7 Desember 2025

Banjir Bandang Sumatera dan Alarm Krisis Agraria Nasional

Banjir di Sumatera. Foto: Antara

0Shares

Sejak 23 November 2025 lalu, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dilanda curah hujan ekstrem yang memicu banjir bandang di berbagai wilayah. Hingga kini, genangan air bercampur lumpur masih menyelimuti permukiman dan lahan pertanian warga. Ribuan rumah hanyut, sawah rusak, dan kehidupan masyarakat lumpuh total. Bencana ini tidak hanya merenggut harta benda, tetapi juga nyawa.

Berdasarkan berbagai laporan media, sedikitnya 50 kabupaten dan kota di tiga provinsi tersebut terdampak. Tak kurang dari 2,1 juta jiwa terpaksa mengungsi. Sebanyak 2.600 orang dilaporkan luka-luka, 735 jiwa meninggal dunia, dan hingga kini 650 orang masih dinyatakan hilang. Angka-angka ini menjadikan banjir besar di Sumatra sebagai salah satu bencana hidrometeorologi terburuk dalam beberapa tahun terakhir.

Namun di balik dahsyatnya bencana alam itu, kenyataan yang lebih mencemaskan adalah buruknya penanganan di lapangan. Laporan dari jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa respons pemerintah, baik pusat maupun daerah, berjalan sangat lambat. Banyak wilayah masih terisolasi akibat akses jalan yang terputus. Jalur distribusi logistik belum tembus ke desa-desa terdampak. Alat berat sangat terbatas, sementara ribuan warga bertahan tanpa makanan dan air bersih selama berhari-hari.

Dalam situasi krisis, harga kebutuhan pokok justru melambung tinggi. Pemerintah dinilai gagal mengendalikan pasar di tengah kondisi darurat. Lebih memprihatinkan lagi, warga mulai dihadapkan pada ancaman wabah penyakit. Kasus penyakit kulit, diare, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) kian meningkat akibat minimnya posko kesehatan dan persediaan obat-obatan. Anak-anak dan para lansia terpaksa tidur di pengungsian yang tidak layak, tanpa selimut memadai dan sanitasi yang sehat.

Banjir sebagai Sinyal Darurat Krisis Agraria dan Ekologis

Bagi KPA dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, banjir ini bukan semata bencana alam. Tragedi ini dipandang sebagai sinyal darurat atas krisis agraria dan ekologis yang kian memburuk di Pulau Sumatra. Negara disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi ini karena selama bertahun-tahun lebih memilih membagi-bagikan izin dan konsesi kepada korporasi perkebunan, kehutanan, dan tambang, ketimbang membenahi kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang terus menggunung.

Kawasan hulu yang sejatinya berfungsi sebagai “spons” penyerap air kini telah dikuasai oleh segelintir korporasi. Hutan alam dan wilayah adat masyarakat yang selama ini menjadi kawasan penyangga ekosistem dirampas dan dibuka secara besar-besaran. Tutupan hutan digantikan oleh tanaman monokultur berakar dangkal. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, air tidak lagi terserap oleh tanah, melainkan menghantam pemukiman warga yang berada di hilir sungai.

Catatan Akhir Tahun 2024 KPA mengonfirmasi parahnya situasi ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, terjadi sedikitnya 3.234 letusan konflik agraria yang meliputi wilayah seluas 7,4 juta hektare dan berdampak pada 1,8 juta keluarga. Lebih dari separuh konflik atau 1.733 kasus dipicu oleh operasi perusahaan perkebunan, konsesi tambang, dan Hutan Tanaman Industri.

Ironisnya, dua dari tiga provinsi yang saat ini terendam banjir—Sumatra Utara dan Sumatra Barat—merupakan wilayah dengan letusan konflik agraria tertinggi sepanjang 2024. Di Sumatra Utara tercatat 32 kasus konflik agraria, mayoritas disebabkan oleh operasi perkebunan sawit, proyek pembebasan lahan untuk infrastruktur, serta kegiatan kehutanan dan pertambangan. Sementara di Sumatra Barat, sepanjang 2024 terdapat sedikitnya 12 letusan konflik agraria, sepuluh di antaranya dipicu oleh ekspansi perusahaan perkebunan.

Hutan yang Terus Menyusut

Temuan Kelompok Studi Prakarsa dan Pemberdayaan Masyarakat (KSPPM) memperkuat gambaran kerusakan ekologis di kawasan hulu. Analisis perubahan tutupan hutan di Tapanuli Selatan sejak 1990 hingga 2024 menunjukkan penurunan hutan alam yang sangat signifikan. Dalam tiga dekade terakhir, wilayah ini kehilangan 46.640 hektare hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000 dengan luas 26.223 hektare, disusul periode 2000–2010 sebesar 10.672 hektare.

Data tersebut berjalan seiring dengan masifnya alih fungsi lahan. Sejak 1990 hingga 2024, terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektare, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 hektare, serta teridentifikasi 298 lubang tambang di wilayah tersebut.

Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di Tapanuli Tengah. Dalam periode yang sama, wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektare hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000 mencapai 9.023 hektare, kemudian disusul periode 2010–2020 sebesar 6.154 hektare. Kerusakan hutan berlangsung perlahan, tetapi konsisten selama puluhan tahun.

Berbeda dengan Tapanuli Selatan, perubahan tutupan lahan di Tapanuli Tengah tidak menunjukkan lonjakan besar pada perluasan kebun sawit, kebun kayu, maupun pertambangan. Namun alih fungsi tetap terjadi menuju lahan gambut, mangrove, sawah, permukiman, dan bentuk penggunaan lahan lain yang turut memengaruhi keseimbangan hidrologis wilayah.

Lebih mencemaskan lagi, di hulu Sungai Batang Toru terdapat 21 anak sungai dan di Sungai Sibundong terdapat 46 anak sungai. Seluruh anak sungai tersebut berada dalam konsesi salah satu perusahaan, PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Fakta ini menguatkan dugaan bahwa pembukaan hutan dan perubahan kawasan menjadi monokultur, khususnya kebun kayu eukaliptus, telah merusak fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS) di kedua wilayah tersebut.

Negara Didesak Berbenah

Bencana ekologis banjir yang melanda Sumatra seharusnya menjadi momentum besar bagi Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan krisis agraria yang telah berlarut-larut. Tanpa perubahan kebijakan yang bersifat struktural, bencana serupa diyakini akan terus berulang. Selama ini pemerintah selalu menjadi pemadam kebakaran – sibuk saat bencana terjadi, lupa saat situasi telah pulih.

KPA bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil mengingatkan pemerintah agar segera melakukan evaluasi menyeluruh serta moratorium terhadap seluruh izin dan konsesi yang telah memonopoli wilayah adat dan kawasan hutan, khususnya di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Dalam pernyataan bersama, KPA, KSPPM, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Perempuan Rakyat Penunggu (PARAP), Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) Aceh, Serikat Tani Aceh Utara (SETIA), serta Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR) mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret.

Pertama, pemerintah diminta segera melakukan moratorium, audit, serta pencabutan izin dan konsesi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan yang bermasalah. Wilayah adat masyarakat serta kawasan hutan yang telah rusak akibat operasi korporasi harus dipulihkan.

Kedua, seluruh pejabat negara dan korporasi yang terbukti melakukan praktik perampasan tanah, wilayah adat, dan kawasan hutan harus diusut tuntas dan ditindak tegas.

Ketiga, pengelolaan sumber daya agraria harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat, bukan terus-menerus diberikan kepada korporasi. Pengalaman panjang membuktikan bahwa masyarakat justru lebih mampu menjaga tanah dan hutan dibanding korporasi yang semata mengejar keuntungan.

Keempat, pemerintah harus segera melaksanakan reforma agraria sejati sebagai upaya pengakuan dan pemulihan wilayah adat masyarakat serta redistribusi tanah untuk rakyat.

Kelima, Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria (Pansus PKA) didesak segera bekerja melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan reforma agraria. Presiden Prabowo juga diminta segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BPRAN).[]

Sumber: Siaran Pers bersama bencana banjir Sumatera

0Shares