Buku berjudul ‘Menghadang Kubilai Khan’ tulisan AJ Susmana ini berbentuk novel yang merupakan karya fiksi sejarah dan politik. Novel ini bercerita tentang Kartanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari yang mempunyai mimpi menyatukan nusantara karena adanya ancaman invasi asing.
Novel Menghadang Kubilai Khan ini diterbitkan oleh PT Berdikari Nusantara Makmur (BNM) pada awal April 2021. Buku setebal 333 ini mengajak kita melihat kembali masa-masa awal terbentuknya nusantara, cita-cita persatuan dan dinamika politik yang menyertainya. Sebuah perenungan dan pergulatan batin seorang Kertanegara tentang masa depan Wangsa Rajasa.
Pada masa pemerintahan Raja Kertanegara (tahun1269-1292), ada dua tantangan yang dihadapi. Pertama, faktor internal yaitu adanya pengkhianatan Jayakatwang, Adipati Gelang-gelang yang masih kerabat dekat Kertanegara. Kedua, ancaman dari luar yakni dari Kerajaan Mongol (Dinasti Yuan) di China yang ingin menaklukkan Kerajaan Singasari. Kedua faktor ini yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singasari.
Kertanegara dan Kerajaan Singasari memang telah tiada. Namun, mimpi besar menyatukan nusantara untuk menghadang ancaman Mongol belum padam. Misi besar ini kemudian dilanjutkan oleh menantunya yaitu Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.
Kertanegara dan Ide Persatuan Nusantara
Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama asal Kerajaan Singasari adalah Tumapel. Pada tahun Saka 1176 (1253 M) Raja Wisnuwardhana, ayah dari Kertanegara mengganti nama ibukota menjadi Singasari. Selanjutnya nama Kerajaan Singasari lebih terkenal dibanding Tumapel.
Singasari adalah kerajaan yang menyatukan agama Hindu-Budha. Dalam bidang agama, Kertanegara dianggap mampu menyatukan aliran Siwa dalam Hindu dengan aliran Tantrayana dalam Budha. Selain itu berbagai kepercayaan lokal tumbuh subur dalam khasanah kebudayaan masyarakatnya.
Kertanegara merupakan raja Jawa pertama yang memimpikan persatuan Jawadwipa dan Swarnadwipa menjadi Nusantara. Cita-cita menyatukan nusantara ini diwujudkan dengan adanya ekspedisi Pamalayu dan ekspedisi Pabali. Setelah ekspedisi, kekuasaan Singasari tidak hanya meliputi pulau Jawa namun meluas hingga Sunda٫ Kerajaan Melayu, Gurun, Pahang, dan Bakulapura.
Mimpi membangun persatuan nusantara ini tidak lahir di ruang hampa. Dalam ekspedisi Pamalayu kedua, pasukan Kerajaan Singasari dikirim untuk menjalin kekuatan melawan kekuatan Mongol. Pasukan Mongol (Dinasti Yuan) di China yang dipimpin oleh Kubilai Khan saat itu sedang gencar melakukan ekspansi. Kekuasaannya sangat luas, dari Korea hingga Rusia, sebagian besar wilayah Timur Tengah (Dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur. Mereka juga mengincar Jepang dan Jawa.
Ada hal menarik yang bisa kita baca dalam Menghadang Kubilai. Ambisi besar menyatukan nusantara dan menghadang Kubilai Khan ini dimulai oleh Kertanegara. Namun Kertanegara meninggal sebelum niatnya menghadang Kubilai Khan tercapai. Ia meninggal karena pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya lah yang kemudian melanjutkan misi Kertanegara.
Saat pemberontakan Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri dan membangun kekuatan di Madura dengan bantuan Arya Wiraraja, Adipati Madura yang awalnya merupakan sekutu Jayakatwang. Melalui strategi merangkul lawan menjadi kawan, Raden Wijaya berhasil menumpas pemberontakan Jayakatwang sekaligus menghadang pasukan Kubilai Khan. Wilayah baru yang dibangun Raden Wijaya dinamai Majapahit karena ingin mengakhiri kenyataan pahit masa lalu politik tumpas kelor dan kutukan balas dendam 7 keturunan dalam tradisi Wangsa Rajasa.
Berbeda dengan Kertanegara yang powerfull dengan ekspedisi Pamalayu dan Pabali untuk Menghadang Mongol, Raden Wijaya menggunakan taktik strategi: Jawa tidak mau dijajah tetapi siap menjadi Kawan bagi Wangsa Yuan
Pembelajaran yang bisa diambil dari masa lalu Singasari untuk masa depan Majapahit adalah:
Majapahit haruslah berpengetahuan dan tidak menjadikan warga negerinya picik dalam memandang kehidupan. Cinta tanah air haruslah juga berbarengan dengan cinta kepada kemanusiaan tanpa membedakan asal-usulnya. Jawa harus ramah terhadap berbagai macam manusia dan kebudayaannya.
Di mana Peran Ken Dedes?
Kertanegara selalu diingatkan oleh Wisnuwardana, ayahandanya tentang asal-usul keturunan kerajaan Singasari, yakni Wangsa Rajasa (Ken Arok) yang merupakan raja Jawa dari kalangan Sudra. Arok mendapatkan kekuasaan setelah membunuh dan menikahi Ken Dedes (Istri Tunggul Ametung).
Saya menemukan kekaguman penulis terhadap kisah heroik Ken Arok yang berhasil meraih kekuasaan dan menjadi cikal bakal kerajaan Singasari dalam banyak tulisan. Namun sayang, saya tak menemukan nama Ken Dedes dan perannya dalam buku ini.
Sedikit kritik untuk penulis buku. Menurut saya, penyebutan nama Ken Arok tanpa peran Ken Dedes justru kontradiktif dengan pesan awal untuk tidak melupakan asal-usul leluhur dan sejarah Kerajaan Singasari. Itu sebabnya tulisan ini terasa sangat maskulin.
Tak banyak peran Ken Dedes disebut sebagai cikal bakal Kerajaan Singasari kecuali dalam Pararaton. Buku Negarakertagama juga menulis Sejarah Singasari. Namun٫ buku ini lebih sedikit mengungkap Singasari sebagai cikal bakal terbentuknya kerajaan Majapahit. Karena memang buku ini lebih banyak mengungkap kebesaran Raden Wijaya dan Hayam Wuruk.
Oleh karena itu, saya ingin mengajak kita kembali membaca peran perempuan dalam sejarah, khususnya di Indonesia. Di mana hal ini seringkali terlupakan karena penulis sejarah memang kebanyakan laki-laki dibanding perempuan.
Kembali ke sosok Ken Dedes yang namanya tidak muncul di buku ini. Pramudya Ananta Tour justru menyandingkan nama Ken Dedes setara dengan Ken Arok dalam judul bukunya yang berjudul Arok Dedes. Novel Arok Dedes menceritakan tentang perlawanan dan pemberontakan Ken Arok terhadap pemerintahan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Arok tertarik pada Dedes karena kecantikannya. Lohgawe meramalkan bahwa Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Oleh karena itu, Arok berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes, walaupun tak direstui Lohgawe.
Ken Dedes adalah perempuan utama. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa serat dalam Pararaton. Ken Dedes memiliki pertanda Stri Nareswari yang artinya perempuan utama. Bahkan citra Ken Dedes lebih unggul dibandingkan perempuan lainnya karena memiliki perbuatan atau perilaku yang tercerahkan karena mempelajari karma amamadangi.
Sebagai Stri Nareswari, citra Ken Dedes bisa disamakan dengan Mahamaya, ibunda dari Sidharta Gautama dari Kapilawastu yang dari rahimnya lahir tokoh pemimpin dunia. Demikian pula, dari rahim Ken Dedes lahir keturunan raja-raja Singasari dan Majapahit.
Dalam budaya patriarki, perempuan ditempatkan hanya sebagai legitimasi kekuasaan laki-laki. Pandangan maskulin lainnya menganggap Ken Dedes adalah perempuan yang menjadi sebab laki-laki berebut kekuasaan. Sebagaimana, cara pandang patriarkis lainnya yang memandang perempuan sebagai sumber fitnah, sumber malapetaka.
Di sini saya ingin menegaskan perlunya melihat kembali peran Ken Dedes dalam sejarah peradaban Indonesia. Sebagai figur matriarki dari Dinasti Rajasa, Ken Dedes mempunyai peran penting karena dari rahimnya lahirlah raja-raja masyhur dari Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit.
Terakhir, buku Menghadang Kubilai Khan karya AJ Susmana perlu mendapat apresiasi. Novel berlatar sejarah kelahiran nusantara dan Indonesia ini penting dibaca untuk menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa.
Siti Rubaidah
Terkait
Sebuah Refleksi di Hari Ulang Tahun TNI
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan