Halo sobat SuPer. Sudah lama kita tak membaca sosok perempuan tangguh dari komunitas. Kali ini redaksi ingin mengajak sobat mengenal lebih dekat salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Suluh Perempuan. Yuk, berkenalan dengan sosok Mafruhah.
“Halo nama lengkapku adalah Mafruhah, kalian bisa panggil aku Pupah. Sudah lama sekali aku ingin berbagi pengalaman hidup. Memang tidak seberapa, tapi aku bangga dengan proses yang sudah aku lalui,” kata pengurus Bidang Organisasi DPP Suluh Perempuan ini.
Pupah berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Ibunya adalah seorang single parents, yang dikarunia 2 anak. Sejak lahir, Ia hidup bersama ibu, nenek dan keluarga besarnya. Kehidupan desa yang kental dengan budaya patriarki sangat membekas dalam keluarganya.
“Saya hidup di lingkungan dengan budaya patriarki yang sangat tidak mudah. Mamakku (red: ibu) adalah seorang janda. Sehari-hari aku melihat langsung bagaimana seorang perempuan didomestifikasi oleh keluarganya. Begitu pun Mamak. Sehari-sehari beliau di tuntut untuk melayani keluarganya dari mulai masak, mencuci pakaian, beres-beres rumah dan mengasuh anak dari kakak hingga adik laki-lakinya.
Sebagai anak dari keluarga miskin, Pupah merasakan bagaimana susahnya mengakses dunia pendidikan. Menginjak usia anak, nenek mendaftarkan Pupah ke Sekolah Dasar (SD) dekat rumah. Itu pun hasil meminjam uang.
“Waktu aku pertama menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar, nenekku mendaftarkan aku ke sekolah dekat rumah dari hasil meminjam. Yang seharusnya sekolah bisa diakses oleh siapapun dan kalangan manapun karena banyak sekolah yang di komersialisasi jadi nenekku harus struggle pinjam duit untuk mendaftar ke sekolah,” lanjutnya mengenang masa kecil.
Namun demikian, perjuangan sang nenek tidak sia-sia. Pupah kecil menunjukkan prestasi yang membanggakan. Ia selalu mendapatkan peringkat kelas dan menang dalam berbagai lomba. Ia pun mempunyai banyak teman dan guru yang penyayang.
Halangan kembali datang, saat ia lulus SD. Keluarga tidak mengijinkan kalau Pupah melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP.
“Alasannya sangat klise, yaitu karena aku adalah seorang PEREMPUAN. Hanya karena gender aku perempuan, aku tidak diberikan akses untuk melanjutkan pendidikan.”
Budaya patriarki yang masih melekat kuat di keluarga menjadikan ia harus berjuang keras untuk bisa tetap melanjutkan sekolah.
“Aku protes dan tidak mau tinggal diam. Aku sempat mengurung diri di kamar, tidak makan dan menangis seharian sampai mata tidak bisa dibuka. Tapi itu tidak menjadikan keluarga luluh,” kenangnya sedih.
Salah seorang guru yang baik hati menawarkan bantuan untuk membiayai sekolah tapi di tolak oleh pihak keluarga. Sampai akhirnya datang seorang dewi penyelamat. Dewi penyelamat itu bernama Umi Maryam. Umi, panggilan akrabnya adalah mahasiswi IAIB (Institut Agama Islam Banten) yang pernah PPL di kampung Pupah. Mereka berdua kabur dengan motor butut untuk mendaftar sekolah.
Sebelumnya, Umi memohon ijin baik-baik ke keluarga Pupah. Tapi keluarga keukeuh dengan keputusannya. Sehingga, tak ada jalan lain kecuali kabur. Sempat terjadi ketegangan karena kejar-kejaran motor. Namun mereka berhasil kabur dari kampung.
“Akhirnya aku berhasil mendaftar ke sekolah. Dia itu seperti umi (red: ibu) keduaku. Berkat jasa Umi, aku diizinkan sekolah oleh keluarga dengan syarat tidak merepotkan siapapun.”
Begitulah, Pupah belajar hidup mandiri sejak SMP. Ia bekerja di tempat pembuatan kue tradisional di Kota Serang, Banten. Dari penghasilan itu ia ingin mandiri dan tidak memberatkan siapa pun termasuk keluarganya.
Prestasi belajar Pupah tak mengecewakan, ia mulai masuk pakai jalur beasiswa. Ia selalu meraih peringkat 2 di kelas. Ia juga aktif di PMR dan berkesempatan ikut pelatihan kepemimpinan di sekolah yang waktu itu hanya siswa berprestasi yang diizinkan.
Lulus dari SMP, ia berniat melanjutkan SMA, namun pikiran keluarga masih belum terbuka. Tak ada pilihan lain selain harus patuh dengan keluarga. Datang lagi tawaran dari guru BTQ SMP yang ingin membantu agar melanjutkan sekolah. Sempat ada rasa takut yang menghantui sehingga ia menolak peluang emas tersebut.
Ketika keberanian itu muncul, Pupah bertemu Ibu Roihah (guru BTQ SMP) dan Ibu Indah (guru Aliyah swasta). Saat itu, sekolah sedang ada ujian tengah semester (UAS).
“Aku belum percaya bisa mendaftar di sekolah dengan beasiswa. Aku kebingungan dengan perlengkapan sekolahku. Sampai aku ingat lagi dengan Kak Umi Maryam. Aku mencari alamat rumahnya dan menceritakan semua problemku. Dia membantu dengan setulus hati. Memberikan perlengkapan sekolah dan mengantarkan aku mendaftar ke sekolah swasta yang di rekomendasikan,” terang Pupah.
Tak mau membuang kesempatan emas, Pupah melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia memakai semua perlengkapan sekolah bekas dari Umi, mulai dari seragam, sepatu, kerudung dan tas. Tas yang aku pakai waktu itu tas Barbie untuk anak-anak TK, tapi aku tetap memakainya.
Keluarga hampir tak percaya bahwa Pupah bisa melanjutkan sekolah lagi. Berkat bantuan orang-orang baik, Pupah bisa kembali melanjutkan sekolah ke SMA. Meski sempat gugup menjawab pertanyaan-pertanyaan, ia mulai percaya diri. Teman-teman pun kagum dan hampir tak percaya mereka mendapatkan teman baru menjelang ujian tengah semester (UAS) berlangsung.
Saat SMA, Pupah tetap belajar hidup mandiri. Ia berjualan pulsa untuk ongkos dan jajan di sekolah. Ia bahkan terpilih jadi ketua OSIS. Banyak program yang dibuat semasa menjabat ketua OSIS. Ia membuat lomba antar Aliyah (red: Setara dengan SMA) di Hari Kartini. Ia mengapresiasi jasa para guru dengan memberikan bunga dan nyanyian, membuat lomba kreativitas menghias kelas, Menghias panjang mulud (tradisi maulid nabi di kota serang) dan masih banyak lagi.
Lulus SMA, ia diterima di Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten melalui jalur Bidikmisi.
“Rasa bangga dan harus jadi satu, akhirnya aku bisa lanjut kuliah tanpa harus struggle seperti sebelum-sebelumnya. Ini semua berkat bantuan guru tercinta yaitu Ibu Tataz Khusnu Tazkia, guru bahasa Inggris yang menjabat sebagai Kepala Sekolah.”
Selama kuliah, ia aktif di berbagai organisasi eksternal dan internal kampus. Organisasi pertama yang ia ikuti adalah HMI MPO. Selanjutnya, ia memilih bergabung dengan SWOT (Serikat Mahasiswa Sosialis Demokratik). Kemudian ia mulai bergabung dengan LMND (Liga Mahasiswa Nasional Untuk Organisasi).
“Aku belajar banyak hal dari mulai filsafat, sistem pendidikan di Indonesia, pergerakan perempuan, dan ideologi Pancasila.”
Pupah mengenal isu-isu keadilan dan kesetaraan gender setelah mengikuti pendidikan politik perempuan yang diselenggarakan Aksi Perempuan Indonesia Kartini (API Kartini). Dalam perkembangannya, API Kartini berubah nama menjadi Suluh Perempuan.
“Karena ketertarikan aku dengan perjuangan perempuan akhirnya aku mendirikan Suluh Perempuan di Banten. Aku berhasil memperluas organisasi di wilayah Pandeglang, Cilegon, dan Provinsi Banten,” terang Ketua Dewan Pimpinan Kota Serang itu.
Hidupnya semakin berwarna, selain aktif melakukan program pemberdayaan perempuan. Ia juga aktif di HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), sebagai Ketua Divisi Internal. Selain kuliah, berorganisasi, ia aktif jualan online shope dan mengajar privat keliling dari rumah kerumah.
Ini sekelumit kisah Pupah yang pantang menyerah menempuh dunia pendidikan. Dalam kesempatan ini, Pupah menyampaikan pesan kepada para perempuan diluar sana yang masih terkungkung dengan budaya patriarki, “Kalian harus melawan batasan-batasan itu, setiap manusia memiliki hak yang sama, apapun gendernya. Kalian berhak meraih apapun yang kalian mau.”
Indah Pratiwi
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan