Meningkatnya inflasi dan kemungkinan krisis ekonomi di berbagai negara berdampak signifikan terhadap stabilitas dan keberlanjutan industri sandang dan tekstil Indonesia. Industri sandang dan tekstil mulai populer sebagai fokus pengembangan industrialisasi nasional pada tahun 1990-an, namun dengan tren kenaikan inflasi di berbagai negara akibat pandemi COVID-19 saat ini mulai tidak stabil.
Memburuknya situasi dunia membuat para pengusaha di industri garmen melakukan pengurangan jumlah karyawan dan menerapkan PHK. Walaupun industri sandang dan tekstil sendiri saling berhubungan, namun sebenarnya perkembangan masing-masing industri mempunyai fokus yang berbeda-beda.
Industri sandang merupakan industri yang fokus pada produksi pakaian jadi, sedangkan industri tekstil bergerak dalam proses pembuatan pakaian dari tekstil.
Industri tekstil merupakan industri padat karya di Indonesia yang diperkirakan akan menyerap 1,4 juta pekerja pada tahun 2021.
Peningkatan jumlah PHK
Pada industri garmen dan tekstil 4.444. Pengurangan jumlah pegawai (PHK) sebesar 4.444 terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Firman Bakri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Alas Kaki Indonesia (Apurisindo), mengatakan industri alas kaki Tanah Air telah mengalami penurunan pesanan ekspor setidaknya sejak Juli 2022.
Meskipun keterlambatan pengumpulan data pengiriman ekspor pakaian dan produk tekstil Indonesia telah berhasil diatasi, tampaknya industri pakaian dan tekstil masih terus berkembang. Artinya, jumlah pegawai yang terkena PHK juga tidak bisa terdata dengan baik. Fenomena PHK juga terjadi di wilayah Subang Provinsi Jawa Barat, dimana Kepala Dinas Sumber Daya Manusia dan Migrasi Kabupaten Subang (Disnakartrans) Yenni Nurayeni mengumumkan bahwa sekitar 10.000 karyawan akan diberhentikan dari 25 pabrik garmen di Subang.
Hal senada juga diungkapkan Juru Bicara Persatuan Pengusaha Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Sariat Arifia, yang menyebutkan perusahaan industri garmen mengalami penurunan jumlah pekerja dan kapasitas personel lebih dari 50% dibandingkan periode sebelumnya. Berdasarkan data PPTPJB, 18 pabrik garmen ditutup di Provinsi Jawa Barat yang mengakibatkan lebih dari 90.000 orang terkena PHK.
Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tenaga kerja di industri TPT mengalami penurunan dari 1,13 juta orang menjadi 1,08 juta orang pada Agustus 2022.
Alasan PHK
PHK massal di industri pakaian dan tekstil di Indonesia disebabkan oleh berkurangnya pesanan dari pembeli asing. Permintaan ekspor industri garmen dan tekstil Indonesia dari pasar AS dan Eropa diperkirakan turun 50% pada pertengahan tahun 2023, kata Aloysius Santoso, wakil ketua sumber daya manusia Apindo. Meningkatnya inflasi akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok mendorong masyarakat untuk berhemat dengan mengurangi pembelian pakaian non-esensial dan produk industri tekstil.
Akibatnya, produk tekstil dan pakaian jadi yang dikirim sebelumnya tidak sepenuhnya terserap pasar, sehingga terjadi kelebihan pasokan di negara tujuan dan berkurangnya jumlah pesanan industri pakaian dan tekstil. Peraturan pandemi COVID-19 yang membatasi mobilisasi kapal pengangkut barang ekspor juga berdampak pada terhambatnya pengiriman pakaian dan produk tekstil ke negara tujuan.
Produk pakaian dan tekstil yang seharusnya tiba di masa pandemi terlambat dirilis sehingga mengurangi permintaan baru.
Pentingnya Peran Pemerintah Indonesia
Meningkatnya jumlah pekerja padat karya pakaian jadi dan tekstil yang di-PHK patut menjadi kekhawatiran Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memulai proses penghitungan redundansi sebelum mengambil tindakan ekstensif untuk mencegah redundansi. Pemerintah akan melakukan investigasi lebih mendalam terhadap isu PHK yang semakin meningkat ini, mengingat pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi secara keseluruhan masih dinilai baik, menurut Febrio Cacarib, Kepala Badan Kebijakan Keuangan (BKF) Kementerian Keuangan.
Gelombang PHK terakhir di Indonesia tidak hanya berfokus pada industri garmen dan tekstil saja, namun terdapat tekanan yang semakin besar dari pemerintah untuk mengambil tindakan preventif dan korektif.
Abdul Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Rakyat Demokratik Korea (Corquesura) RI, mengatakan isu PHK di industri garmen dan tekstil juga berdampak pada sektor lain, dalam menghadapi krisis ekonomi, krisis yang akan segera terjadi. Oleh karena itu, dia menegaskan hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.
Krisis ekonomi bisa berubah menjadi resesi tahun depan. Ia mengatakan, pemerintah akan melakukan beberapa langkah konkrit, antara lain adopsi produk lokal oleh industri kecil dan menengah garmen dan menyasar negara-negara yang perekonomiannya masih stabil sebagai negara tujuan ekspor baru untuk meningkatkan pangsa pasar.
Dampak Pada Perempuan
2023, gelombang pengurangan tenaga kerja (PHK) di industri manufaktur terus berlanjut.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) menyebutkan hampir 57.000 pekerja di-PHK di pabrik tempat anggotanya bekerja dengan mayoritas merupakan buruh perempuan. Dan sejak awal tahun 2023, lebih dari 7.000 pekerja di industri tekstil terkena PHK.
Pabrik Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat terakhir diberitakan tutup pada 2 November 2023.
Penghentian operasional pabrik secara tiba-tiba juga membuat nasib pesangon sekitar 700 karyawan menjadi tidak menentu. Sebab, manajemen disebut lebih memilih cara legal. “Dengan PHK tersebut, jumlah pekerja yang menjadi korban PHK di industri TPT nasional sejak awal tahun 2023 bertambah menjadi delapan perusahaan dan 7.200 orang,” kata Ketua KSPN Ristadi.
Ini artinya angka tumbuhnya pengangguran dan kemiskinan termasuk pemiskinan perempuan semakin meningkat. Garmen merupakan sebuah industri padat karya sekaligus padat PHK beberapa tahun ke belakang. Beban ganda perempuan tentunya semakin berat, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di industri garmen dapat memiliki dampak yang signifikan pada perempuan, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
- Kehilangan Penghasilan:
- Perempuan yang di-PHK akan kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Hal ini dapat memberikan tekanan finansial pada keluarga dan membuat perempuan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Kesejahteraan Keluarga Terpengaruh:
- Kehilangan pekerjaan perempuan dapat berdampak pada kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Penghasilan yang berkurang dapat membatasi akses keluarga terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
- Ketidakpastian Ekonomi:
- PHK dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi bagi perempuan yang kehilangan pekerjaan. Kesulitan menemukan pekerjaan baru dan ketidakpastian ekonomi dapat menciptakan stres dan kecemasan.
- Peningkatan Risiko Kemiskinan:
- Perempuan yang mengalami PHK, terutama jika mereka adalah tulang punggung ekonomi keluarga, berisiko mengalami kemiskinan atau ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar.
- Dampak Psikologis:
- PHK dapat memberikan dampak psikologis pada perempuan, termasuk rasa rendah diri, depresi, dan kecemasan. Hal ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan emosional mereka.
- Diskriminasi Gender:
- Di beberapa kasus, PHK dapat terjadi sebagai bentuk diskriminasi gender, di mana perempuan mungkin lebih rentan kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan rekan pria. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam dunia kerja.
- Peningkatan Beban Kerja Rumah Tangga:
- Jika perempuan yang di-PHK memiliki tanggung jawab utama dalam pekerjaan rumah tangga, mereka mungkin menghadapi peningkatan beban kerja di rumah tanpa dukungan finansial yang memadai.
- Kesulitan Kembali ke Dunia Kerja:
- Perempuan yang di-PHK mungkin mengalami kesulitan untuk kembali ke dunia kerja, terutama jika mereka telah meninggalkan pekerjaan untuk waktu yang cukup lama. Keterampilan dan pengetahuan yang sudah kadaluarsa dapat menjadi hambatan.
Penting untuk diingat bahwa dampak ini tidak hanya terjadi pada perempuan secara individual, tetapi juga dapat berdampak pada tingkat sosial dan ekonomi yang lebih luas. Upaya untuk mendukung perempuan yang mengalami PHK perlu memperhatikan aspek-aspek ini untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif