Aksi Paduan Suara (Padus) Gitaku bersama Suara Ibu Indonesia, bernyanyi sebagai ungkapan penolakan atas segala upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, Sabtu (8/11/2025), berlokasi di Terowongan Kendal Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Mengangkat tajuk “Jangan sucikan kediktatoran, tolak Soeharto jadi pahlawan”, para anggota Padus Gitaku berkumpul secara tiba-tiba di tempat umum, flash mob, lalu menbawakan 2 lagu, “Ada Yang Hilang” (dari album Nyanyian Merah: mengenang Sobat Munir), dan “Do You Hear the People Sing?”, sebuah lagu tentang pemberontakan rakyat Perancis di tahun 1832, lagu yang menjadikan simbol melawan pemerintahan, juga harapan bagi gerakan pro-demokrasi di seluruh dunia.

Disampaikan dalam rilis yang diterima SuluhPerempuan.org, Padus Gitaku dan Suara Ibu Indonesia menolak segala upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan karena kekuasaannya dibangun di atas darah, tidak dapat disucikan oleh waktu. Rencana menobatkan Soeharto sebagai pahlawan memperlihatkan politik kita sedang menuju muara bahaya
“Yang kita hadapi bukan sekadar pemerintahan dengan romantisisme berlebihan terhadap seorang tokoh, melainkan pemerintahan yang obsesif pada nostalgia otoritarianisme—rindu terhadap masa ketika negara tampak tegas, namun rakyat dibungkam; ketika stabilitas dijanjikan, tapi keadilan dikorbankan. Nostalgia ini lahir karena penguasa gagal paham tentang demokrasi berkeadilan sosial. Masa lalu yang menindas dijual kembali seolah masa keemasan,” ujar Annahape, koordinator aksi.
Annahape menjelaskan bahwa demokrasi adalah lawan kekuasaan Soeharto. Namun, kita melihat, warisan kekuasaannya masih hidup, baik dalam politik yang berpusat pada figur, dan dalam ekonomi yang dikuasai oligarki, dalam hukum yang tunduk pada kepentingan.
Kekayaan Soeharto dikumpulkan melalui penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya, kita mengalami kemiskinan sistemik dan ketimpangan ekonomi yang masih membekas hingga hari ini. Memberinya gelar pahlawan berarti mengabadikan logika bahwa pembangunan dapat membenarkan kekerasan; bahwa pertumbuhan menutupi kejahatan kemanusiaan.
Ditambahkan lebih lanjut bahwa seorang pahlawan itu memperjuangkan kehidupan. Pahlawan adalah mereka yang memberi cahaya bagi masa depan, bukan bayang-bayang ketakutan bagi generasi berikutnya. Soeharto bukan simbol pembebasan; ia lambang pengekangan. Ia bukan pahlawan; ia penguasa yang menindas rakyat atas nama stabilitas.
“Menjadikan Soeharto pahlawan berarti mengkhianati korban, dan mengkhianati cita-cita reformasi, yakni kekuasaan harus tunduk pada hukum, dan sejarah harus berpihak pada kebenaran,” pungkas Annahape.(*)
Sukir Anggraeni

Terkait
Leila S. Chudori dan Upaya Merawat Ingatan yang Disenyapkan
KASBI: Marsinah Layak Jadi Pahlawan, Tapi Jangan Disandingkan dengan Soeharto
Gelombang Penolakan Soeharto Sebagai Pahlawan, Dari YLBHI hingga Tokoh Nasional