14 Desember 2024

Sebuah Refleksi di Hari Ulang Tahun TNI

0Shares

Peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-79 jatuh pada tanggal 5 Oktober. Selain merayakan keberhasilan militer dalam menjaga kedaulatan bangsa, kiranya penting juga bagi kita untuk merenungkan peran mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masih sering terjadi.

Berdasarkan laporan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dalam setahun terakhir tercatat 64 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI, dengan salah satu kasus paling menonjol terjadi di Papua. Kita bisa melihat dari data kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap warga sipil yang selama periode Oktober 2023 hingga September 2024. Peristiwa itu terdiri dari 37 tindakan penganiayaan, 11 tindak penyiksaan, 9 kasus intimidasi, 5 tindakan tidak manusiawi, 3 pengrusakan, 1 kasus penculikan dan 1 kasus kejahatan seksual. Kasus-kasus tersebut juga menyebabkan 75 orang luka-luka dan 18 orang tewas.

“Kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut tentu tidak sesuai dengan jati diri TNI sebagai tentara rakyat. TNI tidak boleh ragu dalam memberikan sanksi kepada prajurit yang melanggar dan menegakkan supremasi hukum,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS yang disampaikan  dalam konferensi Pers HUT TNI ke-79 secara virtual, Jumat (4/10/2024).

Kasus-kasus kekerasan oleh TNI ini tentu membawa dampak yang mendalam, terutama bagi perempuan yang sering menjadi korban kekerasan fisik, psikologis, bahkan seksual dalam situasi konflik. Perempuan tidak hanya terjebak dalam konflik yang sering terjadi di wilayah rawan seperti Papua, tetapi juga mengalami trauma yang berkepanjangan akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara.

Perempuan kerap kali menjadi korban tak terlihat dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh militer. Mereka bukan hanya terjebak di antara konflik, tetapi juga sering kali menjadi target kekerasan karena dianggap sebagai pihak yang lemah atau karena hubungan mereka dengan pelaku konflik. Dalam kasus-kasus yang melibatkan TNI, perempuan sering menghadapi tantangan ganda. Selain kehilangan anggota keluarga yang ditangkap, diintimidasi, atau bahkan dibunuh, mereka juga menghadapi ancaman langsung terhadap keselamatan pribadi mereka.

Dalam beberapa kasus, kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap perempuan memiliki pola yang berkaitan dengan upaya untuk melemahkan komunitas atau menghancurkan semangat perlawanan di daerah tertentu. Kekerasan seksual misalnya, tidak hanya merusak fisik perempuan, tetapi juga menghancurkan martabat dan kehormatan mereka, yang dalam budaya patriarkal sering kali berdampak pada rasa malu, pengasingan sosial, dan kerentanan ekonomi yang semakin besar.

Papua: Perempuan di Garis Depan Kekerasan

Papua menjadi salah satu wilayah yang paling sering menjadi sorotan dalam konteks pelanggaran HAM oleh TNI. Selain kekerasan terhadap masyarakat umum, perempuan Papua menghadapi tekanan luar biasa akibat peran mereka dalam menjaga keluarga dan komunitas di tengah konflik. Mereka menjadi saksi dan korban dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat, yang sering kali berkedok operasi keamanan atau penertiban wilayah.

Dampak psikologis dan sosial dari kekerasan ini sangat signifikan. Perempuan Papua yang menjadi korban kekerasan oleh TNI tidak hanya berjuang melawan trauma, tetapi juga menghadapi stigma yang melekat pada mereka sebagai perempuan korban kekerasan. Hal ini menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus dan menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan.

Perlunya Perspektif Gender dalam Reformasi Militer

Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan TNI tidak dapat dipandang sebelah mata. Perlu ada upaya serius untuk mereformasi institusi militer agar lebih peka terhadap isu-isu hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Mengintegrasikan perspektif gender dalam reformasi militer akan membantu memastikan bahwa aparat keamanan tidak hanya bertindak dengan disiplin, tetapi juga menghargai martabat setiap individu, termasuk perempuan.

Kekerasan berbasis gender oleh aparat harus diakui sebagai pelanggaran serius yang memerlukan penanganan khusus. Mekanisme pengaduan yang ramah perempuan, perlindungan bagi korban, serta hukuman yang tegas bagi pelaku, menjadi langkah awal yang penting. Selain itu, pelibatan perempuan dalam posisi kepemimpinan di TNI dan institusi keamanan lainnya bisa menjadi langkah strategis dalam mencegah kekerasan berbasis gender di masa depan.

Pada momen peringatan HUT TNI ini, sudah saatnya kita merenungkan peran penting yang harus dimainkan oleh militer dalam menjaga keamanan negara tanpa mengorbankan hak asasi warga negara, terutama perempuan. Kekerasan yang terus terjadi, termasuk 64 kasus yang dilaporkan oleh KontraS, adalah peringatan bahwa reformasi militer perlu dilakukan dengan lebih serius.

Perempuan, yang sering kali menjadi korban utama dalam konflik, harus mendapatkan perlindungan yang layak dari segala bentuk kekerasan. Melalui reformasi yang berperspektif gender, kita dapat berharap bahwa TNI di masa depan akan menjadi institusi yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga berkomitmen pada penegakan hak asasi manusia untuk semua, tanpa kecuali.

Mila Nabilah

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai