Salam dari redaksi,
Mei diawali dengan peringatan hari buruh. Di hari ini kita kembali mengenang Marsinah. Marsinah menjadi simbol perjuangan buruh dan perjuangan perempuan.
Gerakan perempuan berjalan seiring dengan dinamika perubahan dalam masyarakat. Artinya, sama seperti perjuangan di sektor-sektor lain, perjuangan perempuan juga memiliki corak berbeda di tiap jamannya.
Perjuangan perempuan sebelum dan sesudah revolusi industri demikian pula di negara kita baik di masa kolonial, pasca dan saat ini, di era pesatnya perkembangan teknologi digital. Di setiap masanya tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, lebih maju atau lebih tepat. Semua metode berlaku dan mengalami dinamika tersendiri.
Tapi yang pasti, semua memiliki tujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Tujuan ini lahir dari kondisi nyata ketidakadilan dan ketimpangan sosial di masyarakat.
Bentuk-bentuk ketidakadilan dan ketimpangan ini bisa jadi sudah ada sejak dulu, kalaupun kita baru mengenalnya sekarang justru karena dinamika ini memunculkan kesadaran dan pengenalan baru akan bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut.
Kalau dulu kita menganggapnya sebagai hal yang biasa dan normal, bertambahnya pengetahuan akan hak-hak perempuan dan HAM membuat kita mengenalinya sebagai bentuk ketidakadilan.
Mei adalah bulan untuk mengenang perjuangan baik sebelum, saat reformasi dan pasca. 25 tahun berlalu sejak reformasi digulirkan. Bulan ini kita dapat melakukan refleksi sejauhmana keadilan berlaku di masyarakat.
Bukan tugas kita untuk menilai mana perjuangan yang lebih berhasil atau tidak. Penilaian utama terletak pada bagaimana masyarakat bisa menikmati kehidupan yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Berbagai kemajuan di perlbagai sektor juga diiringi dengan berbagai pelanggaran HAM. Pada 2022 yang lalu, telah dilaksanakan Sidang ke 41 UN Human Rights Council: UPR (Universal Periodic Review/ Review Berkala Hak Asasi Manusia Sedunia), Pemerintah Indonesia menyampaikan National Report Periode ke-4 yang berisi 160 paragraf (dokumen A/HRC/WG.6/4/IDN/1).
UPR merupakan mekanisme HAM internasional yang mengundang negara-negara pada sidang review antar negara anggota PBB untuk memberikan rekomendasi atas isu HAM, dengan periode lima tahun sekali.
Dalam sidang tersebut, banyak permasalahan pelanggaran HAM yang menjadi sorotan negara-negara peserta sidang. Diantaranya mengenai hukuman mati, aborsi aman, SOGIESC, LGBTI, revisi KUHP, UU pornography, perkawinan anak, Papua dan Papua Barat, perlindungan human rights defender, UU ITE, dan masyarakat adat, buruh anak, migrant workers dan banyak lagi.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil dengan cita-cita membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan di masa depan, bagaimana kita memandang ketimpangan sosial dan pelanggaran HAM yang masih teris berlangsung hingga hari ini.
Komitmen untuk terus berpegang prinsip pada keadilan untuk semua dan menolak keras berbagai kejahatan kemanusiaan dapat terus dilakukan dan sudah seharusnya digaungkan secara terus menerus.
Redaksi Suluh Perempuan menerima berbagai bentuk karya-karya baik berupa tulisan, gambar, puisi dan foto dengan tema Refleksi 25 tahun Reformasi. Semua karya dapat dikirimkan melalui saluran WhatsApp maupun email Suluh Perempuan.
Terimakasih.
Mari tetap berjuang untuk meneruskan hal-hal baik.
*) Kirim tulisanmu untuk dimuat di www.suluhperempuan.org melalui email suluhperempuanindonesia@gmail.com dengan subject “kontributor super”
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024