Mary Jane Fiesta Veloso (39), perempuan asal Filipina yang hampir satu setengah dekade mendekam di penjara Indonesia, kini mendekati kebebasannya. Setelah bertahun-tahun menghadapi vonis mati atas dakwaan membawa 2,6 kilogram heroin pada 2010, Mary Jane diharapkan segera dipulangkan ke negaranya. Namun, hingga kini, informasi tentang tanggal pembebasannya belum dapat dipastikan.
Kepala Lapas Perempuan Kelas 2B Yogyakarta, Evi Loliancy, menjelaskan bahwa kabar pembebasan Mary Jane pada Hari Hak Asasi Manusia Internasional, 10 Desember 2024, masih belum dapat dikonfirmasi.
“Untuk tanggal 10 belum bisa kami pastikan kebenarannya karena belum ada informasi dari Kanwil dan UPT lapas,” ujar Evi pada Kamis, 5 Desember 2024, di Yogyakarta.
Saat ini, aktivitas Mary Jane di lapas lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin, termasuk persiapan menyambut perayaan Natal 2024. Evi juga menambahkan bahwa pihak lapas terus memberikan dukungan dan motivasi kepada Mary Jane untuk menghadapi rencana pemulangannya.
Jalan Panjang Diplomasi
Perjalanan menuju kebebasan Mary Jane Fiesta Veloso merupakan hasil dari diplomasi panjang yang melibatkan berbagai pihak, baik di Filipina maupun Indonesia. Sejak penundaan eksekusi mati pada 2015, pemerintah Filipina aktif mengadvokasi kasus Mary Jane, menekankan bahwa ia adalah korban perdagangan orang (TPPO) yang diperdaya oleh sindikat narkoba internasional.
Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., melalui pernyataannya di media sosial pada 20 November 2024, menyoroti betapa rumitnya upaya ini. “Setelah lebih dari satu dekade diplomasi dan konsultasi dengan pemerintah Indonesia, kami berhasil menunda eksekusinya cukup lama untuk mencapai kesepakatan agar akhirnya dapat membawanya kembali ke Filipina,” tulisnya.
Upaya ini melibatkan berbagai negosiasi yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga pada sisi kemanusiaan Mary Jane sebagai seorang korban. Pihak Filipina secara konsisten mengajukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Mary Jane direkrut secara ilegal oleh Cristina Sergio dan dijadikan kurir narkoba tanpa sepengetahuannya. Keberhasilan diplomasi ini mencerminkan pentingnya kerja sama internasional dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia yang kompleks, di mana korban sering kali menjadi kambing hitam sistem kejahatan yang lebih besar.
Ketidakadilan Proses Hukum
Kasus Mary Jane tidak hanya memunculkan isu perdagangan manusia, tetapi juga menyoroti kelemahan dalam sistem peradilan pidana. Mary Jane ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada April 2010, setelah petugas mencurigai kopernya yang ternyata berisi heroin seberat 2,6 kilogram. Namun, proses hukum yang dihadapinya sejak awal penuh dengan ketidakadilan.
Kuasa hukumnya, Agus Salim, mengungkapkan bahwa Mary Jane tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak selama proses interogasi. Ia diinterogasi dalam bahasa Indonesia, yang sama sekali tidak dikuasainya, sementara penerjemah yang dihadirkan di persidangan disebut tidak berlisensi resmi.
“Penerjemah ini tidak memahami nuansa bahasa hukum, sehingga sulit bagi Mary Jane untuk memberikan pembelaan yang maksimal,” ujar Agus.
Selain itu, pengacara yang disediakan pengadilan merupakan pembela umum dari kepolisian, yang sering kali tidak memiliki fokus mendalam pada kasus tertentu. Fakta bahwa Mary Jane tidak mendapatkan akses ke pengacara independen menunjukkan bahwa hak asasinya telah dilanggar sejak awal. Hal ini diperparah dengan vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman pada Oktober 2010, lebih berat dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman seumur hidup.
Ketidakadilan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana sistem peradilan pidana memperlakukan terdakwa asing, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan seperti perempuan pekerja migran.
Desakan Penghapusan Hukuman Mati
Kasus Mary Jane juga menjadi bahan bakar bagi berbagai organisasi HAM yang menyerukan penghapusan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dianggap sebagai bentuk penghukuman yang tidak hanya kejam dan tidak manusiawi, tetapi juga tidak memberikan ruang untuk memperbaiki kesalahan jika sistem hukum membuat keputusan yang salah.
Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, menegaskan bahwa hukuman mati menempatkan sistem hukum dalam posisi yang rentan terhadap ketidakadilan.
“Sistem peradilan yang tidak sempurna meningkatkan risiko eksekusi terhadap mereka yang tidak bersalah. Mary Jane adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa terperangkap dalam jeratan sistem yang tidak memadai,” kata Andreas.
Desakan serupa juga datang dari berbagai lembaga nasional, seperti Komnas HAM, yang terus mengingatkan bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam konstitusi Indonesia. Mereka menekankan pentingnya pendekatan berbasis rehabilitasi dan pemberian kesempatan kedua, terutama dalam kasus-kasus di mana terdakwa adalah korban dari kejahatan yang lebih besar, seperti perdagangan manusia.
Dengan pemulangan Mary Jane yang semakin dekat, pemerintah Indonesia diharapkan dapat merefleksikan kembali kebijakan hukuman mati dan mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih manusiawi dan adil dalam sistem hukum pidana. Kasus ini bukan hanya tentang seorang perempuan yang mendapatkan kembali kebebasannya, tetapi juga tentang upaya menciptakan sistem hukum yang lebih berorientasi pada keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Apresiasi besar diberikan kepada pemerintah Indonesia atas keputusan membebaskan dan memulangkan Mary Jane ke Filipina. Langkah ini dipandang sebagai kemajuan penting dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Keputusan ini juga diharapkan menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengevaluasi hukuman mati dan bergerak menuju sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan menghormati hak asasi manusia.
Mary Jane Veloso kini tidak hanya menjadi simbol harapan bagi para korban perdagangan manusia, tetapi juga wajah dari perjuangan melawan hukuman mati yang terus menjadi perdebatan di tingkat nasional maupun internasional.
Selamat Hari HAM Internasional!
Que Viva La Humanidad!
Penulis: Milla Joesoef
Editor: Humaira
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas