7 Oktober 2024

Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah

0Shares

Pada sebuah siang yang cerah di Desa Batulumpang, Cianjur kami berkesempatan berbincang dengan ibu-ibu petani yang telah berjuang selama lebih dari 35 tahun untuk mempertahankan tanah yang mereka garap. Desa ini menjadi saksi sejarah panjang perjuangan agraria, di mana para petani tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga mempertahankan hak mereka atas tanah.

Para ibu-ibu petani ini bercerita tentang bagaimana mereka dan suami-suami mereka bekerja keras mengolah lahan yang mereka tempati. Tanah tersebut bukan hanya tempat untuk bercocok tanam, tetapi juga menjadi sumber penghidupan, tempat mereka membangun keluarga, dan menanam harapan masa depan. Namun, status hukum tanah yang mereka garap menjadi masalah besar. Selama bertahun-tahun, mereka menuntut agar tanah tersebut diakui sebagai hak mereka melalui program reforma agraria, hingga akhirnya ditetapkan sebagai LPRA (Lokasi Prioritas Reforma Agraria).

Kebahagiaan menyelimuti komunitas ini ketika mereka akhirnya memperoleh hak atas tanah melalui LPRA. Bagi mereka, ini adalah hasil dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Namun, kebahagiaan ini tak bertahan lama. Tak lama setelah tanah tersebut diakui melalui LPRA, muncullah intervensi dari Bank Tanah dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan. Ancaman dan intimidasi mulai dirasakan oleh para petani, yang mengakibatkan ketakutan terutama bagi para ibu-ibu. Mereka menghadapi tekanan dari berbagai pihak, mulai dari perusahaan hingga aparat lokal yang mencoba menguasai lahan tersebut.

Bahkan tak sedikit kriminalisasi yang mereka hadapi. Beberapa suami dan anak-anak mereka dituduh melakukan penyerobotan lahan, padahal tanah tersebut telah mereka garap secara turun-temurun. Tuduhan ini menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak mereka. “Kami sudah di sini selama lebih dari 30 tahun. Bagaimana mungkin kami yang menanam, merawat, dan hidup dari tanah ini dituduh menyerobot?” ujar Ibu Elis.

Namun, meski menghadapi ancaman, kriminalisasi, dan intimidasi, semangat ibu-ibu ini tidak pernah padam. Mereka terus melakukan aksi-aksi protes, menuntut keadilan, dan mempertahankan hak mereka. Spanduk-spanduk protes dan suara-suara lantang yang mereka bawa dalam setiap aksi menunjukkan betapa kuatnya tekad mereka. “Kami hanya ingin hak kami atas tanah. Kami ingin tanah ini tetap menjadi milik kami. Kalau hanya 10 tahun, bagaimana masa depan anak-anak kami?” kata seorang ibu menanggapi perihal tawaran HPL 10 tahun.

Batulawang kini menjadi simbol perlawanan para petani kecil terhadap ketidakadilan agraria. Perjuangan mereka, meski sulit, tetap berjalan dengan dukungan komunitas yang terus bersatu. Mereka tahu bahwa jalan menuju keadilan tidaklah mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa tanah ini adalah kehidupan mereka, dan mereka tidak akan menyerah begitu saja.

Cerita dari ibu-ibu petani Batulawang adalah cerminan dari banyak kisah serupa di seluruh Indonesia, di mana petani kecil harus melawan kekuatan besar, melawan relasi kuasa demi mempertahankan tanah yang menjadi hak mereka.

Kegiatan itu pun disudahi dengan sesi meditasi sebagai bagian dari treatment trauma healing yang Suluh Perempuan bagikan bagi ibu-ibu tangguh Batulawang ini.

Mila Nabilah

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai