Jakarta – Harris Priadie Bah dan Marlin Dinamikanto membuka acara nonton bareng dan diskusi film Nyanyian Akar Rumput (NAR) dengan pembacaan puisi. Diskusi dan nobar film NAR ini diselenggarakan di kantor Barikade 98, Jl. Cimandiri No 7 Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Yuda Kurniawan, sang sutradara sekaligus produser film menyampaikan bahwa penggarapan film ini dimulai sejak 2014 dan baru selesai setelah digarap selama 4 tahun. Dalam usahanya untuk mendapatkan dokumentasi seutuhnya Yuda bekerjasama dengan berbagai pihak. Yuda juga berkali-kali pergi ke Solo, untuk menemui keluarga Wiji Thukul.
“Saya merasakan bagaimana keluarga Wiji Thukul ini adalah keluarga yang harmonis. Namun setelah hilangnya Wiji Thukul membuat keluarga ini trauma yang berkepanjangan. Pemutaran film ini secara luas adalah salah satu upaya saya memenuhi janji kepada keluarga Wiji Thukul,” kata Yuda.
Film dokumenter “Nyanyian Akar Rumput” (2018) ini meraih gelar bergengsi dengan menyabet Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2018 untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. Film ini juga pernah ditayangkan perdana (World Premier) dan berkompetisi dalam ajang “23rd Busan International Film Festival 2018” yang digelar pada 4-13 Oktober 2018 di Busan, Korea Selatan.
“Bagi Fajar Merah, musik telah menjadi bagian dari trauma healing setelah kehilangan bapaknya. Ia mencoba mengenali sosok Wiji Thukul lewat tulisan dan puisi-puisinya. Judul film ini mengambil salah satu puisi Wiji Thukul berjudul Nyanyian Akar Rumput yang ternyata pas dengan karakter Fajar Merah di film ini,” lanjutnya.
Jane Rosalina dari KontraS menyatakan bahwa Wiji Thukul adalah salah seorang aktivis PRD yang dihilangkan paksa oleh negara. Sejak awal, Kontras terus mengawal isu ini.
Menurut Jane, “Penghilangan paksa merupakan watak dari negara otoritarian. Tidak hanya aktivis 98 saja yang dihilangkan paksa. Namun Indonesia juga mempunyai sederet kasus penghilangan paksa seperti kasus 65, kasus Talangsari, Wasior Wamena, dll. Penghilangan paksa juga masih berlangsung sampai sekarang.”
Pansus DPR sudah mengeluarkan rekomendasi terkait ratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa. Rekomendasi itu terkait kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998. Pansus Orang Hilang DPR telah merekomendasikan Presiden Jokowi untuk membentuk pengadilan HAM adhoc dan melakukan pencarian terhadap 13 orang yang dinyatakan hilang. Kemudian, rehabilitasi dan pemberian kompensasi terhadap keluarga korban.
“Sayangnya pemerintah Jokowi sampai sekarang belum juga meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa tersebut dan juga rencana pembentukan pengadilan adhoc juga belum ada kabarnya. Kontras mencatat janji Jokowi untuk mencari aktivis yang hilang. Jangan sampai ini hanya menjadi komoditas politik saja namun tidak ada kepastian hukum.”
Mangapul Silalahi dari DPN Barikade 98 menyatakan, “Bicara Wiji Thukul itu bicara 3 hal, yaitu: bicara tentang keberanian, ketulusan, dan kepolosan. Wiji Thukul memang belum ditemukan. Namun Wiji Thukul tak akan hilang dari ingatan dan hati kita. Kita harus terus mengabarkan tentang sejarah kelam masa lalu agar tidak berulang di masa depan.
Mangapul mengakhiri pernyataannya dengan meneriakkan slogan yang diambil dari salah satu puisi Wiji Thukul yaitu ‘Hanya Ada Satu Kata Lawan!’.
Pembicara selanjutnya adalah seorang penyair perempuan Dewi Nova. Nova menyatakan bahwa Wiji Thukul tidak hanya seorang penyair tapi dia juga pejuang buruh dan seorang aktivis. Bagi Nova, kebebasan berfikir dan berekspresi sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Wiji Thukul merupakan jantung perjuangan akar rumput.
“Saya ingat ucapan Romo Mangun bahwa kalau kamu bertemu anak-anak akar rumput maka ajarkanlah mereka dengan bahasa dan sastra. Dengan bahasa dan sastra pula Wiji Thukul menyampaikan perlawanan. Keberanian yang diajarkan Wiji Thukul atau pemberani lainnya seperti Marsinah, Udin dan yang lainnya adalah sebuah pilihan.
Menurut Nova, di era digital ini kebebasan berekspresi dan berkata-kata mengalami kemunduran. Kebebasan berpikir dan berekspresi seringkali membawa orang pada tuduhan menistakan agama. Kebebasan berkata-kata juga terancam oleh UU ITE yang merupakan produk undang-undang yang digunakan negara untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berkata-kata.
“Wiji Thukul mengajarkan kita tentang pentingnya merawat kebebasan berekspresi dan berkata-kata. Pembatasan kemerdekaan saat Wiji Thukul berkelindan dengan pemerintahan otoriter. Namun pada saat ini pembatasan kemerdekaan berkelindan dengan negara yang otoritarian dan oligarkhi. Mari kita bersama merawat kebebasan berekspresi dan berkata-kata yang telah diajarkan oleh Wiji Thukul,” tegasnya.
Dewi Nova mengapresiasi Film NAR ini sebagai upaya sang sutradara dan produser film ini untuk merawat kebebasan berekspresi itu, “Mari menulis dan berpuisi. Hidupkan puisi dengan bernyanyi di akar rumpur agar memberikan roh dan darah bagi perjuangan.”
Fen Budiman pembicara terakhir adalah Sekjen Suluh Perempuan dan Koordinator jaringan Nakes Indonesia (Jarnakes). Fen menyampaikan bahwa dia belum pernah bertemu Wiji Thukul. Namun ia membaca dan mendengar perjuangan Wiji Thukul yang sangat melegenda.
“Sebagai generasi yang tidak bertemu langsung, saya merasakan bahwa perjuangan berat yang dialami Wiji Thukul di masa Orde Baru masih berlangsung hingga hari ini. Saat Orde Baru terjadi penghilangan paksa pada Wiji Thukul dan aktivis pro demokrasi. Saat ini kita melihat negara masih menggunakan tentara untuk mengambil alih peran tenaga medis dalam penanganan pandemi. Saat, tenaga medis berjuang mendapatkan haknya kemudian dipurnatugaskan,” pungkas Fen.
Acara diskusi dilanjutkan dengan pemutaran film ini merupakan kerja bersama antara Suluh Perempuan, Barikade 98, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), Kontras dan Rekam Films.***
Humaira
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024