Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
Laporan pengaduan kasus terus bergulir. Kemudahan akses informasi melalui media massa memungkinkan korban, keluarga atau lingkungan terdekat memberikan informasi mengenai kejadian yang korban alami.
Undang-undang tentang tindak kekerasan seksual dirancang sedemikian rupa agar korban mendapat kemudahan akses dari mulai pelaporan hingga penanganan secara menyeluruh. Undang-undang ini juga memberi jaminan hukum agar korban dapat memilih pendamping dalam upayanya untuk mendapat keadilan.
Penyertaan pasal tentang pendamping dengan asumsi bahwa terdapat kondisi yang tidak memungkinkan bagi korban untuk melakukan sendiri pelaporan maupun penanganan baik pemulihan secara fisik, mental maupun hukum. Kenyataan dalam masyarakat bahwa masih banyak anggota masyarakat yang tidak tahu kemana harus melapor atau bahkan takut untuk melapor.
Situasi ini tidak sebatas pada masyarakat di pedesaan, namun juga mereka yang tinggal di perkotaan. Bahkan masyarakat akademis kampus pun masih banyak yang tidak mengetahui saluran khusus lembaga pendamping sehingga tidak memiliki informasi tentang pengaduan.
Kondisi daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) semakin memperkecil akses masyarakat untuk mendapat informasi dan membuat pengaduan. Kita juga tidak bisa berasumsi bahwa seluruh anggota masyarakat mengetahui peraturan perundangan yang menjamin perlindungan atas hak-haknya.
Untuk itu perlu sosialisasi secara terus menerus oleh jajaran pemerintah terkait dari pusat hingga daerah dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga pendamping. Para pendamping dilindungi keberadaannya melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Pendampingan Berdasar Hukum
Undang-undang Tentang Tindak Kekerasan Seksual secara terperinci memberikan definisi mengenai pendamping beserta perannya dalam mendampingi korban. Jaminan ini diatur dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 mulai ayat 14 yang berbunyi:
- 14. Pendamping adalah orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi Korban dalam mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan.
- 15. Pencegahan adalah segala tindakan atau usaha yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan keberulangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
- 16. Hak Korban adalah hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban.
- 17. Penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/ atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 19. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi frsik, mental, spiritual, dan sosial Korban. sosial.
Pasal 26
- (1) Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
- (2) Pendamping Korban meliputi:
a. petugas LPSK;
b. petugas UPTD PPA;
c. tenaga kesehatan;
d. psikolog;
e. pekerja sosial;
f. tenaga kesejahteraan sosial;
g. psikiater;
h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal;
i. petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan
j. Pendamping lain.
Pasal 28
Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan.
Motif Dan Bentuk Kekerasan Seksual
Korban kekerasan seksual bisa terjadi di lingkungan terdekat dengan pelaku dari orang terdekat seperti kakak laki-laki, ayah, anggota keluarga lainnya, tetangga, teman kerja, pacar dan lain sebagainya. Ada situasi dan kondisi yang membuat korban tidak mampu menolak. Baik itu ancaman secara halus, manipulasi.
Intimidasi melalui aplikasi pesan, intimidasi melalui kekerasan fisik dan terutama adalah relasi kuasa. Kekuatan fisik tidak selalu menjadi faktor penolong. Seseorang dengan fisik besar dan kuat tidak menjadi jaminan dapat mengelak dari intimidasi dan relasi kuasa. Dan bisa kita pahami juga bahwa balita dan kanak-kanak pun rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Bentuk kekerasan seksual makin beragam dan undang-undang No. 12 tahun 2022 mengakomodasi segala bentuk kekerasan beserta pelakunya. Dalam satu kasus bisa terjadi beberapa bentuk sekaligus. Baik itu intimidasi melalui saluran digital seperti penyebaran foto dan video ke publik, pemaksaan hubungan seksual disertai kekerasan fisik maupun hubungan seksual dalam bentuk lain.
Demi Untuk Keadilan
Pendamping hukum dengan perspektif gender akan memilah setiap bentuk kekerasan sesuai pasal-pasal dalam undang-undang tentang tindak kekerasan seksual. Pada beberapa kasus, pendamping hukum juga melihat pasal-pasal dari peraturan perundangan lain seperti UU KDRT, UU Perlindungan anak atau UU Tindak Pidana Perdagangan Orang jika ada unsur-unsurnya terpenuhi didalamnya.
Dengan memahami unsur-unsur yang terpenuhi, maka dapat dicegah kekeliruan dalam pelaporan. Pentingnya kejelasan pelaporan dari awal akan membawa pada dakwaan yang tepat. Maka penuntut umum dapat memberikan dakwaan dan tuntutan hukuman sesuai aturan perundangan yang menaunginya.
Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak ada kekeliruan dalam tuntutan atau ada dakwaan yang terlewat demi keadilan bagi korban. Pendamping hukum dan penuntut umum juga harus memperhatikan usia pelaku karena sanksi dan bentuk sidang peradilan akan berbeda bagi pelaku dibawah umur.
Disini pendamping memiliki peran besar dalam menuntun korban saat mengupayakan keadilan bagi dirinya. Dimulai dari penanganan fisik, pelaporan hingga pemulihan. Termasuk didalamnya adalah informasi mendetail mengenai hak-hak korban.
Pendamping memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi korban dari sebelum hingga sesudah persidangan. Namun terlebih dahulu pendamping harus mendapat persetujuan dari korban beserta keluarganya. Terutama bagi korban dibawah umur dan disabilitas. Pendamping juga dapat bertindak sebagai perantara yang mewakili korban saat berhubungan dengan pihak lain.
Dengan demikian jelas bahwa pendamping memiliki peran besar untuk mendapat keadilan bagi korban. Dalam hal ini pendamping wajib memiliki perspektif gender sehingga dapat mengneali bentuk-bentuk intimidasi baik sebelum, selama maupun paska persidangan.
Pendamping juga akan membantu korban saat menerima hak restitusi dan dana bantuan korban seperti yang telah diatur oleh undang-undang tentang tindak kekerasan seksual.
Sebagai anggota masyarakat, kita bisa melakukan bagian kita untuk menyebarluaskan informasi mengenai Lembaga pendamping serta prosedur yang dibutuhkan ketika terjadi satu tindak kekerasan baik kekerasan dalam rumahtangga maupun kekerasan seksual.
Kita juga dapat segera melaporkan satu kejadian dengan sedapat mungkin mengingat waktu serta lokasi kejadian. Dalam pembuatan laporan, masyarakat, korban dan pendamping juga harus mencegah intimidasi serta pelecehan dari Lembaga tempat melapor.
Kita semua berharap agar darurat kekerasan seksual dapat diakhiri. Diperlukan Kerjasama yang kuat dari berbagai pihak dan terutama pemahaman pada perspektif gender agar tidak lagi terjadi diskriminasi yang mendorong pada tindak kekerasan seksual.
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif