4 Oktober 2024

Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Sudahkah Mengakomodir Kebutuhan Kaumnya?

Sejumlah peserta mengikuti jalan sehat caleg perempuan saambil membawa poster ketika pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Kawasan Bundaran HI Jakarta (30/3). Tempo/Dian Triyuli Handoko

Sejumlah peserta mengikuti jalan sehat caleg perempuan saambil membawa poster ketika pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Kawasan Bundaran HI Jakarta (30/3). Tempo/Dian Triyuli Handoko

0Shares

Berapa persen keterwakilan perempuan di DPR?

Dari jumlah tersebut, ada 120 orang wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah tersebut porsinya baru mencapai 20,87% dari total anggota DPR RI dari hasil pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2019. Sisanya, terdapat 455 orang anggota DPR berjenis kelamin laki-laki.

Sekadar mengingatkan kembali tentang undang-undang terkait perempuan:

Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT). Ini sudah kita ratifikasi akan tetapi ke mana atau di mana wujudnya?

Pada Siaran Pers Komnas Perempuan bertemakan “34 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia: Kurang Optimalnya Implementasi CEDAW dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” Jakarta, 24 Juli 2018 memuat hal-hal berikut:

CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) lahir dari pengalaman diskriminasi perempuan di berbagai belahan dunia dan perjuangan panjang untuk membangun komitmen global bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Konvensi ini menjabarkan tentang prinsip-prinsip hak asasi perempuan, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia sudah meratifikasi melalui UU RI no 7 Tahun  1984. Konsekuensi meratifikasi konvensi CEDAW adalah membuat laporan pelaksanaannya kepada Komite CEDAW di PBB, Namun pemerintah Indonesia terakhir mengirimkan laporan pada tahun 2012 dan sesudah itu di tahun 2016 tidak membuat laporan, sehingga komite CEDAW tidak dapat me-review perkembangan pemajuan hak asasi perempuan di Indonesia maupun menyusun rekomendasi bagi Indonesia.

Beberapa concluding comment komite CEDAW yang penting untuk segera direspon dan dijalankan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2012 dan Rekomendasi Umum CEDAW antara lain namun tidak terbatas pada poin-poin berikut :

  1. Meningkatkan kesadaran di masyarakat akan dampak negatif perkawinan anak bagi perempuan dengan tujuan menghapus praktik perkawinan anak.
  2. Meningkatkan  kesadaran publik, kelompok agama dan para pemuka agama bahwa  segala bentuk pelukaan dan mutilasi genital perempuan sebagai praktik yang membahayakan dan melanggar HAM perempuan.
  3. Melakukan revisi kebijakan tentang perkawinan (i) Menetapkan usia perkawinan sebagai 18 tahun untuk perempuan dan laki laki; (ii) menghapuskan praktek poligami (iii) Menghilangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga (iv) Memberikan perlindungan untuk perempuan dalam perkawinan antar agama, (v) Menjamin hak waris yang setara bagi perempuan sebagai anak dan sebagai istri, antara lain melalui revisi UU No.1 tahun 1974.
  4. Menghapus kebijakanyang diskriminatif terhadap perempuan di
  5. Menjalankan Rekomendasi Umum no 26 tentang perempuan pekerja migran, negara pihak perlu merumuskan kebijakan yang komprehensif dan peka gender untukkebijakan penempatan dan perlindungan migrasi, mendapatkan peluang kerja yang aman, menghapus larangan atau pembatasan yang diskriminatif berbasis jenis kelamin, usia, perkawinan, status kehamilan atau persalinan, termasuk menghapus ketentuan minta izin suami atau wali laki-laki untuk mendapatkan paspor atau untuk bepergian.

Sebagai salah satu mekanisme HAM nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selalu membuat laporan kepada komite CEDAW tentang perkembangan implementasinya di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi pada pemerintah Indonesia.  

Pada hari ini, memperingati 34 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW (2018), Komnas Perempuan memberikan beberapa catatan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:

  1. Kekerasan terhadap perempuan terus berlangsungdan korban menemui kemandekan, minim respon dalam upaya penanganan maupun pemulihan diri dari dampak kekerasan yang mereka alami. Kasus –kasus demikian yang mayoritas dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dalam kurun waktu 6 bulan ,  Januari-Juni  2018 kasus yang diterima Komnas Perempuan telah mencapai angka 538 kasus, dimana 88% (475 kasus) adalah kekerasan berbasis gender dan sebanyak 12% (63 kasus) adalah kasus yang tidak berbasis gender. Kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan didominasi oleh kekerasan dalam relasi personal yang mencapai 86% (409 kasus) dari total 475 kasus. Kekerasan di komunitas mencapai angka 12% (58 kasus) dan 1% (8 kasus) adalah kekerasan yang dilakukan 8 kasus tersebut antara lain konflik sumber daya alam (SDA) ,penggusuran, pelanggaran hak-hak pekerja migran perempuan dan kekerasan yang juga menonjol dalam dua tahun terakhir adalah kasus kejahatan siber (cyber crime)Dalam hal kebijakan, Komnas Perempuan mencatat hingga saat ini ada 421 kebijakan diskriminatif, yang ada di tingkat pusat dan daerah. 
  2. Perkawinan anak masih dikukuhkan oleh negara, dengan ditolaknya JR di Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan usia perkawinan usia anak dari 16 menjadi 18 tahun. Data yang dicatat Komnas Perempuan perkawinan anak berjumlah 11.819 yang disahkan oleh Negara melalui Pengadilan Agama dan diatur dalam UU 1tahun 1974. Berbagai kajian menunjukkan bahwa hamil dan menikah pada usia belia berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI). Saat ini AKI Indonesia adalah 359/100.000 kelahiran hidup.
  3. Praktek-praktek membahayakan perempuan seperti pelukaan dan pemotongan genital (P2GP) masih terjadi di Indonesia. Pemantauan Komnas Perempuan tahun 2017 di 10 wilayah, menunjukkan masih dilakukan baik tenaga medis maupun dukun. Komnas Perempuan menemukan bahwa alat praktik P2GP yang digunakan tenaga non-kesehatan ini beragam antar wilayah antara lain pisau kecil/pisau lipat, gunting kuku, silet, koin berlubang hingga hanya menggunakan kunyit saja sebagai simbolisasi. Pada beberapa kasus, di beberapa wilayah ditemui adanya dampak yang signifikan membahayakan kesehatan reproduksi dan seksual perempuan seperti  pendarahan, kematian dan tidak mengalami kepuasan dalam hubungan seksual.  Bahkan, beberapa wilayah kajian ini mengeluarkan Perda Retribusi Pelayanan Kesehatan untuk Praktik P2GP.
  4. Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Catatan Komnas Perempuan atas UU ini antara lain; 1) Masih mengabaikan sektor pekerja rumah tangga migran yang selama ini mendominasi penempatan dan pada saat yang sama menghadapi kerentanan khusus dalam setiap setiap proses migrasi; 2) Masih memuat prasyarat izin suami/ orang tua  yang berpotensi membatasi perempuan untuk menjadi pekerja migran dan membuka ruang penyalahgunaan; 3) Kerangka hak asasi manusia dan semangat perlindungan yang tertuang dalam sejumlah pasal dalam undang undang tersebut masih samar karena aturan turunannya.
  5. Isu-isu kebijakan diskriminatif terhadap perempuan di Aceh, hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan, antara lain pemberlakukan qanun  Hukum Jinayat dan qanun Hukum Acara Jinayat yang menempatkan perempuan rentan dikriminalisasi karena pemberlakukan pasal-pasal yang multi tafsir dan tidak berbasis perlindungan substantif pada perempuan.

Kondisi diatas menunjukkan implementasi CEDAW yang belum optimal terkait pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan lemahnya optimalisasi undang- undang yang melindungi perempuan. Untuk memperingati hari Ratifikasi CEDAW ke 34 ini, Komnas Perempuan mengingatkan dan mendorong pemerintah serta mengajak semua pihak untuk menjalankan mandat CEDAW dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui:

  1. Melakukan upaya korektif untuk mencabut dan memperbaiki kebijakan di tingkat nasional maupun daerah yang membatasi, mengontrol dan memicu diskriminasi maupun kriminalisasi terhadap perempuan.
  2. Menghentikan praktikPelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) karena membahayakan perempuan serta melanggar hak reproduksi dan seksual. Untuk itu pemerintah Kabupaten/ Kota harus menjalankan mandat Permenkes No. 6 Tahun 2014 .
  3. Mendorong semua pihak untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak maupun pola-pola perkawinan yang memicu kekerasan dan kerentanan terhadap perempuan baik perkawinan paksa, poligami, perkawinan yang tidak dicatatkan.
  4. Memperbaiki sistem layanan dengan menyusun program maupun penganggaran  untuk perlindungan maupun pemulihan perempuan korban.
  5. Menerbitkan aturan turunan UU No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai kerja layak PRT.

Betapa banyaknya pekerjaan rumah (PR) di sebuah rumah besar bernama Indonesia ini, harapan dari kuota 30% perempuan dalam hal menyuarakan ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Kami pun menuntut keterwakilan perempuan yang lebih besar lagi dan dari para perempuan yang memiliki komitmen jelas akan hal-perihal ini.

Kepemimpinan perempuan yang berperspektif gender tentunya akan sangat kami dukung, karena itu pula lah yang kita butuhkan mengingat betapa sulitnya kita menggoalkan UUTPKS dan RUUPPRT serta perda-perda lainnya terkait isu perempuan.

***(MJ)

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai