Sejarah perjuangan perempuan di Indonesia menunjukkan betapa penting peran mereka dalam pembentukan bangsa. Pada masa pra-kemerdekaan, perempuan aktif dalam gerakan organisasi dan politik melawan penjajahan. Tokoh-tokoh seperti Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, hingga Siti Sundari memimpin perjuangan dalam pendidikan dan hak-hak perempuan.
Masa Orde Lama semakin memperlihatkan kekuatan perempuan, terutama melalui organisasi seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Gerwani tak hanya memperjuangkan isu perempuan, tetapi juga berperan dalam perjuangan kelas pekerja dan petani. Selain itu, keterlibatan perempuan dalam diplomasi internasional menjadi bukti penting. Misalnya, S.K. Trimurti, dan tokoh lainnya aktif dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, menyuarakan kesetaraan dan anti-kolonialisme di forum global, serta Fransisca Fanggidaej yang pernah mengikuti kongres International Union of Students (1947).
Namun, ketika Orde Baru berkuasa pada tahun 1966, perjuangan ini mengalami kemunduran drastis. Rezim ini menciptakan Ibuisme Negara—sebuah ideologi yang dikritisi Julia Suryakusuma dalam bukunya State Ibuism: Ideology in Indonesia (2012). Melalui Ibuisme Negara, perempuan diposisikan sebagai pelengkap laki-laki, dengan tugas utama mendukung suami dan mengurus rumah tangga. Organisasi seperti PKK dan Dharma Wanita digunakan untuk meneguhkan peran domestik perempuan, sementara keterlibatan perempuan dalam politik ditekan dan dianggap tidak sesuai dengan kodrat.
Akibatnya, suara perempuan di ruang-ruang pengambilan keputusan terpinggirkan. Hingga kini, warisan ibuisme ini masih membayangi persepsi masyarakat, membuat keterlibatan perempuan dalam politik dan kepemimpinan tampak tabu.
Namun, harapan tidak boleh padam. Dalam konteks inilah Suluh Perempuan hadir sebagai bagian dari upaya membangkitkan kesadaran perempuan untuk kembali menjadi subyek demokrasi. Melalui program-programnya, Suluh Perempuan berkomitmen merangkul berbagai isu yang pernah diperjuangkan perempuan masa lalu—mulai dari pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan perempuan, hingga penguatan advokasi kebijakan pro-perempuan, anak, dan kesejahteraan masyarakat.
Suluh Perempuan memahami bahwa kebangkitan perempuan dalam politik bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang menciptakan demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan. Dengan menghidupkan kembali semangat perjuangan perempuan, Suluh Perempuan mendorong perempuan Indonesia untuk aktif di arena politik, menjadi pengambil keputusan, dan memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada mereka yang termarjinalkan.
Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan adalah kekuatan penggerak perubahan. Kini saatnya bagi kita untuk melanjutkan perjuangan itu dan memastikan perempuan memiliki ruang yang layak dalam membangun masa depan bangsa. Mari bersama-sama wujudkan Indonesia yang lebih inklusif, adil, dan setara! (*)
Milla Joesoef
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas