Pemerintah silih berganti menawarkan berbagai program pendidikan gratis hingga murah dengan janji-janji peningkatan mutu. Namun, dari waktu ke waktu, realisasi janji ini sering jauh dari harapan. Pada pemerintahan baru, apakah pemerintah siap mengubah poros liberalisasi pendidikan dengan pendidikan murah dan berkualitas, ataukah hanya sekadar retorika belaka?
Sejak Soeharto berkuasa, subsidi pendidikan dipangkas dan diubah menjadi skema pembiayaan sumbangan pembiayaan pendidikan. Bukan hanya itu saja, Soeharto juga menyetujui sistem pendidikan menjadi area dagang karena memasukan GATS General Agreement on Trade in Services, perjanjian Umum tentang Perdagangan Jasa. Sampai saat ini, sistem Pendidikan masih terus menjadi komoditi, berorientasi profit. Pendidikan bukan menjadi sistem yang inklusif untuk semua, tetapi justru menghamba pada mekanisme pasar.
Memang kita memiliki sejumlah program beasiswa termasuk LPDP, Program Indonesia Pintar, dan beragam beasiswa lainnya, tapi faktanya beasiswa ini masih secara parsial diterima. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ajaran 2022-2023, angka putus sekolah di Indonesia mengalami peningkatan di semua jenjang pendidikan, dengan total 76.834 siswa yang tidak melanjutkan pendidikan. Sebanyak 76 persen keluarga menyatakan bahwa alasan utama anak mereka berhenti sekolah adalah kesulitan ekonomi.
Pendidikan Murah Hanya Sekedar Mimpi?
Anggaran Pendidikan yang sangat mahal di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, membuat mimpi dan cita-cita menjadi mahasiswa hanya tinggal mimpi. Pada sebagian orang yang memiliki privilege dengan kondisi ekonomi kelas menengah keatas bisa sanggup membayar biaya pendidikan. Tapi yang miskin dan tidak mampu? Apa yang harus dilakukan? Pertanyaan ini tentu saja sedang ditujukan pada negara sebagai representasi kepentingan rakyat dalam mengelola dana pendidikan untuk semua tanpa terkecuali.
Kalau kita melihat besaran dana pendidikan melalui sistem uang kuliah tunggal (UKT) tentu saja ada sejumlah hal yang sangat debatable. Dimulai dari besaran dana yang berbeda tiap orang disesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing. Tetapi disisi lain, ini justru mendorong mekanisme pembebanan tunggal dari tiap individu untuk membayar dengan angka yang cukup mahal. Secara langsung mendongkrak mekanisme pasar dalam pendidikan. Sehingga mahasiswa terlibat “tawar menawar” dengan perguruan tinggi.
Isu semacam ini bukan hal baru. Pendidikan yang dijadikan ladang profit dalam institusi bukan hanya sulit untuk maju, tetapi juga mundur dalam hal kualitas. Bertolak belakang dengan tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Situasi ini juga melahirkan diskriminasi bagi kalangan masyarakat miskin dan tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Ironi Pendidikan Hari Ini
Bagi saya, mengenyam pendidikan tinggi di masa kini -mahasiswa tanpa beasiswa- bukan hal yang mudah. Saya memulai Pendidikan S2 di salah satu Universitas di Indonesia. Bukan hal mudah bagi saya sebagai individu yang harus “survive” ditengah situasi pendidikan Indonesia yang sangat mahal. Sehari-hari saya bekerja “freelance” sebagai admin, notetaker, dan penulis lepas. Saya harus membiayai kehidupan sehari-hari tetapi juga harus memikirkan bagaimana saya harus membayar kuliah. Hidup di Jakarta dan harus membayar uang kuliah belasan juta, bukan hal yang mudah dengan orang yang berstatus sosial ekonomi menengah kebawah. Pengalaman ini tentu bukan saja bukan saya rasakan sendiri. Ada banyak teman-teman yang berusaha sekolah tapi mereka terkendala biaya. Mereka harus berkali-kali tes beasiswa. Mereka harus bekerja banting tulang demi membayar biaya kuliah yang mahal tersebut.
Masalah seperti ini, bukan terjadi pada orang tertentu saja. Sehingga prinsip “pendidikan untuk semua” menjadi sebuah hal yang tidak penting. Misalnya di ranah teman-teman dokter, ada biaya puluhan juta yang harus dikeluarkan demi membayar kuliah kedokteran. “Kalau gak dapat beasiswa, ya aku gak bisa sekolah,” kata seorang teman yang kuliah dokter dengan skema beasiswa. Mendapat beasiswa atau tidaknya, bukan hanya bergantung pada “kepintaran” seseorang. Kalau konsep ini yang dipakai, maka upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” justru akan semakin jauh.
Munculnya istilah “orang miskin dilarang sekolah” adalah ironi hari-hari ini. Karena pendidikan yang seharusnya menjadi hak tiap-tiap orang, diubah menjadi ladang profit demi keuntungan institusi semata. Bahkan masyarakat sebagai struktur sosial dikontrol untuk berpikir dalam konsep yang ajeg. Setiap orang harus bekerja keras, disiplin, mandiri, dan tidak bergantung pada pemerintah. Padahal bukan begitu konsep yang sesungguhnya. Masyarakat jadi abai dan gagal menganalisis situasi kritis bahwa negara sebagai representasi kepentingan rakyat memiliki peran dan fungsi untuk mencerdaskan kehidupan rakyat. Kalau konsep “meritokrasi” yang dipakai, ini bukan lagi ironi tapi gagal menghasilkan tiap individu menjadi berkualitas. Kita gagal menganalisis, hambatan-hambatan struktural yang mematikan termasuk gagal dalam membangun konsep pendidikan yang memanusiakan manusia.
Menjadi Pembelajar Kritis
Pendidikan harus menjadi daya reflektif terhadap situasi kritis. Situasi dan kultur sosial politik kita, harus mampu menyemai ide-ide bagaimana meningkatkan kualitas SDM yang lebih baik. Siapapun yang mengenyam pendidikan perlu mengetahui pendidikan yang emasipatoris, radikal dan progresif. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan “Semakin tinggi pendidikan seseorang, harus semakin mengenal batas.” Batasan yang dimaksud kalau diterjemahkan dalam konteks masa kini adalah menjadi sebuah hal yang sarat akan makna. Dengan “batasan” untuk tidak menguasai, mendominasi, merampas hak orang lain.
Hegemonik dan kultur Pendidikan yang neoliberal sedang mematikan keberadaan negara dalam proses pembiayaan pendidikan rakyatnya. Pendidikan dijadikan tanggungjawab masing-masing orang, seperti halnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan ragam biaya belasan juta rupiah per semester. Apakah dengan biaya seperti ini masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah bisa mengakses?
Lalu apa peran negara dalam memberikan subsidi bagi pendidikan semua orang? Sementara skema-skema pembiayaan hanya ditawarkan parsial tapi juga dengan pembebanan UKT yang cukup tinggi. Kita masih punya jalur alternatif, dengan menentang kultur yang hegemonik termasuk dominasi elit dalam sistem pendidikan. Setiap individu yang sekolah, harusnya menjadi tercerahkan dalam pendangan. Kita masih memiliki keberdayaan untuk melawan tirani sistem pendidikan. Termasuk dalam memberikan refleksi kritis terhadap model pendidikan kita di Indonesia. Salah satunya dengan tidak mengindividualisasi permasalahan sosial.
Institusi Pendidikan harus bercermin dan secara reflektif menjawab kebutuhan. Pendidikan yang murah dan berkualitas semakin mendesak dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan berdaya saing. Pendidikan yang murah akan memastikan bahwa semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau kondisi fisik, memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan.
Pendidikan yang murah memastikan bahwa biaya bukan menjadi penghalang bagi tiap individu untuk menerima pendidikan layak. Dengan keringanan biaya, individu dari keluarga dengan ekonomi lemah dapat mengakses pendidikan yang layak tanpa beban finansial yang besar. Keberhasilan dalam mewujudkan pendidikan semacam ini tidak hanya akan mengurangi ketimpangan sosial, tetapi juga menjadi fondasi kokoh bagi pembangunan bangsa yang lebih adil dan berkelanjutan.
Fentia Budiman, Mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024