Sunat perempuan merupakan tradisi yang berbahaya namun terus berlangsung hingga sekarang. Angka anak perempuan yang disunat di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, sejumlah 51,2 persen anak perempuan yang disunat berusia 0-11 tahun. Saat ini, hampir 4,4 juta anak perempuan, lebih dari 12.000 setiap hari berisiko mengalami praktik ini di seluruh dunia.
Sunat perempuan pada dasarnya adalah praktik pemotongan atau pelukaan organ genital perempuan. Hal ini mencakup tindakan yang dilakukan secara sengaja tanpa tanpa indikasi medis. Istilah lain dari sunat perempuan adalah Female Genital Mutilation/Cutting (FGMC) atau Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP).
Praktik yang membahayakan bagi perempuan dan anak perempuan ini telah banyak diungkap. PBB melalui CEDAW (Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) Pasal 12 secara tegas melarang praktik sunat perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa negara telah melarang dan menghapus praktik sunat perempuan. Sebagai contoh, di negeri Mesir menetapkan undang-undang yang merujuk pada Fatwa Ulama Mesir Tahun 2007 dan melarang pelaksanaan sunat perempuan.
Sedangkan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 yang mengatur tentang Sunat Perempuan dan mendorong gerakan Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) terus disosialisasikan. Selanjutnya, mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan).
Tradisi Berbalut Agama
Irwan Hidayana, Antropolog dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa ada banyak unsur yang terkandung dalam praktik sunat perempuan. Praktik ini merupakan bagian dari tradisi yang berbalut agama. Jadi ada pencampuran antara budaya atau tradisi dan agama, terutama Islam yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sunat perempuan adalah perkara yang kompleks. Bahkan, beberapa masyarakat menganggap sunat perempuan bersifat wajib.
Ada beragam praktik sunat perempuan yang berlangsung dari Sabang sampai Merauke. Dalam tradisi Makkatte di masyarakat Bugis. Anak perempuan yang memasuki usia 4-7 tahun akan disunat dengan tujuan ‘meng-Islam-kan’ dan mengurangi hasrat seksual ketika beranjak dewasa. Demikian pula di Sulawesi. Semua perempuan Muslim di Suku Toro, mengikuti tradisi sunat sebagai bukti bahwa seorang anak perempuan telah ‘di-Islam-kan’.
Tradisi sunat perempuan bagi sebagian masyarakat bahkan wajib bagi anak perempuan. Seperti yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat. Bagi sebagian besar masyarakat Sambas, sunat terhadap anak perempuan hukumnya wajib. Orang Sambas meyakini, jika anak perempuan tidak disunat, maka hasrat seksualnya tak akan terbendung saat usia dewasa.
Praktik sunat perempuan sangat beragam, dari yang sekedar simbol sampai yang paling ekstrim yaitu adanya pemotongan/pelukaan organ intim anak perempuan. Contoh sunat perempuan yang hanya simbolis bisa ditemukan pada Suku Melayu di Bengkulu. Yakni, jarum akan ditempelkan di area organ intim bayi perempuan tanpa adanya perlukaan sama sekali. Sedangkan, praktik sunat perempuan yang paling ekstrim terjadi pada Suku Mongondow, Sulawesi Utara. Di mana, organ intim bayi perempuan yang belum berusia tiga tahun wajib dilukai hingga mengeluarkan darah.
Musdah Mulia dalam tulisan berjudul Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam menyatakan sepintas terlihat bahwa isu sunat perempuan adalah urusan agama, tetapi jika disimak lebih seksama akan terkuak sejumlah kepentingan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran agama.
Menurutnya, praktik sunat perempuan merupakan upaya melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan bias gender demi kepentingan dan kesenangan kaum laki-laki. Selain itu, ada motif ekonomi di balik praktik sunat perempuan. Biasanya praktik sunat dilakukan oleh seorang dukun. Pekerjaan ini diturunkan secara turun temurun kepada anaknya. Ketika praktik ini dihilangkan maka konsekwensinya ada yang kehilangan mata pencaharian atau sumber ekonomi. Sementara itu, di dunia medis sunat perempuan seringkali ditawarkan oleh bidan, perawat atau dokter bersama paket melahirkan dan tindik telinga dengan mematok tarif tertentu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sunat perempuan lebih banyak menimbulkan kemudaratan karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara tegas mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat (keburukan, bahaya dan bencana) dari pada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan manfaat), maka perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan.
Landasan hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la dhirar. Maksudnya, segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudaratan dan kerusakan bagi tubuh manusia harus dihapuskan.
Hukum Sunat Perempuan
Jika ditarik ke belakang, tradisi ini telah berkembang mayoritas di masyarakat Islam yang menganut mazhab Syafi’i. Praktik sunat perempuan pertama kali di temukan di Mesir, kemudian berkembang setidaknya ke 20 (dua puluh) negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Merunut sejarahnya, praktik ini telah ditemukan di masa nabi Musa, as. Bahkan jauh sebelumnya, pada masa nabi Ibrahim as anjuran untuk berkhitan sudah ada. Namun di masa itu khitan hanya dikhususkan untuk laki-laki dan bukan untuk perempuan.
Tradisi khitan/sunat ini juga dipraktikkan oleh umat Islam di Amerika Latin dan negara-negara Barat lainnya seperti: Amerika, Kanada, Swedia walaupun negara mereka melarang praktik FGMC. Praktik sunat perempuan juga ditemukan pada penganut agama Kristen Koptik dan mayarakat Yahudi di Palestina.
Menariknya, di negeri asal Islam yaitu Arab Saudi justru tidak ada praktik sunat perempuan. Demikian juga di negara Afghanistan dan beberapa negara Islam lainnya.
Sebagian masyarakat menganggap sunat perempuan bersifat wajib. Sebagian masyarakat lainnya menganggap bahwa sunat perempuan merupakan anjuran dan bukti keislaman anak perempuan. Berpijak pada fakta ini, penulis ingin menguak lebih dalam tentang hukum khitan/sunat perempuan dari perspektif Islam.
Nur Rofiah, ulama Perempuan sekaligus Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) menyatakan bahwa Al-Quran dan hadis tidak pernah secara tegas menyatakan hukum sunat bagi perempuan. Hal ini yang melahirkan pandangan dan tafsir berbeda-beda yang bias gender dan pada akhirnya merugikan, menyakiti, bahkan membahayakan perempuan.
Menurut Nur Rofiah, cara pandang yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah, hasrat seksualnya perlu ditekan atau harus disucikan dengan sunat perempuan adalah akar dari tradisi berbahaya tersebut. Padahal, tidak satupun manusia lahir sebagai subjek sekunder. Perempuan adalah makhluk yang utuh sama seperti laki-laki, yang membedakan hanyalah ketaqwaan seseorang. Yang paling sedih tradisi itu (sunat perempuan) dilegitimasi oleh agama, dan dianggap sebagai kebenaran karena itu terjadi dimana-mana
Secara kritis, Musdah menjelaskan bahwa tidak ada perintah yang tegas dalam Alquran untuk melakukan sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Lalu, mengapa muncul pandangan bahwa Islam menganjurkan sunat perempuan?
Menurutnya, argumen teologis yang sering digunakan oleh kelompok pro-sunat perempuan bukan berasal dari Alquran, melainkan hanya diambil dari kitab fikih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah (dhaif), antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal yang artinya: ‘Khitan (sunat) itu dianjurkan untuk laki-laki (sunnah), dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan.’
Jadi sunat/khitan bagi laki-laki itu hukumnya sunah yang artinya kalau dilakukan maka berpahala tapi kalau tidak dilakukan tidak apa-apa. Sedangkan bagi perempuan hukumnya sekadar makrumah (kebolehan), tidak ada konsekwensi hukum sama sekali, boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan.
Walaupun disebutkan dalam hadis sebagai suatu kebolehan, tetapi dalam banyak hadis lain ditegaskan, kalau pun seseorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina.
Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit saja pada kulit atas perpuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam (jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya.”
Larangan Sunat Perempuan
Berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa khitan merupakan anjuran untuk memuliakan perempuan, Kyai Imam Nakha’i justru menegaskan keharaman atau larangan khitan/sunat perempuan.
Menurut dosen Lembaga Kader Fiqh, Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo ini, Rasulullah SAW tidak pernah mengkhitan puteri-puterinya. Oleh karena itu ia menegaskan khitan haram karena nabi melarangnya.
Dalam laman facebooknya, Kyai Nakha’i mengungkapkan bahwa Dr Ali Jum’at, mufti Mesir dalam kitabnya al Bayan Lima Yusyghilul Azdhan, penjelasan terhadap isu-isu yang menggelisahkan (hlm. 70) menyatakan bahwa Rasulullah tidak melakukan khitan terhadap puteri-puterinya.
Mengapa Rasulullah tidak mengkhitan putrinya? Padahal ketika itu gadis-gadis Madinah di khitan? Dengan tidak mengkhitan putrinya, Rasulullah sesungguhnya ingin melakukan perlawanan terhadap tradisi sunat/khitan perempuan yang membahayakan. Bukan hanya dengan perilaku Rasul, tetapi juga dengan mensabdakannya: Asyimmi wa laa tunhiki (tandai sedikit saja dan jangan potong berlebihan). Nabi bahkan melawan sunat perempuan yang dia sebut sebagai khitan fir’auini (red: khitan dalam tradisi fir’aun).
Kyai Nakhai juga mempertegas keharaman melukai alat genital perempuan (khitan) dengan mengemukakan kaidah fiqh yang menjadi dasarnya. Sesungguhnya dengan argumen bahwa rasul tidak melakukan khitan kepada putri-putrinya, itu sudah cukup sebagai teladan dan dalil yang kokoh tidak disyariatkannya khitan perempuan. Dengan rasul tidak melakukan, berarti sunat perempuan adalah bid’ah. Wa kullu bid’ah dhalalah (semua bid’ah itu adalah sesat).
Selain itu dalam kitab Qawaidul Fiqih juga ditemukan argumentasi keharaman melakukan pelukaan dan pemotongan organ tubuh. “Al ashlul fi al jarhi/at tarjih at tahrim”, artinya pada dasarnya melukai anggota tubuh adalah haram, kecuali adalah alasan syar’i yang mengharuskan pelukaan, seperti operasi caesar dan pelukaan lain yang didasarkan pada indikasi (kebutuhan) medis.
Dalam kaidah fiqh yang lain dinyatakan “al wajib la yutraku illa li wajibin”, artinya kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karena kewajiban yang lain. Melukai perut ibu isalnya, adalah haram dan wajib ditinggalkan. Tetapi kewajiban meninggalkan melukai perut ibu boleh ditinggalkan (diabaikan) karena ada kewajiban lain yaitu menyelamatkan nyawa ibu dan janin.
Menurutnya, melukai apalagi memotong alat genital perempuan adalah haram dan wajib ditinggalkan. Ia menjadi boleh kalau karena kewajiban lain yang maslahahnya lebih besar. Rasul tidak menghitan putri putrinya, itu artinya tidak ada kemaslahatan dalam khitan perempuan, Sehingga tidak cukup kuat untuk membolehkan yang diharamkam. Oleh karena itu, Kyai Imam Nakhai yang juga aktif sebagai komisioner Komnas Perempuan itu berkeyakinan bahwa pelukaan dan pemotongan alat genital perempuan (P2GP), adalah haram, kecuali ada indikasi medis.
Kesimpulan
Praktik sunat perempuan pada faktanya tidak memberikan manfaat medis sedikit pun bagi perempuan. Justru, dampak buruk jangka panjang yang dirasakan perempuan. Selain itu, praktik sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi perempuan.
Praktik sunat perempuan biasanya menggunakan alat-alat apa kadarnya seperti gunting, silet, pecahan kaca, logam dan benda lainnya yang tidak bisa dijamin higienitasnya. Apalagi banyak praktik yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas keilmuan secara media. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, berpotensi menimbulkan pendarahan hebat yang akan merenggut nyawa perempuan
Akar dari tradisi berbahaya sunat perempuan adalah cara pandang yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah, sehingga hasrat seksualnya harus ditekan dan dan disucikan dengan sunat perempuan. Cara pandang ini jelas sangat merendahkan perempuan. Cara pandang yang melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan bias gender demi kepentingan dan kesenangan kaum laki-laki. Sehingga, PBB dalam Konvensi CEDAW dengan tegas melarang sunat perempuan karena merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sudah saatnya, kita meninggalkan tradisi yang membahayakan perempuan. Sudah saatnya kita meninggalkan praktik sunat perempuan atau Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Stop Pemotongan/Pelukaan Genital Perempuan. Stop Sunat Perempuan!
Siti Rubaidah
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif