Perjalanan Tari atau Prilly Latuconsina yang memerankan film “Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis,” sedang memberi kita sajian fakta bagaimana trauma korban kekerasan dalam rumah tangga berdampak buruk bagi kesehatan mental seseorang.
Tari hidup dalam keluarga yang sangat abusive. Ayahnya yang kasar dan selalu melakukan kekerasan terhadap ibunya, membuat ia berpikir untuk menyelamatkan ibunya. Tak jarang, Tari pun mendapatkan amukan hingga perlakukan kasar dan kekerasan fisik.
Tari tumbuh dalam bayang-bayang trauma yang meresap ke dalam kehidupannya sehari-hari. Ia adalah saksi sekaligus korban dari kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan ayah terhadap ibunya. Suara bentakan, barang yang dilempar, dan wajah ibunya yang penuh ketakutan menjadi bagian dari ingatan yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Bahkan, dalam momen-momen hening yang seharusnya membawa ketenangan,
Tari seringkali dihantui oleh bayangan masa lalunya. Peristiwa-peristiwa ini bukan hanya meninggalkan luka fisik pada keluarganya, tapi juga menciptakan beban mental yang berat baginya untuk dipikul. Setiap langkah dalam hidupnya terasa seperti melangkah di atas pecahan kaca. Selalu waspada dan takut akan kemarahan yang mungkin meledak kapan saja.
Dengan segala luka batin yang membelenggu, Tari akhirnya memutuskan untuk menjalani kelas konseling. Ruang ini menjadi satu-satunya tempat di mana ia merasa aman dan jujur pada perasaannya. Perlahan ia mengurai simpul trauma yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia mulai belajar mengenali emosi yang selama ini tertahan—amarah, ketakutan, kesedihan, dan rasa bersalah.
Konselor yang mendampinginya membantu Tari menggali potensi untuk memulihkan dirinya, memberikan cara untuk membangun batasan sehat dalam menghadapi kenangan yang menyakitkan. Namun, proses pemulihan ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak malam di mana Tari merasa tenggelam dalam rasa putus asa. Memori tentang perlakuan kasar ayahnya terus berputar seperti rekaman yang sulit dimatikan.
Di sisi lain, ia dihantui oleh rasa tanggung jawab yang besar untuk melindungi ibunya, meski ia sendiri masih rapuh. Tari merasa terjebak di antara keinginan untuk menyelamatkan ibunya dan rasa takut terhadap amukan ayahnya. Konflik batin ini seringkali membangkitkan kembali trauma yang ingin ia sembuhkan.
Hari-hari Tari menjadi serangkaian pertempuran antara rasa takut dan keberanian. Dalam proses ini, ia menyadari betapa pentingnya memiliki ruang aman untuk mengekspresikan emosi yang selama ini ia pendam. Tari merasa perlu menyelamatkan ibunya dari situasi hubungan dengan ayahnya yang tidak baik-baik saja.
Tari memiliki keberanian untuk menolong ibunya dari situasi kekerasan, termasuk menolong dirinya sendiri. Tari berinisiatif memanggil mentornya di kelas konseling dan kedua teman kantornya, untuk menjemput mereka pergi dari rumah yang penuh kekerasan tersebut. Kedua Teman dan mentor Tari menolong Tari dan ibunya serta menjadi tempat perlindungan bagi keduanya.
KDRT Tak Boleh Dinormalisasi
Dari film ini, kita belajar bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. KDRT tidak boleh dianggap sebagai hal yang normal atau dibiarkan begitu saja. KDRT melukai fisik, mental, dan berdampak bagi emosional korban, serta mengakibatkan dampak negatif bagi anak-anak dan keluarga secara keseluruhan.
Ketika masyarakat mulai menormalisasi atau membiarkan kasus KDRT, maka siklus kekerasan akan terus berulang dan bahkan semakin sulit dihentikan. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa KDRT adalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihentikan. Bukan dianggap sebagai urusan pribadi yang tak tersentuh.
Setiap anggota masyarakat memiliki peran dalam mencegah dan melawan KDRT. Dengan meningkatkan kesadaran kolektif, masyarakat dapat membantu memutus rantai kekerasan ini dan memberikan dukungan kepada korban untuk melaporkan kekerasan yang dialami.
Kampanye, edukasi, dan pelatihan tentang tanda-tanda KDRT serta cara memberikan dukungan bagi korban perlu lebih digencarkan agar tidak ada lagi kasus yang terabaikan. Masyarakat yang sadar akan dampak buruk KDRT akan menjadi lingkungan yang tidak memberi ruang bagi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Penting bagi setiap individu untuk mengambil sikap proaktif dan berani melaporkan atau mengintervensi ketika mengetahui adanya tindakan KDRT. Lembaga pemerintah, aparat, dan komunitas perlu memperkuat layanan pendukung dan perlindungan hukum bagi korban agar mereka merasa aman dan didampingi. Dengan kerja sama seluruh elemen masyarakat, KDRT dapat dicegah secara efektif, dan korban kekerasan bisa mendapatkan keadilan serta bantuan yang mereka butuhkan untuk memulai kehidupan yang lebih aman dan bermartabat.
Fen Budiman, (Sekjen Suluh Perempuan)
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024