8 Oktober 2025

Komnas Perempuan dan CSO Konsolidasi Masukan untuk RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Foto: Jawa Pos/Salman Toyibi

0Shares

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama perwakilan organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, serta jejaring advokasi menggelar pertemuan di Ruang Persahabatan, Kantor Komnas Perempuan, Rabu 1 Oktober 2025. Pertemuan ini bertujuan untuk menghimpun masukan multi-perspektif serta membangun konsolidasi strategis dalam mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

RUU PPRT sendiri telah menjadi perjuangan panjang selama 21 tahun. Meski urgensinya tak terbantahkan, hingga kini pekerja rumah tangga (PRT) masih menghadapi kerentanan berlapis—mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga seksual. Selain itu, hak-hak dasar pekerja seperti kepastian jam kerja, upah layak, jaminan sosial, serta hak atas hari libur belum terjamin. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan bahkan menunjukkan tren meningkatnya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menyasar PRT.

Sejak Agustus 2025, RUU PPRT memasuki fase krusial: pembahasan pasal demi pasal di Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR RI bersama pemerintah. Pada tahap ini, substansi akhir RUU akan sangat ditentukan. Komnas Perempuan menekankan pentingnya sejumlah prinsip utama dalam pembahasan tersebut, antara lain:

  1. Pengakuan PRT sebagai pekerja, memiliki hak dan kewajiban setara dengan pekerja lainnya.
  2. Perlindungan menyeluruh, bukan hanya sebatas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, tetapi juga jaminan kepastian kerja, upah, jaminan sosial, waktu istirahat, dan hak atas hari libur.
  3. Pengaturan perjanjian kerja dan standar kerja yang adil sebagai dasar hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja.

Di forum pertemuan konsolidasi itu para peserta sepakat melakukan klasifikasi pasal berdasarkan tingkat urgensinya, yaitu:

  1. Pasal krusial yang wajib dipertahankan.
  2. Pengaturan upah dan cuti pekerja rumah tangga secara jelas.
  3. Fleksibilitas kesepakatan kerja dan upah, namun tetap berbasis perlindungan hukum.
  4. Tanggung jawab penyalur PRT harus dipertegas.
  5. Sistem pengawasan dapat lisan maupun tulisan, namun kesepakatan lisan wajib disahkan oleh RT/RW sebagai saksi.

Diskusi kemudian mengaitkan RUU PPRT dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Disepakati bahwa tidak perlu menduplikasi pasal yang sudah ada dalam regulasi lain, melainkan cukup menegaskan bahwa PRT diakui sebagai pekerja, sehingga perlindungan hukum otomatis berlaku. Isu perlindungan sosial dan pengakuan kerja perawatan ditegaskan sebagai ruh utama RUU PPRT.

Sementara Pasal 23 tentang vokasi masih menjadi bahan pertimbangan apakah perlu dipertahankan atau dihapus.

Jumisih, dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), yang hadir dalam pertemuan mengatakan:

“Sejauh ini masih ada beberapa pasal yang pending, itu artinya masih butuh pembahasan khusus, tentang upah, waktu kerja, juga terkait BPJS, tapi perkembangan terakhir itu sebetulnya baleg itu sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan berbagai pihak, jadi mestinya sudah bisa terselesaikan untuk segera membahas pasal-pasal yang pending, terus pembahasan tingkat satu, terus kemudian bisa diparipurnakan, artinya sudah bisa ketuk palu, “ujarnya.

Pada sesi strategi, peserta menyepakati pendekatan dua jalur paralel: advokasi politik dan kampanye publik. Jalur politik akan dilakukan melalui aksi langsung, komunikasi intensif dengan DPR/pemerintah, dan pelibatan Kementerian Perlindungan Perempaun dan Anak, serta Badan Legislatif sebagai fasilitator pertemuan resmi masyarakat sipil dengan parlemen.

Sementara jalur kampanye publik ditekankan pada penguatan narasi digital, terutama melalui Instagram, dengan mengatur waktu posting serempak, konsistensi tagar, warna simbolik, dan desain visual seperti menyisipkan isu RUU PPRT dalam setiap kegiatan jaringan, serta memastikan setiap konten kampanye menggunakan tagar #RUUPPRT, #SahkanRUUPPRT.

Juga momentum 22 November (hari awal kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) dipilih sebagai hari konsolidasi nasional untuk menyoroti RUU PPRT secara serempak.

Pertemuan ditutup dengan penegasan bahwa pengesahan RUU PPRT bukan hanya persoalan hukum, tetapi soal martabat dan pengakuan terhadap kerja perawatan yang selama ini tak terlihat. Dengan konsolidasi yang semakin solid, gerakan ini berkomitmen untuk memastikan tidak ada lagi pekerja rumah tangga yang dibiarkan tanpa perlindungan hukum.(*)

(Jung Nursabah)

0Shares