pangeran Notoprojo yang menolak perjanjian Giyanti (1755), putra Pangeran Notoprojo gugur, selanjutnya mempercayakan kepemimpinan pada putrinya, Nyi Ageng Serang.

Nyi Ageng Serang pernah ditangkap oleh Belanda, dibawa ke Yogyakarta, tapi dibebaskan, kemudian menikah dengan Pangeran Kusumawijaya.
Saat Pangeran Diponegoro memimpin sekaligus mengobarkan perlawanan terhadap Belanda pada 1825-1830, Nyi Ageng Serang bersama suami, beserta pasukannya bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang harus kehilangan suaminya yang gugur dalam sebuah peretempuran, namun itu tak menyurutkan semangatnya dan terus berjuang hingga di usia 73 tahun. Nyi Ageng Serang ahli dalam strategi perang, pasukannya kerap kali berhasil mengalahkan Belanda, seperti yang terjadi pada panggung pertempuran di Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang.
Dalam satu taktik perangnya, Nyi Ageng Serang pernah menginstruksikan prajuritnya untuk menutup kepala dengan daun keladi sebagai penyamaran, sehingga dalam jarak pandang musuh terlihat hanya seperti kebun tanaman keladi.
Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun, dimakamkan di Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo. Dianugerahi gelar Pahlawan Nasional lewat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/ Tahun 1974, tertanggal 13 Desember 1974.
4. Raden Ayu Yudokusumo
Namanya memang kurang populer, tapi ia adalah panglima perang perempuan di barisan kavaleri pasukan Diponegoro.
Pada masa Perang Jawa (1825-1830), ada sosok perempuan yang menjadi panglima dalam pasukan Perang Diponegoro bernama Raden Ayu Yudokusumo. Ia begitu garang hingga ditakuti pasukan Belanda.
Residen Yogyakarta, Frans Gerhardus Vlack (1831-1841) sampai kagum kepada pasukan Pangeran Diponegoro. Dirinya memberi perhatian khusus kepada istri-istri pembesar Jawa yang mampu membuat kerusakan cukup parah.

“Di antara perempuan yang sangat mampu bertindak kejam itu, Vlack menyebutkan dua nama: Raden Ayu Yudokusumo dan Raden Ayu Serang.” jelas Peter Carey dan Vincent Houben dalam ‘Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII – XIX’.
Setelah perjanjian Giyanti, Raden Ayu sempat menolak untuk pindah dari daerah Grobogan-Wirosari karena penolakan rakyat saat Inggris ingin mencaplok tanah. Tetapi, dia akhirnya harus pindah atas perintah Sultan Hamengkubuwono II.
Sosok yang tegas
Vincent Houben, sejarawan asal Belanda, menjelaskan bahwa Raden Ayu adalah sosok yang tegas dan menakutkan. Pernah suaminya yang kurang cakap mengambil keputusan, membuat Raden Ayu lebih dulu mengambil tindakan, satu langkah lebih awal.
Sikap garang dari Raden Ayu ini juga dicatat dalam serangannya kepada komunitas Tionghoa di tepi Bengawan Solo. Carey menjelaskan kebencian Raden Ayu ini karena peran orang Tionghoa yang menjadi penguasa gerbang cukai yang menindas masyarakat Jawa.
“Aksi di Ngawi itu membuat gelar pejuang yang garang. Seorang perempuan cerdas namun sangat menakutkan,” papar Carey.
Perjuangan Raden Ayu memunculkan semangat kaum perempuan lain untuk mengangkat senjata. Para perempuan di desa-desa sekitar Yogyakarta dilaporkan menyiapkan bubuk mesiu, maju ke medan perang dengan seragam tempur seperti halnya kaum pria.
5. Ida I Dewa Agung Istri Kanya
Nama Ida I Dewa Agung Istri Kanya jarang dikenal oleh masyarakat luas, bisa jadi karena minimnya data sejarah yang mendokumentasi peristiwa serta kisah hidupnya.
Ida I Dewa Agung Istri Kanya, adalah sosok perempuan luar biasa dalam sejarah Bali. Ia memimpin Kerajaan Klungkung dari tahun 1814 hingga 1850, dan karena pilihannya untuk hidup melajang seumur hidup maka masyarakat menjulukinya “Ratu Perawan Klungkung.”
Selain sebagai ratu, Istri Kanya juga dikenal sebagai politikus, sastrawan, penggiat budaya, serta pemimpin perang yang berani melawan kolonialisme Belanda. Keberaniannya membuat Belanda menjulukinya “wanita besi,” setelah ia berhasil memimpin serangan dan menewaskan Mayor Jenderal A.V. Michiels dalam Perang Kusamba.
Asal Usul dan Kehidupan Awal
Dewa Agung Istri Kanya adalah putri dari Ida I Dewa Agung Putra Kusamba dan I Gusti Ayu Karang dari Karangasem. Sejak muda, ia tumbuh dalam lingkungan istana yang sarat dengan tradisi, sastra, dan spiritualitas. Ia memiliki adik laki-laki bernama Dewa Agung Putra Balemas, yang kemudian juga menjadi raja.

Setelah wabah penyakit melanda, kakak beradik ini memimpin restorasi Istana Klungkung dan mendukung berbagai pura di kerajaan. Istri Kanya juga dikenal rajin mendukung para pendeta dan sastrawan, bahkan menulis beberapa karya sastra sendiri.
Ada sumber yang menyebut Dewa Agung Istri Kanya naik takhta sekitar tahun 1809, tapi ada pula yang menyebut 1822. Namun, satu hal yang pasti, ia memegang peran penting dalam pemerintahan Klungkung, baik sebagai ratu maupun sebagai penasihat politik bagi adiknya.
Perang Kusamba
Tahun 1849, ketika Belanda menyerang Klungkung di daerah Kusamba, pasukan rakyat Bali dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung, bersatu melawan. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Jenderal Michiels, pemimpin ekspedisi Belanda, tewas akibat tembakan meriam yang terkenal dengan nama “I Selisik,” sebuah meriam yang menurut mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka, konon bisa mencari sasarannya sendiri,
Pertempuran ini menelan banyak korban dari pihak Klungkung, sekitar 800 prajurit gugur dan 1000 luka-luka. Namun kemenangan moral yang mereka raih sangat besar karena untuk pertama kalinya jenderal Belanda tewas di tangan pasukan pribumi.
6. Andi Depu Maraddia Balanipa
Andi Depu Maraqdia Balanipa, seorang pemimpin pasukan melawan Belanda pada tahun 1946. Pejuang perempuan ini berasal dari Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Andi Depu adalah putri Raja Balanipa La’ju Kanna Idoro. Dia lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 1908.

Ketika usia 15 tahun, Andi Depu dinikahkan dengan Andi Baso Pabiseang pada 1923. Aminah Hamzah dalam Biografi Pahlawan Hajjah Andi Depu Maraddia Balanipa menyebut Andi Baso Pabiseang adalah seorang bangsawan tinggi Mandar.
Di zaman Jepang, Andi Baso adalah birokrat penting di Balanipa, ia menjalankan tugas asisten residen yang ditinggalkan Belanda. Sementara, Andi Depu aktif dalam organisasi perempuan, pendukung keras Republik Indonesia yang baru merdeka, ini yang membuat Andi Depu dan suaminya yang birokrat Belanda, berbeda pandangan.
Belanda semakin menguat, NICA sangat gencar digunakan Belanda untuk mengonsolidasikan kekuasaan Kerajaan Belanda di Nusantara, hingga ke luar Jawa bahkan sampai ke Sulawesi Barat. Tapi Andi Depu tetap mendukung RI, bendera Merah Putih yang berkibar di Istana Raja Balanipa, tempat tinggal Andi Depu sekaligus juga jadi markas perjuangan pendukung RI di Balanipa.
Ketika pendukung RI ditangkapi oleh Belanda di Sulawesi Barat pada Maret 1946, Andi Depu tetap mendukung Merah Putih. Suaminya tidak setuju, dan akhir dari perbedaan sikap tersebut membuat Andi Depu dengan Andi Baso Pabiseang bercerai, Andi Depu pergi meninggalkan kenyamanan hidup di istana, pergi melawan NICA, masuk hutan memimpin perjuangan gerilya bersama pemuda-pemuda pejuang.
Dalam perlawanannya, pada 26 November 1946, Andi Depu tertangkap tentara Belanda dan dipenjara di layang Makassar.
Andi Depu dibebaskan pada akhir tahun 1949, hingga wafatnya pada 18 Juni 1985 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.
7. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu, di usianya yang baru 17 tahun sudah menjadi panglima perang perempuan di pasukan Kapitan Pattimura saat perang melawan Belanda.
Lahir pada 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusa Laut, Maluku. Dia merupakan putri sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu, salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.
Dengan rambut panjang terurai serta berikat kepala merah, ia mendampingi ayahnya ikut bertempur melawan penjajah di pulau Nusa Laut dan di pulau Saparua. Semangatnya pantang menyerah juga pemberani, ia bertekad mengusir para penjajah Belanda dari tanah Maluku.

Bersama pasukan Pattimura, Martha Tiahahu berperang, turut merebut Benteng Duurstede dari Belanda pada 17 Mei 1817. Pekikan Martha mampu membakar semangat kaum perempuan untuk bergabung dengan kaum laki-laki di medan pertempuran.
Keikutsertaan Martha Tiahahu dan laskar perempuan lainnya dalam pertempuran di Maluku, menunjukkan betapa pentingnya peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, bahwa juga perjuangan tidak memandang gender dan agama.
Pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap, tapi ia tidak dihukum mati karena usianya yang masih muda. Ia dibawa ke Pulau Jawa dengan kapal Eversten untuk kerja paksa di perkebunan kopi.
Tapi selama di atas kapal itu, kesehatannya memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada 2 Januari 1818, saat kapal melewati Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu wafat. Jenazahnya dibuang di Laut Banda.(*)
Source:
https://vredeburg.id/id/post/cut-nyak-dien-tunaikan-sumpah-hancurkan-penjajah
https://vredeburg.id/id/post/nyi-ageng-serang-sosok-pejuang-sejati-ahli-siasat-perang
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewa_Agung_Istri_Kanya
Keraton Yogyakarta (X), Universitas Stekom, Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (Buku)
https://www.historia.id/article/bercerai-demi-republik-v29q5

Terkait
5 Film yang Menggugah Kesadaran Tentang Kekerasan terhadap Perempuan
Film untuk Menyuarakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Amnesty Indonesia Desak Pemerintah untuk Tetapkan Status Darurat Nasional demi Percepat Evakuasi Korban Banjir Sumatera