Enola Holmes” film apik garapan Harry Bradbeer, produksi Legendary Pictures PCMA Productions. Saat ini sekuelnya “Enola Holmes 2” sedang diputar di Netflix. Sedangkan “Enola Holmes 1” telah diputar pada September 2022.
Menonton film Enola Holmes 1 dan 2 membawa ingatanku melayang pada barisan perempuan buruh pabrik tekstil, yang melakukan demonstrasi pada tanggal 8 Maret 1857 di New York. Bukan karena ketangkasan Enola saat diserang atau penolakannya pada sekolah kepribadian putri melainkan pada satu cuplikan ketika Enola pada suatu malam secara tidak sengaja melihat Ibu dan teman-teman perempuannya sedang melakukan pembicaraan di sebuah ruang tertutup. Selain itu juga dari cara Enola menyebutkan semua pengajaran dan ucapan ibunya, yang menjadi penuntun dalam setiap langkahnya.
Kembali ke demontrasi buruh 8 Maret 1857 di New York, saat itu barisan buruh perempuan melawan penindasan dan upah rendah. Gerakan ini juga menjadi penanda masa awal tumbuhnya gerakan feminisme yang lahir sejak akhir abad ke-18 untuk menyuarakan persamaan hak politik bagi perempuan. Tulisan John Stuart Mill (1869) “The Subjection of Women” menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Tampaknya film ini membawa semangat feminisme pada masa itu. Terlihat dari pandangan kritis Enola saat berdialog dengan kedua kakaknya.
Jack Thorne menulis skenario film ini dengan mengadaptasi novel karya Nancy Springer, “The Case of the Missing Marquess: An Enola Holmes Mystery“. Nancy Springer (74 tahun), adalah seorang penulis fiksi pengetahuan dan misteri dewasa dari Amerika. Nancy telah memenangkan beberapa penghargaan seperti Tiptree Award (1994), Edgar Award dari Persatuan Penulis Misteri Amerika (1995) dan Carolyn W. Field Award dari Persatuan Perpustakaan Pennsylvania (1999). Selama hampir empat dekade, Nancy telah menghasilkan lima puluh judul buku. Buku pertama dari serial Enola Holmes diterbitkan pada tahun 2006.
Sebuah film bergenre detektif dengan bintang utama Millie Bobby Brown sekaligus sebagai produser bersama Paige Brown, Mary Parent, Alex Garcia dan Ali Mendes. Dengan mengambil latar belakang tahun 1884, selama 123 menit kita disuguhi suasana Inggris pada jaman Victorian. Pada masa keemasan Inggris mendapat sebutan Pax Britannia atau “Perdamaian Britania”, dimana Imperium Britania menguasai sebagian besar rute utama perdagangan maritim dan memperoleh kekuasaan lautan yang tak tertandingi. Pada saat yang sama terjadi pergolakan diantara kaum bangsawan untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam politik pemerintahan.
Ibu Enola ditampilkan sebagai sosok tegar yang mendidik putrinya diluar kebiasaan para bangsawan pada masa itu. Sejak kecil Enola dibiasakan untuk membaca koleksi buku-buku di perpustakaan pribadi di rumah mereka. Enola juga belajar berbagai ketangkasan bela diri dan olahraga. Didikan ini membuat Enola tumbuh sebagai gadis yang mandiri. Semua perkataan ibunya selalu terngiang di kepalanya. Hingga suatu pagi, setelah ulang tahunnya yang ke 16, Enola mendapati ibunya pergi meninggalkannya secara diam-diam. Ibunya meninggalkan hadiah melalui pengasuhnya.
Tidak lama kemudian kedua kakak lelaki Enola tiba di rumah setelah bertahun-tahun dikirim untuk menempuh pendidikan. Mereka tidak mengenali Enola dan menyadari betapa Enola tidak bersikap sebagaimana perempuan bangsawan pada masa itu. Setelah kedua orangtuanya, maka salah satu dari kedua kakak lelakinya menjadi wali yang bertanggung jawab atas Enola. Kakaknya memutuskan untuk mengirim Enola ke sebuah sekolah kepribadian untuk mendidik Enola agar dapat mempelajari tata krama perempuan bangsawan.
Enola merasa gusar karena semua ketangkasan dan kepandaiannya dipandang sebelah mata oleh kakaknya. Ia mulai menyadari perbedaan cara pandang antara ibunya dan kedua kakaknya. Semua hal yang ia pelajari dan kehidupan yang dijalani bersama ibunya seakan runtuh. Enola menentang gagasan untuk memasuki sekolah kepribadian terlebih setelah calon gurunya yang juga teman kakaknya menampar pipinya. Perlakuan kasar yang bertentangan dengan tata krama perempuan bangsawan yang anggun dan penuh kesopanan.
Gagasan untuk melarikan diri muncul di benaknya. Terngiang nasehat ibunya bahwa dalam hidup kita harus memilih jalan kita sendiri atau orang lain yang akan memilihkan. Lalu ia teringat pada hadiah yang diberikan ibunya. Hadiah itu dibongkarnya. Dengan mengikuti kebiasaan ibunya yang gemar permainan huruf. Enola mulai menyusun setiap benda dan menemukan petunjuk dari potongan teka-teki yang ditinggalkan oleh Ibunya.
Permainan teka-teki yang dipelajari Enola, seperti namanya yang jika dibalik dapat dibaca menjadi Alone, sendirian. Permainan yang berasal dari jaman Romawi kuno, dimulai dengan nama kota mereka: kebalikan dari ROMA adalah AMOR. Kata pertama yang diketahui Alun-alun Sator, ditemukan di reruntuhan Pompeii. Sator Square (atau Rotas Square, tergantung dari arah mana; urutan kata tidak penting dalam bahasa Latin) adalah palindrom Latin lima-kali-lima, lima-kata: SATOR AREPO TENET OPERA ROTAS (“petani Arepo sedang membajak”)
Sator Square memiliki lebih banyak trik. Jika mengacak ulang huruf di tengah, akan membentuk tanda silang Yunani yang bertuliskan PATERNOSTER (“ayah kami”) di kedua arah. Empat huruf sisa—dua huruf a dan dua huruf o—merupakan alfa dan omega. Orang Kristen awal mungkin menggunakan alun-alun sebagai cara yang bijaksana untuk memberi tanda kehadiran mereka satu sama lain. Di jaman Victoria, Ratu Victoria, seorang ur-cruciverbalist, membangun “Windsor Enigma” untuk mengajari rakyatnya cara membawa batu bara ke Newcastle.
Teka-teki mulai terpecahkan dan Elona mengerti rencana ibunya yang tersusun dengan rapi bahkan uang guna bekalnya melarikan diri. Dengan menyamar, Enola memesan tiket kereta api dan memulai petualangan untuk mencari ibunya. Di perjalanan, secara tak terduga ia bertemu seorang bangsawan yang juga sedang melarikan diri dari keluarganya. Kisah sebenarnya pun dimulai. Selanjutnya dikisahkan, Enola baru mengerti tentang adanya tuntutan reformasi dan pergolakan diantara kaum bangsawan, antara yang menolak dan menerima. Bangsawan yang ditemuinya, termasuk yang mendukung gagasan reformasi.
Dari sinilah Enola kenyadari bahwa jalan ini yang seharusnya ditempuh. Membantu si bangsawan tersebut untuk kembali ke keluarganya dan melanjutkan gagasan reformasi. Pada akhir cerita, Enola berhasil mengantarkan bangsawan tersebut yang kemudian tepilih sebagai anggota Dewan dan melanjutkan perjuangan memenangkan cita-cita reformasi. Bangsawan tersebut mengajak Enola untuk tinggal bersamanya namun ia menolak. Ia tahu bagaimana kehidupan privilege bangsawan dan itu bukan jalan yang ingin ditempuhnya. Enola kembali pada tujuannya semula dan menemukan ibunya sedang menunggunya di kamar.
Menjadi sosok yang mandiri dan penuh percaya diri. Semua proses yang dipelajarinya sejak kecil menjadikannya teguh pada pendirian. Menjadi bangsawan dengan hak-hak istimewa berarti memiliki gelar, kekayaan dan dihormati. Namun hal-hal tersebut tidak menarik baginya. Enola dapat melihat adanya ketimpangan struktur sosial dan menolaknya. Sama seperti ibunya yang tergabung dalam kelompok feminist. Enola mungkin tidak menyadari atau menganggap dirinya adalah seorang feminist, namun tindakannya adalah menolak ketimpangan dan mengikuti apa yang menjadi keyakinannya.
Menjadi diri sendiri, dalam hal ini bukan berarti harus seperti Enola yang tidak terbiasa dengan budaya yang berbeda dalam hal bicara, tertawa, makan, berjalan, berpakaian dan lain-lain. Tata krama dan kebiasaan yang membentuk karakter feminin dan maskulin tergantung bagaimana proses tersebut dimulai dan apa-apa saja yang dianggap sebagai feminin dan maskulin. Memiliki kecerdasan, keberanian dan ketangkasan tidak lantas membuat pemisahan antara maskulin dan feminin. Keduanya adalah proses menjadi, termasuk menjadi laki-laki atau perempuan.
“Kamu menjadi laki-laki kalau aku menyebutnya demikian,” ujar Enola pada si bangsawan. Masyarakat sudah membentuk karakter ini selama ratusan tahun dan proses sejarah selanjutnya dapat merubah standar tersebut. Apa yang disebut feminin dan maskulin. Pekerjaan apa dan siapa yang melakukan. Bagaimana peran anggota keluarga di rumah dan masyarakat, dan lain sebagainya. Tidak ada yang baku. Perubahan pasti dan harus terjadi. Kita bisa mengikuti arus, menetap pada masa silam atau membuat perubahan ke depan. Bekal utama adalah menjadi diri sendiri. Namaku Enola, dibalik menjadi Alone.***
Ernawati
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024