Tanggal 10 Oktober 2014, ia masuk nominasi Nobel Peace Prize 2014 untuk perjuangannya melawan ketertindasan terhadap anak-anak dan pemuda, serta untuk hak-hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak. Ia penerima hadiah Nobel termuda bersama dengan Kailash Satyarthi, seorang aktivis hak asasi dari India.
Perempuan kelahiran tanggal 12 Juli 1997 ini lebih dikenal sebagai seorang aktivis untuk pendidikan bagi perempuan. Gadis remaja pemberani ini akhirnya memenangkan Hadiah Nobel pada bulan Oktober 2014. Sebelumnya pada 2012 juga pernah dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel. Gadis berkebangsaan Pakistan ini terus berjuang untuk hak-hak asasi manusia dalam bidang pendidikan dan perempuan. Malala adalah seorang penduduk asli dari Swat Valley di provinsi Khyber Pakhtunkwa di Timur Laut Pakistan. Di tempat ini, Taliban melarang anak-anak perempuan masuk sekolah. Remaja ini berjuang sampai ke tingkat internasional.
Keluarganya membuka sekolah-sekolah di daerah tempat tinggalnya. Tahun 2009, ketika ia berusia 11-12 tahun, Malala dengan menggunakan nama samaran, menulis di blog secara rinci kepada BBC tentang kehidupannya di bawah kekuasaan Taliban yang menguasai daerah perbukitan. Ia terus mempromosikan pentingnya sekolah bagi anak-anak perempuan di Swat Valley, tempat tinggalnya. Pada musim panas berikutnya, seorang jurnalis Adam B. Ellick membuat sebuah dokumentasi untuk New York Times tentang kehidupannya di daerah yang diduduki militer. Dalam waktu singkat Malala menjadi terkenal. Ia semakin dikenal setelah di-interview di TV. Keberaniannya mengungkapkan keterbatasan anak-anak untuk bisa sekolah menggiringnya untuk dinominasikan dalam the International Children’s Peace Prize oleh aktivis Afrika, Desmond Tutu.
Tanggal 9 Oktober 2012, Malala naik bus ke sekolahnya di bagian barat Swat. Seorang yang bersenjata memanggil namanya, mengarahkan pistol dan menembaknya sebanyak tiga kali. Satu peluru mengenai dahinya sebelah kiri yang tembus sampai bahunya. Ia langsung pingsan dan dalam keadaan kritis ia dikirim ke Rumah Sakit Queen Elizabeth Hospital di Birmingham, Inggris untuk rehabilitasi intensif. Tanggal 12 Oktober, 50 orang ulama Islam mengeluarkan fatwa kepada orang-orang yang menembak Malala. Namun, Taliban tetap akan membunuhnya dan ayahnya, Zainuddin Yousafzai. Orang-orang Pakistan meyakini bahwa penembakan itu dibuat oleh CIA dan banyak teori-teori konspirasi muncul.
Penembakan tersebut memunculkan berbagai dukungan terhadap Malala. Duetsche Welle (jaringan radio dunia) berpusat di Jerman menulis bahwa Malala menjadi remaja yang paling terkenal di dunia. PBB dalam Global Education meluncurkan petisi atas nama Malala menggunakan slogan “I am Malala” dan mengharapkan semua anak-anak di dunia harus sekolah di akhir tahun 2015. Apa yang dilakukannya merupakan petisi untuk membantu meratifikasi Undang-undang Pakistan untuk Pendidikan. Tanggal 29 April 2013, majalah Time menampilkan Malala disampul majalahnya. Ia disebut sebagai salah satu dari “100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia” dan memenangkan National Youth Peace Prize pertama di Pakistan.
Pada 12 Juli 2013, Malala Yousafzai berbicara di PBB untuk mengingatkan agar perempuan mendapat kemudahan akses untuk pendidikan. Dan bulan September 2013, secara resmi ia membuka perpustakaan di Birmingham. Ia masuk nominasi Sakharov Prize pada tahun 2013.
Tanggal 10 Oktober 2014, ia masuk nominasi Nobel Peace Prize 2014 untuk perjuangannya melawan ketertindasan terhadap anak-anak dan pemuda, serta untuk hak-hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak. Ia menjadi pemenang hadiah Nobel termuda bersama dengan Kailash Satyarthi, seorang aktivis hak asasi dari India.
Gadis pemberani ini lahir dari keluarga etnik Pashtun, Muslim Suni. Ia bersama kedua orangtua dan dua orang saudaranya tinggal di Mingaro, sebuah desa yang indah yang pernah dikunjungi oleh Ratu Elizabeth II ketika berkunjung ke Pakistan. Ratu menyebut daerah tersebut sebagai Swiss Timur karena keindahan panoramanya.
Malala fasih berbicara Pashto, bahasa Inggris dan Urdu. Ia mendapat pendidikan dari ayahnya Ziauddin Yousafzai, seorang penyair dan pemilik sekolah. Sebagai seorang aktivis pendidikan, ayah Malala mengelola sekolah-sekolah yang bernama Sekolah Umum Khusnul. Malala mulai berbicara tentang hak-hak pendidikan pada awal bulan September 2008, ketika ayahnya membawa ia ke Peshawar untuk berbicara di konferensi pers.
Malala mengatakan, “Betapa beraninya Taliban merampas hak-hak dasar saya untuk sekolah.” Ia berbicara di depan audiens yang diliput Koran dan televisi di seluruh wilayah tersebut. Taliban yang dikuasai oleh Maulana Fazlullah menguasai lembah Swat, melarang televisi, musik, melarang anak-anak pergi sekolah, dan melarang perempuan berbelanja keluar rumah. Yang lebih ekstrim, anggota tubuh seorang polisi tanpa kepala digantung di tengah kota. Tidak ada anak yang berani menulis tentang Taliban karena orangtua mereka khawatir terhadap keselamatan mereka. Hanya Malala Yosafzai yang berani menulis di BBC sebagai berikut:
“Saya bermimpi menyeramkan kemarin ada helikopter militer dan Taliban. Saya selalu bermimpi buruk semenjak peluncuran militer di Swat. Ibuku membuat sarapan dan saya pergi sekolah. Saya takut ke sekolah karena Taliban telah melarang semua anak perempuan pergi ke sekolah. Hanya 11 orang dari 27 yang masuk sekolah karena merasa takut dengan Taliban. Tiga orang temanku pindah ke Peshawar, Lahore dan Rawalpindi bersama keluarga mereka karena ancaman Taliban.”
*Sumber Bahan: Tetty Yukesti dalam 51 Perempuan Pencerah Dunia, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 2015.
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Sudaryanti, Komitmen Menjaga Bumi Lewat Eco Enzym
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara