Oleh: Jessica Ayudya Lesmana*
Sudah sepatutnya keragaman menjadi salah satu ciri manusia beragama. Karena penulis yakin ragam corak jiwa manusia berwarna-warni, tidak hanya hitam dan putih. Manusia dengan segala kompleksitasnya perlu dipahami secara wajar.
~~~
Nilai spiritualitas tentunya ada pada setiap individu pemeluk agama tak terkecuali transgender, yang dalam masyarakat umum sering dikenal sebagai waria. Kelompok transgender dianggap tidak pantas untuk melakukan ibadah, dikarenakan cara hidup mereka tidak pada umumnya, juga agama menilai hitam putih atas identitas ini. Artinya kesalahan sudah pasti distigmakan karena cara hidup, orientasi seksual bahkan cara berpikir transgender yang masih dianggap liyan.
Saat ini, identitas transgender mulai disorot baik aktivitas eksternal maupun internalnya. Beberapa narasi yang menolak transgender masih ada, sebut saja pada tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) yang secara jelas terdapat ayat-ayat yang merujuk pada penolakan identitas ini.
Contohnya dalam agama Islam, salah satu dalil yang digunakan untuk menolak identitas ini adalah hadis berikut, “Laknatlah perempun yang menyerupai laki laki maupun sebaliknya”. Bahkan dalam Kitab Perjanjian Lama juga menyebut transgender ditolak karena dianggap bentuk kekejian bagi Tuhan. Namun, ketika mengobjektifikasi transgender kita juga harus membongkar realitas yang ada, bagaimana institusi agama menilai identitas ini. Kita juga harus menilai dari perspektif individu transgender.
Memang perspektif paling keras yang dihadapi oleh kelompok transgender adalah perspektif agama. Bagaimana tiga agama samawi ini menolak keras identitas ini hingga ada narasi kekejian bagi Tuhan, laknat, dan melanggar kodrat, dan semua itu harus dibongkar realitanya.
Konflik sosial juga sering dibenturkan dengan nilai agama. Artinya ketika bersosial dengan masyarakat transgender juga harus berjuang dengan bullying, hinaan, dianggap sebelah mata atas identitasnya dan cara mengekspresikan dirinya secara hayati.
Masyarakat cenderung masih takut, mempertanyakan, juga tak sedikit yang menolak karena kembali lagi pada alasan agama. Agama menjadi “benar” di masyarakat, karena agama dianggap penting dalam konteks hubungan masyarakat komunal dengan Tuhannya.
Juga ditambahi dengan persoalan konflik keluarga. Karena jika diteliti lebih dalam, sebagian transgender mengalami kekerasan dalam keluarga dengan bentuk pengusiran, pelecehan karena identitasnya berbeda, penolakan karena ekspresinya dan semuanya juga kembali kepada agamalah pangkal kebenaran yang dipegang mayoritas komunitas keluarga.
Ditambah lagi pesoalan konflik batin pada diri transgender. Penulis rasa inilah perjuangan paling keras, karena mencari sebab musabab transgender harus berproses cukup lama, dan perlu kebesaran hati kalau identitas ini ditolak oleh sebagian masyarakat, keluarga dan agama. Konflik batin transgender beragam dan menyelesaikannya dengan waktu yang berbeda antara individu transgender satu dengan yang lain.
Semua konflik di atas jika dibongkar lagi realitasnya akan menemukan pola bahwa agama berperan cukup penting dalam kehidupan transgender. Agama bagai pisau bermata banyak untuk menyerang identitas ini. Penafsiran keagamaan perlu kajian spesifik agar adil bagi transgender.
Mengingat Tuhan adalah milik semua umat. Tuhan dipercaya menyayangi semua umatnya tanpa terkecuali. Jika memakai bahasa ketuhanan, maka Tuhanlah yang lebih paham apa yang dikehendaki oleh umatnya.
Agama menjadi terkotak-kotak karena bikinan manusia; manusia hidup secara komunal hingga akhirnya banyak cabang-cabang agama. Narasi agama yang cenderung menolak eksistensi transgender patut dipertanyakan kembali, karena sejatinya agama membuat manusia menyayangi sesamanya.
Jika agama membicarakan kemanusiaan, maka sudah sepatutnya transgender juga dapat melaksanakan ibadah spiritualnya tanpa harus ditolak apalagi dengan alasan ekspresi dan penampilan yang tidak pada umumnya.
Sudah sepatutnya keragaman menjadi salah satu ciri manusia beragama. Karena penulis yakin ragam corak jiwa manusia berwarna-warni, tidak hanya hitam dan putih. Manusia dengan segala kompleksitasnya perlu dipahami secara wajar.
Dengan membongkar persoalan dan konflik transgender yang berkaitan dengan agama, diharapkan kemanusiaan semakin menancap pada tiap individu, karena perjuangan transgender bukan hanya pada persoalan agama, namun ada juga pada keluarganya, sosial masyarakat dan juga konflik batinnya.
Agama paling keras menantang identitas ini, tetapi ironinya agama dan ajarannya harus menerima semua manusia tanpa terkecuali untuk beribadah kepada Sang Pencipta dengan penuh kasih. (*)
*Penulis adalah pelajar di Ponpes Al-Fattah dan seniman Yogyakarta. Tulisan ini adalah edisi spesial Program Common Values Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Berbasis Ajaran Kitab Suci dan Tradisi Iman yang diselenggarakan oleh YIP Center.
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan