Kali ini Redaksi Suluh Perempuan menyajikan tulisan Yuanita Maya, seorang penulis lepas, ibu rumah tangga, dan pendiri komunitas literasi ‘Gula Kelapa’.
Perempuan yang telah memenangkan beragam penghargaan menulis ini, membagikan kisahnya, bagaimana selama puluhan tahun ia menjalani gaya hidup ramah lingkungan, sebuah pola hidup yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan alam dan sumber daya alam.
Yuanita Maya, sementara ini menetap di Kudus hingga anak perempuannya menyelesaikan pendidikan animasi di kota tersebut. Dengan apik ia menulis dalam gaya bertutur. Selamat membaca.
***
Beberapa tahun terakhir ada tren positif yaitu hidup ramah lingkungan, yang secara pribadi sebenarnya sudah saya lakukan jauh hari. Seberapa lama menjalaninya saya sudah tidak ingat lagi; tapi setidaknya di akhir usia 20-an.
Terus terang saya juga tidak ingat apa motivasi terbesar saya; mungkin merasa berhutang pada bumi tempat saya tinggal. Mungkin kesal karena umumnya bencana alam terjadi karena sikap tamak dan egois manusia. Mungkin karena sebagai orang Kristen saya mendapat mandat dari Tuhan untuk mengelola dan memelihara bumi. Atau mungkin semua alasan tersebut dijadikan satu, saya kurang tahu.
Apapun itu, menjaga bumi saya lakukan sesuai kapasitas saya sebagai individu dalam konteks kehidupan sehari-hari. Misalnya, sudah 2 tahun terakhir ini saya mendampingi putri saya mengambil studi animasi di kota Kudus. Untuk mengisi waktu saya membuka usaha katering dan melayani anak-anak sekolah. Saya menolak cara praktis menggunakan wadah plastik sekali pakai. Buang waktu dan tenaga untuk mencuci wadah-wadah makan? Tentu saja. Tapi hati saya damai karena tidak melakukan dosa ekologis dan itu yang terpenting.
Hal sederhana lain, saya selalu mencabut semua charger saat tidak digunakan. Air rendaman pewangi cucian tidak langsung saya buang, melainkan saya pakai untuk menyikat lantai kamar mandi dan membilas alat pel. Sedapat mungkin saya memilih produk dengan label bio grade (aman dan layak digunakan), membeli produk-produk refill dan menggunakan wadah bekasnya sebagai pengganti polybag.
Saat masih tinggal di Jakarta saya lebih memilih angkutan umum seperti KRL. Namun di kota Kudus dengan sistem transportasi publik yang kurang memadai, untuk jarak jauh saya tak punya pilihan selain naik ojek online. Jarak di bawah 4 kilometer? Tentu saya pilih jalan kaki, karena di atas segalanya, kaki adalah moda transportasi yang paling saya gemari.
Komitmen terhadap bumi juga merambah pada meja makan kami. Belanja saya meliputi produk-produk lokal. Kebetulan saya penggemar berat sayur, buah, tahu, tempe, boga bahari, dan terutama telur. Daging merah masih saya konsumsi namun benar-benar hanya sesekali dan belum tentu 3 bulan sekali.
Bukan hanya preferensi bahan pangan, saya juga menjalankan konsep zero waste di meja makan. Ikan goreng yang tak habis hari ini saya olah menjadi pepes esok harinya. Tempe goreng sisa saya kukus sebentar lalu saya olah menjadi tempe penyet dipadukan lalap kemangi dan lele serta telur goreng. Roti tawar sisa saya panggang dengan olesan pure alpukat. Pernah satu kali sayur asam yang tak habis saya bilas lalu saya beri bumbu irisan bawang merah putih, cabai, daun salam, lengkuas, ebi, dan terasi tumis, lalu saya beri santan. Jadilah sayur lodeh. Sambil cekikikan saya bergumam sendiri, ”Ini zero waste kenapa beda tipis sama orang susah, yak.”
Untuk urusan sampah dapur, membuat eco enzym sudah saya lakukan sejak bertahun lalu. Hasilnya saya gunakan sendiri dan saya bagikan pada orang-orang di sekitar saya. Kadang saya mengajarkan cara mengolah eco enzym pada kenalan-kenalan saya.
Isi lemari sayapun tidak luput dari kebiasaan ini. Baju-baju jaman kuliah saya pakai hingga umur sekitar 40 tahun, sebelum akhirnya tubuh saya melembung karena berhenti merokok. Sekarang tubuh saya sudah stabil karena rutin olahraga dan pola makan sehat, tapi saya tidak merayakannya dengan baju-baju baru, cantik beli di butik. Pilihan saya tetap thrifting karena selain lebih nyaman dipakai, baju bekas juga punya dampak besar terhadap pengurangan emisi karbon. Bahkan baju bekas yang saya beli pun awet sampai bertahun-tahun lamanya di lemari saya.

Mari kita perhatikan foto saya di artikel ini. Rok yang saya kenakan adalah lungsuran dari kakak saya yang sebenarnya tunik karena ia tinggi. Tapi di badan saya yang kecil jadi rok di atas lutut. Rok bekas ini begitu saya gemari, sehingga saya bawa ke manapun saya pergi. Jakarta, Yogya, Semarang, kota-kota di Kalimantan, kota-kota di Bali, sebutkan mana saja. Mungkin saya baru akan berhenti memakainya kalau sudah bolong-bolong (atau tetap saya pakai karena level percaya diri dan tidak tahu malu saya kadang tipis batasnya).
Walaupun boleh dibilang seluruh aspek dalam hidup saya dikuasai konsep menghormati bumi, saya tidak secara spesifik tergabung dalam organisasi lingkungan apapun. Saya lebih memilih menularkan sikap ini pada lingkungan sekitar terutama anak saya. Atau sesekali membuat tulisan tentang gaya hidup ramah lingkungan.
Anak saya sedikit banyak sudah mengadopsi sikap ini, misalnya menolak sedotan plastik dan membawa sedotan besi saat makan di luar. Ia juga punya kesadaran menjaga ekosistem dengan cara memberi makan hewan-hewan di sekitar, bahkan termasuk menyisakan remahan makanan untuk jatah para semut. Kadang saya malu kalau kedatangan tamu sementara di lantai atau meja banyak semut. Tapi itu lebih baik daripada diprotes oleh anak saya sendiri kalau sampai barisan semut itu saya singkirkan.
Cara hidup seperti ini harus diakui sangat merepotkan di awal. Tapi setelah terbiasa bukan lagi masalah. Bahkan rasanya aneh jika saya tidak melakukannya, karena sudah jadi kebiasaan yang otomatis saya lakukan tanpa pikir panjang.
Yang sering jadi ‘kerikil’ justru pedagang di pasar yang sering ngajak ribut dan memaksa memakai kantong plastik untuk setiap jenis belanjaan. Padahal jelas-jelas saya membawa tas belanja berbagai ukuran setiap kali belanja. Sambil kesal mereka menggerutu, ”Lha wong gratis saja kok tidak mau. Apalagi kalau bayar.” Malah disindir halus pelit. Nasib. Tapi saya tetap tegar dan membalas, ”Nggak mau nyampah. Dosa!” dengan nada agak ngegas. Lama-lama tetap saya pemenangnya. Hahaha.
Gaya hidup semacam ini semestinya diadopsi oleh tiap individu sehingga dampaknya menjadi terasa. Sedangkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan ghalibnya punya kewajiban membuat regulasi kebijakan lingkungan berkelanjutan. Dalam tataran tertentu, perlu juga penerapan law and enforcement serta konsep reward and punishment terhadap masyarakat dalam kerangka perilaku ramah lingkungan sehari-hari. ***
Penulis: Yuanita Maya
Editor: Sukir Anggraeni
Terkait
Puisi: Halmahera Murka
Fenomena Glass Ceiling
Veronika Tan: Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Harus Dilakukan Secara Inklusif Dan Setara Gender