Di tengah derasnya arus modernisasi, nama Masita Riany hadir sebagai pengingat bahwa akar budaya dan kearifan lokal adalah harta berharga. Ia bukan sekadar pribadi penuh prestasi, tetapi juga sosok yang rendah hati, yang menjembatani masa lalu dan masa kini dengan harmoni.
Cinta Lingkungan dan Budaya
Masita dikenal sebagai pegiat lingkungan. Baginya, merawat alam berarti merawat diri. Ia menerapkan gaya hidup berkelanjutan, khususnya di bidang pertanian, dengan menanam secara alami tanpa pupuk kimia atau pestisida. Filosofi ini sejalan dengan ajaran leluhur yang mengajarkan keselarasan dengan alam.
Kecintaannya tak berhenti di lingkungan. Jiwa seni dan budaya juga melekat erat dalam dirinya. Ia gemar menulis artikel, puisi, hingga monolog, lalu membacakannya penuh penghayatan. Koleksi batik tulis halus, batik lawas, dan kebaya bercorak batik yang ia rawat rapi bukan hanya benda indah, melainkan narasi visual tentang sejarah dan keindahan budaya Indonesia.
Warisan Nilai Luhur
Keluarga Masita adalah pertemuan dua dunia budaya. Sang ayah berasal dari Kediri, Jawa Timur, seorang pribadi sederhana, cerdas, dan penuh prestasi. Dari beliau, Masita belajar kesederhanaan dan kebajikan hidup.
Ayahnya juga memperkenalkan dua konsep penting budaya Jawa: pertama, ilmu titen, artinya “teliti” atau “cermat”. Ilmu titen adalah kearifan lokal yang mengandalkan kemampuan mengamati dan menelaah pola-pola alam, perilaku manusia, atau fenomena sosial. Ilmu ini mengajarkan kita untuk peka terhadap tanda-tanda kecil yang bisa menjadi petunjuk penting, seperti perubahan cuaca, sifat seseorang, atau peluang yang datang. Ini adalah seni mengelola hidup dengan kewaspadaan dan insting yang terasah.
Kedua Pranata Mangsa, sebuah sistem penanggalan kuno yang mengacu pada siklus musim dan tanda-tanda alam untuk menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam atau kegiatan pertanian lainnya. Pranata Mangsa bukan sekadar kalender, melainkan pedoman hidup yang selaras dengan alam. Sistem ini mengajari kita untuk menghargai dan memahami alam sebagai sumber kehidupan.
Dari sisi ibu, darah seni mengalir deras. Ibunya pernah berlenggak-lenggok di atas catwalk di masa muda. Kakeknya, Jacobus Quiko, merupakan salah satu pendiri Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe (1925). Kontribusinya diakui hingga tingkat internasional: UNESCO merekam musik keroncongnya pada 1971, dan Gubernur Ali Sadikin memberinya penghargaan pada 1975.
Sementara sang nenek, Melsy Rikin, berasal dari Kampung Sawah, Jakarta, kawasan yang lekat dengan nilai rukun dan damai.
Perpaduan budaya Jawa dan Betawi inilah yang membentuk pribadi Masita: mencintai lingkungan, menekuni seni, sekaligus menjaga warisan leluhur agar tetap hidup di masa kini.(*)
Sukir Anggraeni
Terkait
Sushila Karki, Teladan Gen Z Nepal dalam Melawan Korupsi
Sikap PPI Belanda atas Wafatnya Muhammad Athaya Helmi Nasution
Koalisi Masyarakat Sipil Gugat Menteri Kebudayaan atas Penyangkalan Perkosaan Massal Mei 1998