Yogyakarta – DPK API Kartini Yogyakarta bekerjasama dengan Muslimah Reformis Foundation menggelar bedah buku Ensiklopedia Muslimah Reformis yang ditulis oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, MA. Bedah buku dilaksanakan secara online melalui zoom meeting dan disiarkan secara langsung di Facebook, dimoderatori oleh Jung Bella dan dimulai pukul 13.00 s/d 15.00 WIB pada Minggu, 12 Juli 2020.
Anjany Podangsa, Ketua DPK API Kartini Yogyakarta tampil sebagai narasumber pertama. Dalam paparannya, Anjany mengulas bahwa buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini memberi perhatian khusus pada pendidikan sebagai proses humanisasi. Pendidikan yang memanusiakan manusia ini masih menjadi barang yang mahal di era maraknya komersialisasi pendidikan. Bahkan, wajah pendidikan di Indonesia juga masih sangat bias gender. Sehingga, buku-buku pelajaran yang diajarkan kepada siswa di sekolah masih mencantumkan materi-materi yang bias gender, misalnya: ibu masak di dapur, ayah pergi ke kantor, dlsb.
Menurut Anjany, buku Muslimah Reformis juga mengulas tentang politik yang ramah perempuan. Dalam bab khusus, penulisnya menekankan tentang pentingnya peran perempuan dalam politik. “Namun, demikian selama ini peran perempuan dalam arena politik masih dibatasi. Hal ini disebabkan masih kuatnya budaya patriarkhi dan adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak kebijakan publik yang tidak berpihak pada perempuan. Contoh yang sangat jelas, adalah dicopotnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Prolegnas 2020,” lanjut Anjany.
Kyai Husein Muhammad yang menjadi narasumber kedua juga sangat menyesalkan dihapusnya RUU P-KS dari Prolegnas 2020. Sebagai salah satu mantan Komisioner Komnas Perempuan yang pernah menggagas dan memperjuangkan lahirnya RUU P-KS ini sangat menyesalkan lemahnya peran para aktivis yang sekarang duduk di parlemen. Padahal, Indonesia sedang menghadapi darurat kekerasan seksual. Ada kegentingan kekerasan seksual yang melanda Indonesia.
“Kita sedang mengalami situasi darurat kekerasan seksual. Ada kegentingan kekerasan seksual yang sedang melanda negeri kita. Angka kekerasan seksual terus meningkat. Kekerasan seksual terjadi baik di ranah privat maupun publik. Rumah yang seharusnya aman ternyata menjadi tempat terjadinya banyak kasus inses. Kekerasan seksual juga terjadi di ranah publik bahkan di ruang-ruang keagamaan,” terang Kyai Husein.
Secara khusus Kyai Husein mengapresiasi Musdah Mulia yang mendedikasikan diri dalam perjuangan kemanusiaan dan kesetaraan gender. Menurutnya, dalam Muslimah Reformis Musdah Mulia memberikan tawaran tentang legal drafting perubahan Undang-Undang Perkawinan yang disesuaikan dengan konteks jaman. Legal drafting ini sempat marak diperjuangkan oleh aktivis perempuan termasuk oleh Kyai Husein Muhammad. Sayangnya, perjuangan mengusung legal drafting tersebut juga kandas ditengah jalan karena masyarakat kita belum siap dengan perubahan.
Musdah Mulia sangat mengapresiasi acara kajian bedah buku yang diselenggarakan oleh kaum muda dan generasi millennial. Musdah Mulia mengingatkan kepada kaum muda untuk lebih berani mengambil peran dan inisiatif dalam masalah-masalah bangsa, termasuk berani bersikap ketika sudah berada di posisi penting baik di eksekutif maupun legislatif sebagai pengambil kebijakan.
“Seorang Muslimah adalah pembawa misi perdamaian. Karena Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti selamat atau damai. Seorang Muslimah juga harus perpegang pada nilai tauhid dalam kehidupannya. Kalimat Syahadat yang diucapkan seseorang sebagai kesaksian atau testimoni bahwa tiada Tuhan selain Allah, seharusnya menjadi penanda bahwa tidak ada ketundukan dan ketergantungan manusia kepada selain Allah,” tegasnya.
Sebagai konsekwensinya, seorang Muslimah itu harus menjadi perempuan yang merdeka dan tidak tunduk atau menggantungkan nasibnya kepada selain Allah. Sehingga ketika membangun relasi keluarga, maka hubungan suami-isteri seharusnya setara, bukan perempuan takut, tunduk dan pasrah kepada suami atau sebaliknya. Agar menjadi perempuan yang merdeka, seorang Muslimah Reformis harus memegang 5 (lima) prinsip, yaitu: Integritas, independensi, intelektual, imparsial, dan inovasi.
Terakhir, Musdah Mulia mengingatkan bahwa setiap manusia lahir dengan harkat dan martabat. Sehingga, jangan pernah ada manusia laki-laki ataupun perempuan yang merendahkan dan berbuat semena-mena terhadap orang lain.
“Oleh karena itu, marilah mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri, hargailah orang lain sebagaimana kita ingin dihargai. Itu adalah the golden goals dari semua agama,” pungkasnya. (*)
Humaira
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024