Mari kita mulai refleksi Hari Tani Nasional ke-64 tahun ini dengan data. Merupakan sebuah ironi bahwasanya di negeri yang kaya akan sumberdaya agraria ini, justru profesi petani menjadi penyumbang dari wajah kemiskinan negeri ini.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada triwulan pertama tahun 2023 mencapai 29,36 persen. Adapun pada triwulan kedua tahun 2024 sebesar 28,64 persen. Naik 0,03 juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 142,18 juta orang. Sektor pertanian merupakan penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara. Kontribusinya dalam menyumbang devisa dan dukungannya terhadap sektor industri tidak boleh diabaikan.
Kenyataannya harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani dengan lahan yang relatif sempit. Pelaku usaha pertanian setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah.
Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, pada tahun 1993 hanya 51,9 persen dari 20,8 juta rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003, atau 10 tahun kemudian, porsi petani gurem 53,9 persen dari total rumah tangga petani. Tahun 2008, persentase petani gurem diproyeksikan 55,1 persen, 55,33 persen pada 2013, dan menjadi 60,84 persen pada 2023. Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia.
Reforma Agraria VS Konflik Agraria
Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) merupakan peringatan dari lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Tujuan pelaksanaan reforma agraria adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Reforma agraria menurut Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap). Yang dimaksud dengan menyeluruh dan konprehensif adalah: (1) sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lain. Pendek kata, semua sumber agraria, termasuk hak air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. (2) Program reforma tanah (dan sumber agrarian lainnya) harus disertai dengan program-program penunjangnya, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan sebagainya.
Akan tetapi, cita-cita reforma agraria tampaknya tak berjalan linear dengan realitas konflik agraria yang tak berkesudahan. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada Catatan Akhir Tahun 2023 kemarin menyebutkan, ada setidaknya 2.939 konflik meletup yang meliputi 6,3 juta hektar lahan dan 1,759 juta keluarga korban selama kurun waktu 2015-2023. Dengan sebagian di antaranya berasal dari konflik-konflik yang tak juga menemui titik terang.
Dari 851 lokasi yang menjadi prioritas reforma Agraria atau LPRA (lokasi prioritas reforma agraria), capaian redistribusi ranah dan penyelesaian konflik tercatat baru mencapai 21 LPRA saja dengan total 5.400 hektar (ha) untuk 7.690 keluarga. Dan dua di antaranya masih menunggu terbitnya surat keputusan redistribusi. Pun 830 LPRA lainnya yang belum diredistribusi, masih berada dalam konflik berkepanjangan.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, pada saat peluncuran Catatan Akhir Tahun 2023 (15/1/2024), menyampaikan, polemik konflik agraria di Indonesia sudah bermula sejak era kolonial. Namun, hingga kini pemerintah belum serius menangani permasalahan agraria nasional, termasuk konfliknya.
”Kapan akan tuntas, konfliknya terus diwariskan turun-temurun oleh pemerintah. Nanti, saling tuduh konflik agraria ini dari presiden sebelumnya. Padahal, jumlah konfliknya terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria multidimensi,” ujarnya.
Sebagai contoh, konflik agraria di Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat, yang menjadi warisan sejak Orde Baru. Konflik ini melibatkan warga dan tanah hak guna usaha (HGU) suatu perusahaan. Karena tidak menemui titik temu, lahan bekas HGU itu kini diklaim sebagai milik bank tanah setelah hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja.
Peristiwa di Batulawang merupakan salah satu contoh metamorfosis konflik agraria yang kian kompleks. Dari awalnya hanya melibatkan warga dan tanah eks HGU, kini ada bank tanah, bahkan salah satu bagian institusi kepolisian.
”Konflik lama belum selesai, sudah muncul konflik-konflik baru. Konflik lama makin rumit, makin karut-marut,” katanya.
Adapun konflik agraria yang baru, salah satunya dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN). KPA mencatat, selama kurun waktu 2020-2023, terdapat 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Sedikitnya PSN melibatkan 516.409 ha lahan dan 85.555 keluarga.
Selain konflik, korban kekerasan juga meningkat. Selama era Presiden Joko Widodo, 3.503 orang yang memperjuangkan hak atas tanah menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi. Sebanyak 78 orang di antaranya tertembak dan 72 orang tewas.
Menurut Dewi, metode pemerintah dalam reforma agraria harus berubah, khususnya pada pendekatan aparat dan diskriminasi hukum. ”Presiden mendatang harus membentuk kelembagaan untuk memimpin reforma agraria. Kemudian, bentuk aturan setingkat undang-undang terhadap reforma agraria. Juga reformasi sejumlah lembaga untuk mengefektifkan program,” katanya.
Perjuangan Masih Panjang
Tampaknya jelas, jalan menuju kesejahteraan petani masih harus menempuh jalan panjang. Kaum tani dibersamai gerakan solidaritas dari berbagai kalangan, masih terus berlawan meski harus menghadapi penghadangan dan ragam bentuk kriminalisasi.
Tanggal 24 September tahun ini, akan digelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Sebagaimana diberitakan oleh Tempo.co bahwa Aliansi Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (Geram Tanah) menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa pada Selasa, 24 September 2024. Massa yang terdiri atas 80 organisasi petani, serikat buruh, mahasiswa dan masyarakat sipil akan menggelar aksi dengan tema ‘Selamatkan Konstitusi, Tegakkan Demokrasi, dan Jalankan Reforma Agraria Sejati’.
Semoga saja di momentum kali ini, perjuangan kaum tani dapat berbuah baik dan tuntutan reforma agraria tak lagi menjadi mimpi semata. Selamat Hari Tani Nasional, Wujudkan Reforma Agraria Sejati!
Mila Nabilah
Terkait
Sebuah Refleksi di Hari Ulang Tahun TNI
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan