Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan peningkatan dramatis dalam produksi film yang mengangkat kisah nyata tragedi femisida. Di mana perempuan menjadi korban penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan secara sadis. Upaya meningkatkan kesadaran tentang kekerasan gender dan ketidaksetaraan melalui media merupakan langkah positif. Namun, seringkali representasi film justru menimbulkan kontroversi yang serius.
Ketika sebuah kisah nyata tragis diangkat menjadi film, penting untuk menjaga kepekaan dan menghormati korban serta keluarga mereka. Terlalu sering kita melihat film-film yang memilih untuk mengkapitalisasi tragedi ini demi keuntungan komersial, tanpa memperhatikan dampak emosional yang mungkin ditimbulkannya pada keluarga korban atau pada masyarakat secara luas.
Sangat disayangkan ketika pengangkatan tragedi femisida menjadi film justru terkesan tidak menghormati korban dan mereka yang mungkin terpapar karenanya dan tentu saja itu sungguh tidak manusiawi.
Eksploitasi Emosional
Terjadi eksploitasi emosi saat kejadian nyata femisida diangkat menjadi film. Hal ini bisa memiliki dampak yang sangat merusak, baik bagi individu yang terlibat secara langsung maupun bagi masyarakat secara luas. Berikut adalah beberapa cara di mana eksploitasi emosional terjadi dalam konteks pengangkatan kejadian nyata femisida menjadi sebuah film.
Contohnya saja pemunculan trauma. Film yang menggambarkan kekerasan dan tragedi femisida dengan sangat rinci dan dramatis dapat memicu trauma pada individu yang memiliki pengalaman serupa atau pada korban yang masih hidup. Adegan-adegan sadis dan penyiksaan yang tampil secara terperinci dapat memperburuk luka psikologis korban dan keluarga mereka.
Mereka pun memanipulasi emosi penonton, produser film sering menggunakan teknik-teknik dramatis seperti musik yang menghentak, pengambilan gambar yang dramatis, dan penyajian naratif yang menghancurkan untuk memanipulasi emosi penonton. Hal ini dapat menciptakan reaksi emosional yang kuat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan mental penonton.
Teknis yang mereka gunakan pun meningkatkan sensasi dengan menekankan aspek-aspek sensasional dari tragedi femisida. Seperti kekerasan yang ekstrim dan penyiksaan yang sadis, untuk menciptakan efek dramatis yang lebih besar. Hal ini bisa berdampak negatif dengan merendahkan nilai kemanusiaan dan memperlakukan kekerasan terhadap perempuan sebagai hiburan semata.
Ini merupakan desensitisasi terhadap kekerasan. Terlalu sering terpapar pada gambar kekerasan dan tragedi dalam film dapat menyebabkan desensitisasi emosional terhadap kekerasan dan penderitaan orang lain. Penonton mungkin menjadi kurang peka terhadap penderitaan korban nyata dan melihatnya sebagai sekadar bagian dari hiburan.
Secara keseluruhan, eksploitasi emosional yang terjadi ketika sebuah kejadian nyata femisida diangkat menjadi sebuah film tidak hanya menghina martabat korban dan keluarga mereka. Juga berdampak negatif terhadap masyarakat secara luas. Memperkuat budaya kekerasan dan memperburuk luka psikologis individu yang terpapar. Penting untuk memperlakukan kisah nyata dengan sensitivitas, empati, dan integritas, serta mempertimbangkan dampak emosional yang mungkin muncul pada semua pihak yang terlibat.
Stereotip dan Stigmatisasi
Beberapa film gagal menggambarkan korban dengan kecermatan dan kompleksitas yang seharusnya. Sebaliknya, mereka cenderung memperpetuasi stereotip gender dan memperkuat stigma seputar kekerasan terhadap perempuan.
Film horor femisida sering kali dapat memperkuat stereotip gender yang merugikan dan memperkuat stigma seputar kekerasan terhadap perempuan. Misalkan peran perempuan sebagai korban, dalam banyak film horor femisida, perempuan sering kali digambarkan sebagai korban yang lemah dan rentan. Mereka hanya berfungsi sebagai objek penyiksaan dan pembunuhan. Ini dapat memperkuat stereotip bahwa perempuan tidak mampu melindungi diri mereka sendiri dan memperkuat persepsi bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang tak terhindari atau bahkan wajar.
Tanpa banyak pertimbangan yang bijaksana mereka menyajikan kekerasan terhadap perempuan sebagai hiburan. Film horor femisida sering kali memanfaatkan kekerasan terhadap perempuan sebagai alat untuk menciptakan ketegangan dan ketakutan yang dramatis, tanpa memperhatikan dampak yang sebenarnya. Ini dapat memperkuat stigmatisasi bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang menghibur atau menarik untuk dinikmati oleh penonton.
Dalam beberapa film horor femisida, pelaku kekerasan sering kali digambarkan sebagai tokoh yang memiliki gangguan mental atau psikopat, tanpa penyelidikan yang lebih dalam tentang akar penyebab perilaku mereka. Hal ini dapat menyebabkan stigmatisasi terhadap individu yang menderita gangguan mental dan mengaburkan pemahaman tentang sifat kompleks dari kekerasan terhadap perempuan.
Pun beberapa film horor femisida cenderung memperkuat stereotip bahwa kekerasan seksual adalah bagian yang tak terpisahkan dari genre horor. Ini dapat memperkuat budaya yang membenarkan atau meminimalkan seriusnya kekerasan seksual, serta menurunkan sensitivitas terhadap isu-isu kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan.
Kurangnya pemahaman tentang realitas kekerasan terhadap perempuan, menjadikan karya film tidak mencerminkan realitas yang kompleks dari kekerasan terhadap perempuan. Ada faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang berperan dalam memperpetuasi kekerasan tersebut. Ini dapat menyebabkan pemahaman yang dangkal atau menyederhanakan isu yang sebenarnya sangat kompleks.
Data Femisida
Jakarta Feminist tahun 2023 dalam data laporannya menemukan 184 kasus femisida dengan 194 korban termasuk transpuan dan anak perempuan. Dari total tersebut, 88% pelaku adalah laki-laki dan mayoritas merupakan pasangan intim korban. Dari laporan menyebutkan bahwa mayoritas kasus pembunuhan perempuan merupakan rangkaian keberulangan kekerasan yang seharusnya dapat dihentikan jika sistem sosial dan hukum berpihak pada perempuan, khususnya korban.
Bagaimana seharusnya kita merespons tragedi seperti ini dalam film? Penting sekali untuk mengutamakan kehormatan, kepekaan, dan empati dalam representasi mereka. Pembuat film harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa kisah-kisah ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, mendorong refleksi, dan mempromosikan perubahan positif dalam masyarakat.
Selain itu, keterlibatan langsung dan konsultasi dengan keluarga korban dan ahli-ahli gender dapat membantu memastikan bahwa narasi yang dihasilkan adalah representasi yang akurat dan bermakna. Sehingga menjadi karya film yang memperjuangkan keadilan bagi korban. Membangun kesadaran tentang isu-isu yang mendasarinya dan memberikan kontribusi nyata untuk perubahan sosial yang positif.
Dalam hal mengangkat kisah nyata tragedi femisida menjadi film, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita menghormati korban dan keluarga mereka dalam proses ini? Apakah kita mendedikasikan diri untuk mengubah norma-norma yang memungkinkan kekerasan semacam itu terjadi? Dan pada akhirnya, apakah kita melihat film ini sebagai peluang untuk belajar, tumbuh, dan bergerak maju sebagai masyarakat yang lebih inklusif dan berempati?
Mila Nabilah
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas