27 November 2025

Membaca Buku di Era Scroll Tanpa Henti

Source: Statistics Denmark

0Shares

Menghabiskan satu buku sampai tuntas—apalagi menulis resensinya—kini menjadi tantangan besar. Kita hidup di zaman ketika fokus mudah terpecah oleh notifikasi gawai. Rasanya lebih menggoda untuk rebahan sambil scroll Instagram, TikTok, atau media sosial lain. Konten-konten ringan, cepat, bahkan dangkal, terasa lebih menarik memberi dorongan dopamin dan memanjakan otak. Tanpa sadar, kita bisa menghabiskan berjam-jam hanya dengan menyentuh layar.

UNESCO menempatkan Indonesia di posisi kedua terbawah dalam tingkat literasi dunia, menunjukkan betapa rendahnya minat baca masyarakat. Banyak faktor yang memengaruhi: anak-anak tidak tumbuh dengan bahan bacaan yang menarik dan mudah diakses, kualitas pendidikan belum merata, kebiasaan konsumsi media sosial lebih dominan, serta masih kurangnya perpustakaan yang nyaman dan koleksi buku yang memadai.

Padahal, bangsa dengan generasi muda yang tidak gemar membaca akan kesulitan mengejar kemajuan ilmu pengetahuan. Karena itu, berbagai upaya meningkatkan budaya literasi seharusnya kita dukung bersama—baik oleh pemerintah, sekolah, orangtua, hingga masyarakat.

Denmark Rela Kehilangan Ratusan Miliar Demi Mengembalikan Kegemaran Membaca

Denmark mengambil langkah besar untuk menghadapi apa yang mereka sebut sebagai “krisis membaca”. Pemerintahnya berencana menghapus pajak penjualan buku yang selama ini mencapai 25%—salah satu yang tertinggi di Eropa. Bandingkan dengan Inggris, misalnya, yang tidak menerapkan pajak atas pembelian buku sama sekali.

“Kita perlu melakukan semua yang kita bisa untuk mengatasi krisis membaca ini yang sayangnya terus membesar beberapa tahun terakhir,” ujar Menteri Kebudayaan Jakob Engel-Schmidt kepada media, dikutip AFP, Rabu (20/8/2025).

Keputusan itu memang tidak menguntungkan secara finansial. Negara diperkirakan kehilangan sekitar 330 juta kroner atau setara dengan Rp 525 miliar. Namun pemerintah menganggap kerugian tersebut sebanding dengan kebutuhan jangka panjang: memastikan generasi Denmark tetap terkoneksi dengan buku.

Kekhawatiran pemerintah berangkat dari laporan OECD yang menunjukkan bahwa 24% remaja usia 15 tahun tidak mampu memahami teks sederhana. Angka ini meningkat empat poin dalam satu dekade terakhir. Tidak heran kalau industri penerbitan Denmark turut mendesak agar pemerintah menjamin akses buku fisik yang lebih terjangkau bagi seluruh warga negara.

Pemerintah Indonesia Wajibkan Murid Baca Buku dan Menulis Resensinya

Indonesia menghadapi tantangan serupa. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa mustahil Indonesia menjadi bangsa maju bila budaya membaca dan menulis tidak dibangun sejak dini. Ia menyerukan gerakan nasional literasi yang melibatkan semua pihak: sekolah, guru, penerbit, pemerintah, hingga masyarakat.

“Kalau kita tidak membangun budaya membaca, budaya menulis, dan membiasakan anak belajar melalui buku, kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju,” ujarnya saat membuka MUNAS ke-20 Ikapi di Jakarta, Rabu (19/11/2025).

Mu’ti menyoroti lemahnya kemampuan siswa memahami teks naratif, yang berdampak pada rendahnya hasil asesmen baik nasional maupun internasional. Data UNESCO bahkan menyebut minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang benar-benar memiliki budaya membaca.

Untuk menjawab masalah tersebut, pemerintah mendorong sejumlah kebijakan baru. Salah satunya, siswa tetap diberikan PR—tetapi bukan lagi deretan soal seperti dulu. PR yang dimaksud adalah membaca satu atau dua buku hingga selesai, kemudian menulis resensinya.

Membaca, Masa Depan Gen Z. Kredit Foto: Kompas

Kebiasaan ini bukan semata latihan akademik, tetapi cara menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan menuangkan gagasan, dan membangun karakter. “Anak-anak kita tidak mampu menulis, dan ini masalah serius. Mereka tidak mungkin menjadi generasi kritis tanpa menjadi pembaca yang baik,” tegas Mu’ti.

Meski pendidikan kini memasuki era kecerdasan buatan, ia menegaskan bahwa literasi dasar—membaca dan menulis—tetap menjadi yang utama. Bahkan pembelajaran berbasis teknologi tetap bisa menguatkan kegiatan menulis. Siswa dapat menonton materi di panel interaktif, lalu diminta membuat catatan dengan tulisan tangan.

Mu’ti juga mengingatkan peran orangtua. Banyak yang bersedia belanja barang konsumtif berapa pun harganya, tetapi protes di media sosial ketika harus membeli buku Rp 20.000. Menurutnya, pola pikir seperti ini harus diubah.

Sebagai langkah konkret, pemerintah mewajibkan sekolah penerima dana BOS mengalokasikan minimal 10% untuk pengadaan buku, sesuai Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2025. “Kalau 10% masih dirasa kurang, tahun depan dana BOS harus kita ubah peruntukannya,” tutup Mu’ti.(*)

(Sukir Anggraeni, dari berbagai sumber)

0Shares