Tak semua seniman hadir hanya untuk berkarya. Sebagian dari mereka memilih menjadi jembatan bagi pesan-pesan penting kehidupan. Salah satunya adalah Leolintang Anies Munfarida, seorang penyair dan pelukis otodidak asal Jember yang sejak muda telah menjadikan seni sebagai sarana menyuarakan cinta, kedamaian, dan perlawanan terhadap kekerasan.
Perempuan kelahiran 4 Agustus 1969 ini adalah penyair dan pelukis otodidak. Ia berkesenian sejak kecil dan mengenal teater sejak di bangku kuliah. Lulus IKIP PGRI Jember, ia memulai kariernya dalam Tour Baca Sajak Monumen bersama tiga penyair perempuan Jember pada April 1995. Sejak saat itu, ia memantapkan diri di dunia seniman.
Bagi perempuan multi talent ini, proses kreatifnya tidak bisa dipisahkan dari hiruk-pikuk kehidupan. Ia menyerap energi dari lingkungan, mengendapkannya, lalu menyalurkannya dalam bentuk lukisan, puisi, atau naskah teater.
“Seni itu bukan sekadar estetika, tapi juga suara jiwa. Dengan menikmati atau mencipta karya seni jiwa kita menjadi tenang lebih damai,” ungkap Leolintang dengan mantap.
Ciri khas karya Leolintang sangat unik. Ia dikenal berani mengeksplorasi teknik tak biasa: melukis dengan cakaran kuku saat di atas kanvas sambil membacakan puisi. Gaya lukisannya realis-abstrak, sementara puisinya bergaya realis-absurd dengan sentuhan simbolisme yang kuat.
Bukan Hanya Berkarya, Tapi Juga Berjuang
Leolintang Anies Munfarida adalah seniman yang tidak hanya melukis kanvas, tapi juga menggugah hati dan kesadaran kita semua. Karya-karyanya tak hanya elok dipandang, tapi juga mengajak audiens untuk merenung.
“Setiap karya seni adalah pesan, tentang perdamaian, anti kekerasan terhadap perempuan, rusaknya lingkungan, atau pentingnya kedamaian jiwa, semuanya dituangkan dengan penuh empati.
Leolintang sadar jalan seniman bukan jalan mulus. Ia menyadari minimnya perhatian dari masyarakat maupun pemerintah terhadap dunia seni. Tapi itu tak membuatnya berhenti. Ia justru mengajak seniman untuk tetap membumi, menyatu dengan alam, dan menjauhkan diri dari iri hati dan dendam.
“Saat buntu dalam berkarya, saya mendengarkan musik alam atau musik etnik. Kadang sampai ketiduran sejenak, lalu bangun dengan mata segar dan ide-ide baru,” ceritanya sambil tertawa.
Lewat karya-karyanya, Leolintang ingin membangun kesadaran. Baginya, seni adalah terapi jiwa. Melihat lukisan atau mendengar puisi bisa membawa ketenangan. “Kalau jiwa tenang, raga pun ikut sehat,” ujarnya.
Tak ingin berhenti pada dirinya, tahun 2017 ia mendirikan Balai Kesenian AniesM. Tempat ini menjadi ruang bagi anak muda belajar dan mencintai seni budaya Indonesia.
Kini, meski belum memiliki antologi tunggal, puluhan puisinya telah menggema di berbagai pertunjukan. Dari galeri seni hingga situs cagar budaya, dari jalanan Jakarta hingga gedung diplomatik, Leolintang tampil total—melukis, berpuisi, dan membawa pesan damai.
Pesannya selalu konsisten: Stop kekerasan terhadap perempuan, Hentikan perusakan lingkungan, Tumbuhkan kasih dan keadilan. Dalam cuplikan puisinya yang berjudul Cinta Damai, ia menulis:
Hanya Cinta Kasih Sayang dan Keadilan
Akan tercipta Perdamaian Kedamaian
Pada setiap jiwa di seluruh bangsa.
Ini karena aku Anti Penindasan Kekerasan
Karena penindasan kekerasan dapat menimbulkan
Penderitaan kesakitan maha hebat
Baik fisik maupun batin seseorang.
Kebebasan adalah cakrawala
Kedamaian adalah Hak Azasi Manusia (*)
Penulis: Sukir Anggraeni
Editor: Humaira
Terkait
Teh Imas, Petani Cianjur yang Mantap Beralih ke Pertanian Alami
Sepinggan Indonesia: Membaca Cinta Tanah Air Lewat Dapur dan Kisah Perempuan
Nani Nurani, Suara yang Tak Pernah Padam