19 April 2024

Buruh Perempuan dan Pemiskinannya

0Shares

Berbicara mengenai buruh perempuan, maka tidak bisa dilepaskan membahas berbagai masalah yang dihadapinya. Sejak awal munculnya buruh perempuan, begitu banyak hal yang dialaminya. Mulai dari ketidakadilan, diskriminasi, upah rendah, kekerasan, pelecehan, dan persoalan lainnya.

Masalah ini tidak terlepas dari proses penindasan yang dilakukan oleh sebuah sistem dan budaya yang dilanggengkan oleh negara dan pemilik modal. Lewat serangkaian kebijakan yang tidak berpihak, mendiskriminasi dan menginjak-injak buruh perempuan sehingga menjadi tidak berdaya.

Sang pemilik modal (pengusaha) juga dengan sengaja memelihara dan memanfaatkan budaya yang sudah tertanam di masyarakat (patriarki) yang menganggap perempuan adalah masyarakat kelas dua. Sebagai konsekwensinya, perempuan dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama, melainkan sebagai pencari nafkah tambahan. Inilah yang kemudian membelenggu buruh perempuan. Sehingga, upah yang diterima perempuan lebih rendah dibanding buruh laki-laki.

Tidak hanya itu, stereotype perempuan di masyarakat masih dianggap penurut, halus dan lemah lembut. Para pemilik modal (pengusaha) mengambil kesempatan untuk melanggengkan hal tersebut guna mengeksploitasi buruh perempuan, yang dianggap tidak berani melakukan perlawanan dibanding dengan buruh laki-laki .  

Dilema nasib buruh perempuan, yang harus bekerja melanjutkan kehidupan untuk keluarganya, tetapi mengalami penindasan dan diskriminasi yang berlapis-lapis. Terjadi pemiskinan yang sengaja dibuat oleh sistem melalui sebuah kebijakan dan budaya.

Hal diatas terjadi karena tidak terlepas dari proses sejarah yang membelenggu. Untuk itu, sebelum kita membahas lebih dalam ada baiknya kita menyelami seluk beluk proses yang terjadi terhadap buruh termasuk buruh perempuan.

Periode Kolonial

Kran kapital swasta untuk menanamkan modalnya terbuka lebar ketika Kolonialisme Belanda menancapkan kakinya ke Indonesia. Ketika kebijakan Cultuurstelsel[1] (sistem tanam paksa) digalakkan, rakyat dipaksa untuk melakukan berbagai penanaman dan budidaya kopi, tembakau, teh, dan berbagai tanaman lainnya di tanah mereka sendiri, tanah sewaan, ataupun tanah yang telah disediakan oleh kolonial Belanda.

Cultuurstelsel ini, otomatis memunculkan yang namanya buruh tani. Rakyat dipaksa untuk bekerja secara berlebih diluar kesepakatan hari kerja (66 hari). Disamping itu jika terjadi gagal panen, maka rakyatlah yang harus menanggung kerugian, dan membayar pajak.

Karena hasil panen tidak bisa lagi memenuhi produksi dan permintaan dari para pengusaha swasta di Belanda, serta banyaknya tekanan dan kritikan keras dari orang-orang Eropa terhadap pemerintahan Hindia Belanda, sehingga secara berangsur-angsur sistem tanam paksa ini kemudian dihapuskan.

Perubahan penguasaan tanah oleh pemerintah Hindia Belanda terjadi tahun 1870, ketika Undang-undang Agraria disahkan. Kebijakan ini membuka lebar bagi kapitalis-kapitalis swasta di Hindia Belanda untuk masuk dan menancapkan modalnya. Industri-industri telah bermunculan mulai dari perkebunan kelapa sawit, kopi, karet, pabrik gula, pertambangan, pabrik-pabrik, jalanan kereta api, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak tanah dan sawah-sawah rakyat digusur secara paksa.

Petani-petani yang ditarik dari tanahnya masing-masing, hidup gentayangan tanpa penghasilan. Sebagian menjadi buruh perkebunan, terlepas dari kampung halamannya. Dan dengan demikian timbullah kelas proletar buat pertama kalinya di Indonesia.[2]

Kebijakan ini menjadikan Indonesia ladang bagi kapitalis-kapitalis swasta Belanda untuk mengeruk dan mengeksploitasi, serta tempat tenaga kerja yang murah. Ini adalah awal dari era liberalisasi ekonomi di Indonesia.

Munculnya berbagai macam industri oleh kapitalis swasta Belanda di Indonesia, otomatis menarik banyak rakyat untuk dipekerjakan menjadi buruh. Dan itu pula yang akan memunculkan berbagai macam persoalan terkait masalah perburuhan, diantaranya masalah upah, hak-hak buruh dan kondisi kerja yang tidak memadai.

Sayangnya dalam rentang waktu ini, belum muncul organisasi-organisasi buruh yang dibuat oleh kaum bumiputera, sehingga persoalan-persoalan perburuhan belum terlalu muncul dipermukaan. Baru pada awal abad ke 20 kaum buruh Indonesia mencapai kedudukan di mana mereka dapat melahirkan suatu gerakan terorganisasi, yang bertujuan memajukan standar hidup mereka, dan umumnya, pada emansipasi kelas pekerja Indonesia yang bebas.[3]

Serikat buruh pertama di Indonesia muncul pada akhir abad 19, yaitu Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap (NIOG). Serikat ini dibentuk pada tahun 1894 oleh guru sekolah dasar dan menengah Belanda. Kemudian pada 1905, buruh-buruh Kereta Api Negara mendirikan SS Bond [4], yaitu Serikat Personel Kereta Api Negara, dimana pemimpinnya adalah orang-orang Belanda, dan anggotanya mayoritas orang Belanda dan sedikit diantaranya adalah orang Indonesia. Serikat ini tidak bertahan lama dan tidak berkembang menjadi suatu organisasi buruh yang radikal, dan berakhir pada tahun 1919. Pada 14 November 1908, lahirlah serikat buruh yang mayoritas keanggotaannya adalah kaum buruh Indonesia, dan kepemimpinannya mayoritas dipegang oleh orang-orang Indonesia[5]. Serikat buruh itu adalah Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch-Indie (VSTP).

Munculnya dua serikat buruh diatas, kemudian menginspirasi berbagai pekerja-pekerja lainnya untuk membuat suatu organisasi-organisasi buruh dengan tujuan untuk berhimpun dan memperbaiki kondisi dan nasib para pekerja. Mulailah banyak bermunculan serikat-serikat pekerja, diantaranya; Bond vand Ambtenaren bij de In- en Uitvoerrechten en Accijnzen in Nederlandsch-Indie, yang didirikan oleh para pegawai Dinas Bea Cukai, pada 1 November 1910; Kemudian pada 1912, terbentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB), oleh guru-guru Indonesia dari sekolah-sekolah publik; Opiumregiebond didirikan oleh pegawai pabrik opium pada 1915; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) dan Vereeniging Inlandsch Personeel Burgelijke Openbare Werken (VIP-BOW)[6] pada 1916; Personeel Fabrieks Bond (PFB) atau perserikatan Personel Pabrik pada 1919[7]; Serikat Buruh Onderneming (SBO) yang dibentuk oleh pegawai perkebunan pada 1924; Serikat Sekerdja Pelabuhan Pelajaran pada 1924, dan berbagai organisasi buruh lainnya.

Kondisi rakyat bumiputera di pedesaan pada abad 19 sangatlah buruk. Dibangunnya industri pabrik-pabrik oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah-tanah dan sawah rakyat di pedesaan membuat kehidupan semakin tertindas. Tanah mereka disewa dengan harga yang sangat murah. Marco, dalam tulisannya ‘Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?!’ yang dimuat dalam Sinar Djawa, 26 Maret 1918[8], menuliskan bahwa:

“Sebahu sawah oleh pabrik tidak lebih f 66,- (Enam puluh enam rupiah) di dalam 18 bulan, yaitu seumurnya tebu; sawah sebahu kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 bulan, dan itu padi kalau dijual tidak kurang dari f 300 (tiga ratus rupiah), jadi tiap-tiap sebahu sawah yang disewa pabrik, orang desa rugi f 234 (dua ratus tiga puluh empat rupiah).”    

Dalam penjelasan Marco diatas, sudah jelas rakyat pedesaan yang disewa tanahnya mengalami kerugian yang sangat banyak, yaitu sebesar 234 rupiah dalam 18 bulan. Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang nyata dirasakan rakyat pribumi di pedesaan.

Selain sewa tanah yang sangat murah, ketimpangan sosial juga terjadi antara rakyat pedesaan yang menjadi buruh dengan para mandor. Upah yang didapatpun juga sangat rendah. Jam kerja melebihi dari waktu yang ditentukan. Tidak jarang, para buruh mendapatkan perlakukan kekerasan oleh para mandor. Satu contoh misalnya, ketika perkebunan-perkebunan tembakau dibangun di daerah Deli (tahun 1963), banyak kaum buruh laki-laki yang mendapat hukuman cambuk jika berusaha melarikan diri dari perkebunan tersebut. Dan terdapat seorang buruh perempuan diikat pada bungalow tuan kebun dan kemaluannya digosok dengan lada.

Perlakuan kekerasan terhadap buruh perkebunan dalam sistem tanam paksa juga di perlihatkan oleh Pramoedya dalam bukunya, Panggil Aku Kartini saja, bahwa pukulan dengan pentung dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.

Perlakuan-perlakuan yang dialami oleh buruh perkebunan merupakan praktek-praktek penyiksaan yang merendahkan kaum buruh diluar batas-batas kemanusiaan. Hal ini yang kemudian mendorong hasrat buruh untuk melakukan perlawanan dalam bentuk aksi protes dan pemogokan. Pada tahun 1860-an hingga 1870-an, banyak buruh tani yang melakukan aksi secara individu yaitu memukuli orang-orang perkebunan Belanda, dan tidak jarang melakukan pembakaran tanaman tebu di perkebunan. Aksi mogok juga dilakukan oleh buruh tani, dimana para buruh menolak untuk bekerja wajib di perkebunan, guna tuntutannya dipenuhi.[9]  

Buruh Perempuan di Masa Kolonial

Bagaimana dengan kaum perempuan pada masa kolonial? Sebelum kapitalisme Hindia Belanda datang dan membangun industri-industri Pabrik, kaum perempuan lebih banyak terlibat dalam urusan kerumahtanggaan termasuk dalam hal membuat keterampilan. Tidak jarang juga para perempuan kelas bawah lebih banyak melakukan kegiatan pertanian (statusnya hanya membantu proses pertanian) dan bercocok tanam. Kaum perempuan pada masa ini sangat memprihatinkan, status sosial kaum perempuan dianggap rendah, berada dibawah laki-laki, dan dianggap sebagai manusia yang lemah, hal ini karena budaya feodal dan patriarki sangatlah kental.

Ketika kapitalisme Hindia Belanda masuk dan membangun industri-industri di Indonesia pada abad 19, serta merta mendorong kaum perempuan untuk keluar rumah untuk mencari penghasilan tambahan. Karena pabrik-pabrik yang dibangun membutuhkan banyak tenaga kerja termasuk tenaga kerja perempuan. Hal ini yang kemudian memunculkan buruh perempuan.

Ketika sistem tanam paksa diberlakukan, banyak kaum perempuan (buruh tani) yang terpaksa bekerja di perkebunan-perkebunan Belanda dengan mendapatkan upah yang sangat rendah dari buruh tani laki-laki, ini karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, dan banyak pula yang tidak mendapatkan upah.  Selain itu, dengan berkembangnya industri batik di Surakarta dan Yogyakarta, banyak kaum perempuan yang bekerja sebagai pembatik. 

Takashi Shiraisi dalam bukunya Zaman bergerak, menyebutkan bahwa, kebanyakan pengelola tempat kerja, pembuat batik, dan yang berurusan dengan perdagangan batik adalah perempuan. Dengan demikian kaum perempuanlah yang menghasilkan uang dan mendukung kehidupan keluarganya.

Sayangnya di dalam industri batik yang berskala besar, diskriminasi dalam pekerjaan dan upah terjadi antara buruh perempuan dan buruh laki-laki. Dalam penempatannya, buruh laki-laki ditempatkan dalam posisi yang khusus, yaitu proses pencap-an dan pencelupan. Hal ini merupakan proses yang penting dalam produksi batik, untuk itu upah yang diperoleh lebih banyak, yaitu tiga sampai empat kali lipat dari buruh-buruh lainnya. Sedangkan buruh perempuan ditempatkan dalam posisi mencanting, memarut lilin, dan mengelim. Dalam hal pekerjaan merendam, menumbuk, merebus, dan proses pengeringan dikerjakan secara bergantian oleh buruh perempuan dan laki-laki, yang tentunya upahnya jauh lebih rendah.

Hukum Perburuhan di Masa Kolonial

Bagaimana dengan hukum yang mengatur tentang perburuhan pada jaman kolonial? Apakah ada Undang-undang atau peraturan yang di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda? Dari beberapa literatur yang ada, disebutkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan hak-hak kaum buruh, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Perburuhan pada 1919, untuk mengawasi kondisi-kondisi perburuhan.

Pada tahun 1921, mendirikan kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) dengan tugas yang berkaitan dengan masalah kaum buruh, salah satunya menekan pengusaha Eropa untuk memperlakukan kaum buruh pribumi secara adil, dan mengecek kondisi kesehatan dan keamanan kaum buruh berdasarkan Undang-undang Koloni.

17 Desember 1925 Undang-undang tentang buruh anak dan pengaturan jam kerja malam bagi buruh perempuan disahkan oleh Gubernur Jenderal Fock, dan diberlakukan pada 1 Maret 1926. Sayangnya, walaupun dibentuk sebuah Undang-undang ataupun sebuah lembaga yang mengawasi kondisi kaum buruh pribumi, tetapi tetap saja kaum buruh pada zaman kolonial mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan. Banyak para pengusaha kolonial yang tidak patuh terhadap aturan ataupun undang-undang yang berlaku, dan justru lebih mengeksploitasi dan menindas kaum buruh pribumi.  

Demikianlah, berbagai rentetan-rentetan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia termasuk kaum buruh tani dan buruh perempuan, sejak kolonialisme datang. Rakyat dibuat miskin, menderita, kelaparan dan ditindas dengan berbagai sistem dan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Sistem kolonialisme tidak saja merampas dan menguasai sumber daya alam tetapi juga merampas nilai-nilai kemanusiaan.

Bersambung……..

Ulfa Ilyas

*Penulis adalah Bendahara Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI)


Catatan Kaki:

[1] Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa merupakan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Kebijakan ini memaksa para petani pribumi menyisihkan sebagian lahannya untuk ditanami komoditas ekspor atau bekerja secara suka rela menggarap tanah pemerintah. Tetapi dalam prakteknya rakyat pribumi dipaksa untuk bekerja secara berlebih. Sistem tanam paksa berlangsung selama 47 tahun (1830-1877). (Kompas.com, Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi. Nibras Nada Nailufar). 

[2] Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja.

[3] Sejarah Singkat Gerakan Serikat Buruh Indonesia, Periode Kolonial, dalam buku Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, oleh Iskandar Tedjasukmana, hlm. 3.

[4] SS Bond adalah singkatan dari bahasa Belanda Staatsspoorwegen Bond.

[5] Pada waktu pembentukannya, Presiden dan Sekretaris VSTP adalah dua orang sosialis Belanda, yaitu C.J. Huishoff dan H.W. Dekker, sedang beberapa kedudukan lain di dalam komite eksekutif dipegang oleh orang-orang Indonesia. Setelah 1913, kaum sosialis sayap-kiri (komunis) mendominasi kepemimpinan serikat buruh itu. Komunis Belanda Sneevliet menjadi Presiden VSTP bersama Semaoen, seorang revolusioner muda Indonesia, sebagai murid dan seorang tangan-kanannya. Belakangan Semaoen menjadi Presiden dan Sneevliet menjadi Sekretaris dari serikat buruh itu (Iskandar Tedjasukmana, Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, hlm. 8).

[6] VIP-BOW merupakan Perhimpunan Pegawai Pekerjaan Umum Sivil Indonesia.

[7] PFB didirikan oleh para pegawai Indonesia dari pabrik-pabrik gula di wilayah Jawa.

[8] Tulisan ini dimuat ulang dalam buku Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempo Doeloe. Penyusun, Edi Cahyono. 

[9] Aksi Pemogokan dilakukan karena tindakan perkebunan yang sewenang-wenang terhadap buruh tani, diantaranya tindakan kekerasan dan perlakuan kasar oleh mandor perkebunan, serta masalah upah yang dibayar rendah (dan kadang tidak dibayar).

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai