Di beberapa negara, perjuangan untuk kesetaraan gender bukan cuma slogan, tetapi berubah menjadi kebijakan nyata, budaya yang bergeser, dan sistem yang mendukung. Maka marilah kita lihat tiga negara tersebut.
1. Islandia, gaji setara untuk semua
Islandia telah mengambil langkah konkret karena berkeyakinan bahwa pekerjaan bergaji seharusnya dihargai sama, tanpa memandang gender.
Sejak 1 Januari 2018, Pemerintah Islandia mewajibkan perusahaan dan institusi yang mempekerjakan minimal 25 orang untuk memperoleh sertifikasi upah setara (equal pay certification), mereka harus bisa membuktikan bahwa pria dan wanita dibayar/digaji setara untuk pekerjaan yang sama atau bernilai sama. Mereka yang gagal membuktikan kesetaraan gaji akan dikenakan denda.
“Peraturan ini pada dasarnya adalah mekanisme yang digunakan perusahaan dan organisasi untuk mengevaluasi setiap pekerjaan yang dilakukan, dan kemudian mereka mendapatkan sertifikasi setelah memastikan proses tersebut memberikan gaji yang setara kepada pria dan wanita,” kata Dagny Osk Aradottir Pind, anggota dewan Asosiasi Hak-Hak Perempuan Islandia. “Ini adalah mekanisme untuk memastikan perempuan dan laki-laki mendapatkan gaji yang setara,” ujarnya kepada Al Jazeera.

“Kita sudah memiliki undang-undang yang menyatakan bahwa gaji harus setara antara pria dan wanita selama beberapa dekade, tetapi kesenjangan gaji masih terjadi.”
Islandia, sebuah negara kepulauan di Samudra Atlantik Utara yang merupakan rumah bagi sekitar 323.000 orang, memiliki ekonomi yang kuat, berbasis pada pariwisata dan perikanan.
Selama sembilan tahun terakhir, Forum Ekonomi Dunia (WEF) telah menobatkan Islandia sebagai negara dengan kesetaraan gender tertinggi di dunia. Laporan WEF terbaru, lima negara dengan kinerja terbaik dalam kesenjangan gender global adalah Islandia, Norwegia, Finlandia, Rwanda, dan Swedia.
2. Rwanda, dengan Perempuan di DPR terbanyak di dunia
Setelah kengerian tragedi nasional yakni genosida tahun 1994, Rwanda memulai proses rekonstruksi yang kompleks, mencakup keadilan transisional, pembangunan kembali sosial, pemulihan ekonomi, juga menjadikan partisipasi perempuan dalam politik sebagai bagian penting dari pembangunan.
Dalam langkah luar biasa menuju kesetaraan gender, Rwanda sekali lagi menunjukkan komitmen teguhnya terhadap kesetaraan gender dalam hasil terbaru pemilu legislatif 2024. Persentase representasi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat meningkat dari 61,3 pada tahun 2018 menjadi 63,8 persen kursi pada tahun 2024. Menurut Konstitusi, setidaknya 30 persen anggota parlemen di majelis rendah harus perempuan. Artinya, kuota persentase yang dialokasikan untuk perempuan setara dengan 24 anggota parlemen karena Dewan Perwakilan Rakyat memiliki total 80 anggota. Kategori khusus lainnya mencakup pemuda dan penyandang disabilitas, dan untuk pertama kalinya, penyandang disabilitas diwakili oleh seorang perempuan.
Pencapaian ini tidak hanya mengukuhkan status Rwanda sebagai pemimpin global dalam representasi perempuan, tetapi juga menggarisbawahi dedikasi bangsa ini untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan. Angka-angka ini lebih dari sekadar angka; angka-angka ini mencerminkan komitmen berkelanjutan negara ini untuk memberdayakan perempuan dan memastikan suara mereka didengar di tingkat tertinggi pengambilan keputusan. UN Women dengan bangga mengakui dan memuji tonggak penting ini, yang menjadi contoh inspiratif bagi negara-negara di seluruh dunia.

“Ketika perempuan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, kebijakan dan legislasi lebih mungkin untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga negara, yang mengarah pada tata kelola yang lebih inklusif dan efektif. Contoh Rwanda menunjukkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya dapat dicapai tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan,” ujar Jennet Kem, Perwakilan UN Women untuk Rwanda.
“Seiring dunia terus bergulat dengan tantangan mencapai kesetaraan gender, kisah sukses Rwanda menawarkan pelajaran berharga. Hal ini menyoroti pentingnya komitmen politik, implementasi kebijakan yang responsif gender, dan perlunya upaya berkelanjutan untuk meruntuhkan hambatan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan,” tambahnya.
UN Women menyampaikan ucapan selamat kepada Rwanda atas kemajuan luar biasa dalam memajukan kesetaraan gender dan siap mendukung serta berkolaborasi dalam memajukan upaya ini, guna memastikan bahwa kesetaraan gender terus melampaui angka-angka dan memberikan dampak pada kehidupan perempuan dan laki-laki, keluarga dan komunitas, serta masyarakat luas.
3. Swedia, cuti parental yang membagi peran
Swedia telah lama menjadi pelopor dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Prinsip dasar Swedia adalah bahwa setiap orang, tanpa memandang gender, berhak untuk bekerja dan menafkahi diri sendiri, menyeimbangkan karier dan kehidupan keluarga, serta hidup tanpa rasa takut akan pelecehan dan kekerasan.
Kesetaraan di tempat kerja
Diskriminasi gender di tempat kerja telah ilegal sejak tahun 1980 di Swedia. Undang-Undang Diskriminasi yang mulai berlaku pada tahun 2009, menuntut perusahaan tidak hanya secara aktif mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengambil tindakan terhadap pelecehan.
Swedia juga berupaya mewujudkan kesetaraan upah untuk pekerjaan yang setara. Undang-Undang Diskriminasi menyatakan bahwa pemberi kerja dan karyawan harus bekerja secara aktif untuk menyamakan kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan.
Ketika perempuan memiliki anak, mereka cenderung bekerja paruh waktu lebih sering daripada pria, yang menyebabkan perkembangan karier dan upah kurang positif, serta pensiun yang lebih rendah.
Tahun 1974, Swedia menjadi negara pertama di dunia yang mengganti cuti hamil khusus gender dengan cuti orang tua yang netral gender. Asuransi orang tua memungkinkan orang tua untuk mengambil cuti kerja selama enam bulan per anak, dengan masing-masing orang tua berhak atas setengah hari cuti tersebut.

Penitipan anak dijamin untuk semua orang tua dan tujuannya adalah agar sekolah taman kanak-kanak terjangkau bagi semua orang. Pada tahun 1970-an, penitipan anak publik direformasi dan diperluas untuk memfasilitasi keluarga dengan dua orang tua yang bekerja.
Pada tahun 1995, “bulan ayah” pertama diperkenalkan, dengan 30 hari cuti yang disediakan untuk ayah dengan sistem “gunakan atau hilangkan”.
Sementara itu, Paulina Brandberg, mantan Menteri Kesetaraan Gender dan Lingkungan Kerja Swedia, menyampaikan pernyataan di Komisi PBB tentang Status Perempuan, di New York, 12 Maret 2025.
Paulina Brandberg menyatakan bahwa pemerintah Swedia berkomitmen untuk menjamin kesetaraan hak dan kesempatan, serta pemenuhan hak asasi manusia sepenuhnya bagi semua orang. Hak asasi manusia bersifat universal tanpa memandang jenis kelamin, identitas atau ekspresi gender, etnis, agama atau keyakinan lain, disabilitas, orientasi seksual, usia, atau status lainnya.
“Kesetaraan gender serta kesehatan dan hak seksual dan reproduksi merupakan prioritas bantuan pembangunan Swedia. Swedia berkontribusi pada peningkatan akses terhadap layanan kesehatan ibu, aborsi legal dan aman, pendidikan seksualitas komprehensif, dan pencegahan segala bentuk kekerasan seksual dan berbasis gender, “ujarnya.
“Dengan bangga saya sampaikan bahwa pada tahun 2025, Swedia akan memegang jabatan Presiden Dewan Eksekutif Perempuan PBB. Kami akan bekerja sama dengan dewan untuk memajukan upaya kesetaraan gender global. Swedia secara khusus akan menyoroti pentingnya pemberdayaan ekonomi perempuan, “kata Paulina Brandberg, pejabat menteri hingga 31 Maret 2025 ini.
Lebih lanjut Paulina Brandberg menegaskan bahwa Swedia perlu mempertahankan kemajuan yang telah dicapai dalam kesetaraan gender dan terus mendorong kemajuan tersebut. Swedia juga perlu memajukan posisinya bagi kelompok-kelompok yang berada dalam situasi yang sangat rentan, seperti perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.
Segala bentuk kekerasan seksual dan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan serta penindasan berbasis ‘kehormatan’, harus dihapuskan.
Laki-laki dan anak laki-laki, dalam segala keberagamannya, harus terlibat dalam pekerjaan ini, sebagai agen perubahan sekaligus penerima manfaat kesetaraan gender.
Dalam pidato penutupnya, Paulina Brandberg mengatakan bahwa Swedia akan tetap menjadi suara dan aktor yang kuat dalam memperjuangkan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan dan anak perempuan.
“Kami akan terus mendukung inisiatif global yang bertujuan menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi perempuan dan anak perempuan yang hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Kami akan terus mendukung semua perempuan dan anak perempuan untuk sepenuhnya menikmati hak asasi manusia. Anda dapat mengandalkan Swedia, “pungkasnya.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa kebijakan konkret (hukum, sertifikasi, kuota, cuti) bisa mendorong perubahan. Perubahan sistemik seperti ini memerlukan dukungan budaya, pendidikan, dan pelibatan semua gender.(*)
Referensi
https://www.aljazeera.com/economy/2018/1/1/in-iceland-its-now-illegal-to-pay-men-more-than-women
https://www.government.is/topics/human-rights-and-equality/equality/equal-pay-certification

Terkait
5 Film yang Menggugah Kesadaran Tentang Kekerasan terhadap Perempuan
Film untuk Menyuarakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Amnesty Indonesia Desak Pemerintah untuk Tetapkan Status Darurat Nasional demi Percepat Evakuasi Korban Banjir Sumatera