Peringatan Hari Ibu diawali oleh peristiwa sejarah tanggal 22 Desember 1928. Saat itu sejumlah organisasi dan aktivis pergerakan perempuan Indonesia (atau masa itu disebut Hindia Belanda) menggelar Kongres Perempuan di Yogyakarta. Semangat yang terbangun dalam Kongres Perempuan I tersebut adalah mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, pemenuhan hak-hak perempuan sebagai manusia, dan semangat anti-kolonialisme.
Memperhatikan semangat tersebut, yang bernilai politik pembebasan perempuan dan pembebasan nasional, maka kami bersepakat dengan sejumlah kalangan bahwa Hari Ibu 22 Desember harus dimaknai secara lebih luas, dan tidak justru kembali mengesankan domestifikasi peran Ibu dalam kodratnya sebagai perempuan.
Terlebih, tantangan-tantangan yang dihadapi kaum perempuan saat ini relatif masih sama dengan keadaan 86 tahun lalu, meski dengan kadar yang berbeda. Setelah enam puluh delapan tahun Indonesia merdeka, kondisi mayoritas masyarakat dan perempuan Indonesia masih juga miskin. Sistem neoliberalisme, yang merupakan akumulasi kapitalistik tanpa mengenal batas, telah memiskinkan kaum perempuan. Perempuan sulit mengakses pendidikan sejak dikomersialisasi sehingga semakin mahal. Neoliberalisme juga makin menyingkirkan perempuan dari layanan dasar lain seperti kesehatan, pangan, perumahan, dan lain-lain. Di sini, neoliberalisme kita maknai sebagai pelepasan tanggung-jawab negara terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya. Apa-apa yang dulu dianggap tugas negara sekarang dilepas menjadi tanggung-jawab individual.
Di sisi lain, masyarakat masih meletakkan urusan domestik sebagai tangung-jawab perempuan. Ini akibat cara pandang patriarki—yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua—masih mendominasi alam pikir masyarakat kita. Akibatnya, ketika negara tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, maka kaum perempuan lah yang dipaksa memanggul tugas-tugas tersebut; mulai dari persoalan paling domestik seperti kebutuhan dapur, perawatan anak, sampai mengatasi masalah pendidikan.
Kami menyerukan kepada kaum perempuan buruh yang sedang menuntut kenaikan upah, kaum perempuan petani, seperti ibu-ibu di Rembang dan Suku Anak Dalam yang berjuang mempertahankan tanahnya, kaum perempuan TKI yang masih dieksploitasi dan dibodohi, dan seluruh perempuan yang memperjuangkan keadilan, saatnya bersatu bersama barisan kaum progresif untuk memperjuangkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang bedaulat, mandiri, dan berkepribadian, yang menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sebagai tahapan menuju masyarakat adil dan makmur tanpa penindasan manusia atas manusia.
Kelahiran organisasi massa perempuan, API-Kartini (Aksi Perempuan Indonesia – Kartini) tanggal 14 Desember 2014 baru-baru ini kami harapkan dapat mengembalikan semangat gerakan perempuan yang demokratik untuk menentang neoliberalisme dan sisa-sisa budaya feodal (patriarkhi).
Selamat Hari Ibu!
Jakarta, 22 Desember 2014
Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia – Kartini
(DPP API KARTINI)
Minaria Christyn Natalia S Diena Mondong
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Masyarakat Diminta Pantau Pemilu Melalui Laman JagaPemilu.com
Darurat Audit Keselamatan Kerja dan Pelanggaran HAM di IMIP