Kartini boleh dibilang sebagai orang pertama di Indonesia yang berhadapan dengan gagasan sosialisme melalui teman korespondennya yakni Estella dan suami istri Abendanon.
Estella atau yang lebih akrab disapa Stella oleh Kartini merupakan perempuan kelahiran Amsterdam. Dalam buku biografi Kartini yang berjudul ‘Kartini Sebuah Biografi’ tulisan Sitisoemandari Soeroto (1979), disebutkan bahwa Stella adalah seorang pejuang feminisme di Eropa yang sering terjun langsung memperjuangkan hak perempuan.
Ayah Stella adalah seorang dokter yang wafat ketika ia masih kecil. Ia pun kemudian dibesarkan oleh pamannya hingga ia selesai menyelesaikan sekolah di Hogere Burgerschool (HBS) di Belanda. Setelah lulus, Stella bekerja di Kantor Pos, Telepon, dan Telegram di Amsterdam.
Stella dan Kartini saling mengenal pada tahun 1899, saat Kartini masih berusia 20 tahun. Kala itu Kartini muda ingin mengetahui banyak hal tentang pergerakan perempuan di Eropa, terutama mengenai sikap dan gagasan-gagasan perempuan di sana. Oleh karena itu, ia memiliki ide untuk membuat iklan di majalah Belanda, De Hollandsche Lelie.
Dalam iklannya tersebut Kartini menyebutkan bahwa ia adalah anak perempuan seorang Bupati Jepara di Hindia Belanda (sebutan lama untuk Indonesia). Kartini mencari sosok teman perempuan untuk dapat saling surat menyurat.
Teman yang dicarinya harus berasal dari Belanda dan sebaya dengannya. Selain itu, sosok yang ia cari juga harus mempunyai kepedulian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa. Iklannya tersebut kemudian mendapatkan respon dari Stella. Sejak saat itu, keduanya sering berkirim surat dan saling bertukar pikiran hingga akhir hayat Kartini.
Salah satu isi surat Kartini kepada Stella yang paling populer adalah berikut ini:
“Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri… yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia.” (Surat Kartini kepada Stella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Hingga saat ini tak diketahui secara pasti bagaimana nasib Stella setelah Kartini meninggal pada 17 September 1904. Namun menurut laman Wikipedia, Stella sendiri meninggal dunia di usia 61 pada 5 Maret 1936 di Merano, Italia.
Jacques Henrij Abendanon & Rosa Manuela Abendanon
Pada 1900, Jacques Henrij Abendanon atau yang lebih dikenal dengan J. H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (Indonesia) yang menjabat sampai tahun 1905.
Pria kelahiran Suriname 14 Oktober 1852 ini memiliki seorang istri bernama Rosa Manuela Abendanon. Pasangan suami istri ini bisa dibilang mempunyai andil yang cukup besar dalam kehidupan Kartini.
Awalnya, Abendanon ditugaskan Kerajaan Belanda dengan berbagai misi. Salah satu fokusnya saat itu adalah pendidikan perempuan. Lantaran tidak familiar dengan Hindia Belanda, Abendanon pun meminta bantuan temannya,
Peran Snouck Hurgronje
Snouck merupakan orang yang secara tidak langsung mengenalkan Kartini pada Abendanon. Temannya itu menyarankan jika Abendanon ingin membahas soal pendidikan perempuan, sebaiknya ia berkenalan dengan anak-anak Bupati Jepara. Mereka adalah Kartini dan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah.
“Tahukah Anda apa yang ada di pikiran perempuan Jawa? Mereka hidup hanya untuk menikah. Tidak peduli menjadi istri ke berapa,” ungkap Kartini pada Abendanon. Dari situlah tampaknya Abenanon yakin bahwa Kartini adalah perempuan dengan pemikiran hebat.
Kartini pun rajin bersurat dengan Abendanon dan istrinya, Nyonya Abendanon untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya, serta pendapat-pendapatnya mengenai perempuan di Tanah Jawa.
Kartini bersama adik-adiknya juga rajin mengikuti bimbingan mengenai gagasan etis yang diberikan oleh Nyonya Abendanon di rumahnya.
Meski sempat kecewa dengan Nyonya Abendanon karena dinilai menghalangi mimpi Kartini dan adik-adiknya untuk sekolah ke Belanda, namun Kartini mendapatkan banyak pengetahuan baru yang bisa membuat pikirannya menjadi semakin maju dan berkembang.
Setelah Kartini wafat, Jacques Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Arminj Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.
Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”. Lagu tersebut menggambarkan inti perjuangan perempuan untuk merdeka.
Pemikiran Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia menjadi madu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputera saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, namun dia lebih memilih berkorban demi keinginan ayahnya -mengikuti kehendak patriarki yang selama ini ditentangnya- dan menikah dengan Adipati Rembang.
Mila Joesoef
Terkait
Sudaryanti, Komitmen Menjaga Bumi Lewat Eco Enzym
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara