Maria Ullfah lahir pada tanggal 18 Agustus 1911 di kota kecil Serang. Ayahnya bernama Mohammad Achmad, termasuk keluarga golongan priyayi atau menak. Berkesempatan belajar di sekolah menangah Belanda (Hogere Burger School atau HBS) yang saat itu jarang menerima murid pribumi. Sedangkan, ibunya bernama RA. Hadidjah Djajadiningrat, masih saudara sepupu ayahnya, berasal dari keluarga Bupati Serang. Ibunya pun terpelajar dan mengecap pendidikan formal, suatu hal yang masih jarang terjadi di keluarga lainnya.
Maria Ullfah lahir sebagai anak kedua. Tetapi karena kakaknya meninggal saat bayi, maka ia dianggap dan bertindak sebagai anak sulung. Ullfah berasal dari bahasa Arab yang artinya ‘keakraban’, sedangkan Maria adalah ejaan barat untuk Mariam, nama ibunda Nabi Isa. Mestinya, orang tuanya memberi nama Mariam Ullfah, tetapi agar enak didengar maka menjadi Maria Ullfah. Nama ini seringkali menimbulkan kebingungan. Orang sering mengira bahwa Maria Ullfah seorang Katolik.
Berasal dari keluarga bangsawan yang mementingkan kepintaran, maka tidak mengherankan jika Maria Ullfah mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Waktu itu pemerintah Hindia Belanda sudah menjalankan politik etis sebagai bentuk politik balas budi karena telah berabad-abad lamanya menikmati keuntungan dari pemerasan bangsa Indonesia. Pada waktu Maria duduk di kelas 4 sekolah menengah, pemuda-pemudi yang lebih tua (kebanyakan mahasiswa) mencetuskan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Pembela Kaumnya
Sebuah perlakuan tidak adil yang disaksikan Maria Ullfah kecil di lingkungan keluarganya, telah mengukuhkan tekadnya mencurahkan seluruh hidup untuk usaha merubah ketidakdilan yang dialami kaum perempuan Indonesia serta meningkatkan kedudukan dan martabat mereka di mata hukum dan masyarakat.
Bibinya, RA. Suwenda telah diceraikan suaminya, Bupati Pandeglang karena terpikat pada perempuan lain. Karena telah bercerai dengan suaminya maka ia kembali hidup bersama orang tuanya, yaitu kakek Maria Ullfah. Pada waktu itu, perempuan bangsawan di Indonesia belum mendapatkan pendidikan yang memungkinkan untuk berdiri sendiri dan mencari nafkah sendiri. Maka, seorang perempuan kalangan atas yang tidak bersuami seumur hidup menjadi beban tanggungan keluarganya.
Secara materiil hidup mereka terjamin, namun secara batin ia sangat menderita karena dianggap perempuan ‘pembawa malu keluarga’. Kala itu, seorang perempuan yang dicerai suami dipandang sebagai lambang kegagalan, karena ia tidak berhasil memikat perhatian suaminya terus-menerus. Masyarakat juga selalu menilai kesalahan pada kaum perempuan. Bibi Soewenda dianggap pantas dicerai karena tidak bisa memberikan keturunan. Padahal dengan dua isteri berikutnya Bupati Pandeglang juga tidak memperoleh keturunan.
Begitulah, nasib Bibi Suwenda yang malang akhirnya dikucilkan dari pergaulan umum. Ia tak boleh meninggalkan kamarnya. Saat makan tidak boleh bersama keluarga dan hanya di dalam kamar. Kejadian itu begitu membekas di hati Maria sehingga di kemudian hari ia belajar hukum dan menjadi sarjana hukum. Ia pun aktif memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, khususnya hukum keluarga dan perkawinan.
Waktu Maria menjadi mahasiswa di Leiden, Belanda umurnya 18 tahun. Studinya diselesaikan tepat dalam waktu 4 tahun, sehingga ia menjadi sarjana hukum perempuan Indonesia yang pertama pada umur hampir 22 tahun. Ketika ayahnya masih di Belanda, Maria berkenalan dengan Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta. Tetapi orang yang paling banyak mempengaruhi pemikiran Maria adalah Sutan Syahrir.
Saat Syahrir menjadi mahasiswa hukum di kota Amsterdam, ia seringkali datang ke kota Leiden untuk menemui Maria. Pada kunjungan pertama, Maria Ullfah diwawancarai oleh Sutan Syahrir tentang bagaimana perasaannya sebagai pemudi Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Sejak itu ia sering diajak oleh Syahrir ke pertemuan-pertemuan politik, seperti pertemuan Liga Anti Kolonialisme yang diadakan di gedung bioskop di Hooge Woerd di kota Leiden. Di sana Maria diperkenalkan dengan pembiacara utamanya Jef Last, seorang pemimpin sosialis. Syahrir juga memberinya bermacam-macam buku bacaan politik. Persahabatan mereka berhenti mendadak karena Syahrir harus pulang ke tanah air tanpa menyelesaikan studinya akibat tertangkapnya Ir. Sukarno dan dibubarkannya Partai Nasional Indonesia.
Walaupun perasaan kebangsaannya makin dipertebal oleh pengaruh pergaulan dengan Syahrir, Maria Ullfah selama di negeri Belanda tidak menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi politik dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda. Namun demikian, pergaulannya dengan anggota Perhimpunan Indonesia baik sekali.
Pada 1933 ia lulus dan mendapat gelar Sarjana Hukum (meester in de rechten). Dan, ia menghadiahi dirinya sendiri dengan berkelana ke Eropah selama beberapa bulan sebelum kembali ke Indonesia dengan biaya hasil tabungan yang dikumpulkannya selama di Belanda. Ia mengunjungi negara-negara Norwegia, Denmark, Skotlandia, Perancis, Inggris, Jerman dan Switzerland. Perjalanan wisata sebagai pengenalan bangsa-bangsa lain dan dilakukan untuk membuktikan pada diri sendiri dan masyarakat Indonesia bahwa ia seorang perempuan modern yang dapat berdiri sendiri, berani pergi tanpa ditemani atau dijaga oleh laki-laki atau keluarga.
Kiprahnya di Pergerakan Nasional
Sesampai di tanah kelahiran, Maria sempat bekerja di kantor Kabupaten Cirebon sebagai bentuk baktinya kepada ayah. Kemudian, ia memutuskan pindah ke Jakarta dan mengajar bahasa Jerman dan tatanegara di sekolah menengah Muhammadiyah. Menjadi guru partikelir yang bercorak politik dengan gaji minim bahkan seringkali tidak dibayar adalah agar bisa bergaul dan bergerak bersama-sama pejuang-pejuang nasionalis Indonesia lainnya, seperti Amir Syarifuddin, Moh. Jamin, Adnan Kapau Gani, dan lain-lain. Nama Maria Ullfah selalu disebut-sebut dalam pidato dan dijadikan kebanggaan kaum nasionalis, “Lihatlah seorang wanita, putri seorang Bupati didikan Belanda, dengan sukarela terjun ke gelanggang perjuangan kemerdekaan.”
Maria Ullfah juga secara sukarela menyelenggarakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf di daerah perkampungan di belakang rumahnya di Salemba Tengah dan Paseban. Ia sempat dicurigai oleh warga setempat namun tak cepat putus asa. Ia mengkombinasikan pelajaran menulis dan membaca dengan kursus menjahit yang lebih diminati oleh masyarakat. Ia mengajak warga ikut kursus menjahit tapi syaratnya harus bisa menulis dan membaca.
Maria Ullfah tidak melupakan cita-cita awalnya untuk memperbaiki kondisi perempuan Indonesia, khususnya di bidang hukum keluarga. Nasib yang diderita bibinya RA Soewenda terus-menerus menghantui pikirannya. Mengapa kedudukan mereka begitu lemah? Mengapa mereka dapat diceraikan begitu saja? Mengapa mereka harus menahan hati kalau suaminya mau mengambil isteri baru? Mengapa mereka tidak dapat minta cerai? Mengapa hanya laki-laki saja dapat mengakhiri suatu perkawinan? Ia sadar bahwa agama Islam membolehkan seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri, tetapi apakah betul Islam menghendaki kaum perempuan menderita? Menurutnya, Surat An Nisa ayat 3, jelas berarti bahwa Islam menganjurkan satu istri. Mana mungkin orang berlaku adil. Adil lahiriah masih dapat tetapi adil batiniah sulit dilaksanakan.
Dalam Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta, Maria Ullfah mulai menampilkan perannya. Ia berhasil menjadi penengah antara kubu yang pro poligami dan anti poligami dan mengusulkan agar kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam tidak dibahas di kongres akan tetapi ditangani oleh suatu Biro Konsultasi. Tugas Biro Konsultasi adalah mempelajari hukum perkawinan Islam secara mendalam dan membantu kaum perempuan yang mendapat kesulitan dalam perkawinan. Oleh kongres, Maria Ullfah kemudian diserahi tugas untuk menangani Biro Konsultasi ini.
Peranan Maria Ullfah dalam pergerakan nasional memang tidak menonjol, hanya pada masa permulaan, ketika menanamkan benih-benih kesadaran di kalangan kaum perempuan. Namun, ia telah membuka mata masyarakat terhadap banyak ketidakdilan yang terdapat dalam pelaksanaan kaidah-kaidah agama yang sering berdasarkan salah tafsir. Benih itulah yang menggerakkan banyak tokoh perempuan lain untuk melakukan studi, dan memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan Indonesia.
Menteri Sosial di Era Kabinet Syahrir
Ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri, ia meminta Maria Ullfah menjadi Sekretaris Jenderal pada Kementerian Luar Negeri. Maria menolak dan diminta menjadi pembantu pribadi Sutan Sjahrir dengan tugas khusus sebagai perwira penghubung (liaison officer) antara pemerintah Indonesia dengan tentara Sekutu (Serikat) yang terutama terdiri dari pasukan-pasukan Inggris. Dalam kabinet Sjahrir kedua, Maria menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia.
Saat Kabinet Amir Syarifuddin, Maria Ullfah berkedudukan sebagai Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Kabinet. Selanjutnya diangkat menjadi Direktur Kabinet Perdana Menteri. Saat itu, ia membantu perjuangan Kongres Wanita Indonesia dan menjadikan Hari Ibu sederajat dengan Hari kebangkitan Nasional.
Humaira
Sumber bahan: Gadis Rasid, Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1985, Cetakan Kedua.
Kredit Foto: Koleksi Tropen Museum
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024