Di tengah kegelapan sejarah Indonesia pasca-1965, Nani Nurani adalah penjelmaan dari suara yang tak pernah padam. Ia adalah seorang penyanyi muda berbakat di era Presiden Sukarno. Ia kerap tampil di Istana Cipanas dan berbagai panggung kenegaraan, menyuarakan lagu-lagu daerah dan nasional dengan penuh semangat kebangsaan. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika ia menjadi korban dari gelombang penangkapan pasca-peristiwa G30S.
Sebelum terjadi G30S, Nani Nurani adalah pegawai Dinas Kebudayaan Dt. II Cianjur. Ia bekerja sebagai sekretaris Ir. S. Soerjosoemarno (ayah bintang film Marini). Nani Nurani ditangkap 23 Desember 1968 dan keluar penjara pada 19 November 1975. Hanya gara-gara menyanyi ia mendekam penjara selama tujuh tahun. Selanjutnya, Ia dipercaya menjadi sekretaris Marini Soerjosoemarno dan Idris Sardi sampai tahun 1999.
Nani Nurani tumbuh dalam lingkungan yang mendorong kecintaannya pada seni. Pada awal 1960-an, ia telah tampil di berbagai acara kenegaraan, termasuk di Istana Cipanas dan Gedung Kesenian, mewakili semangat muda Indonesia melalui suara emasnya.
Bung Karno, menurutnya, adalah seorang pemimpin yang sangat menghargai seni dan seniman. Tak heran bila seniman seperti Idris Sardi dan Tati Saleh pun menjadi bagian dari delegasi budaya Indonesia yang tampil di dalam dan luar negeri.
“Beliau sangat menghormati seni dan seniman. Kalau saya nyanyi, semua harus diam, tidak boleh makan, duduk manis. Itu bentuk penghargaan beliau,” tuturnya.
Namun semuanya runtuh ketika Nani ditangkap pada 1965 hanya karena menyanyi dalam acara yang berkaitan dengan peringatan ulang tahun PKI. Lagu yang dibawakannya bukan lagu propaganda, melainkan lagu daerah dan nasional. Tapi kehadirannya di acara itu cukup menjadi alasan aparat untuk menciduknya. Ia bukan anggota organisasi terlarang, tak pernah diadili, namun harus mendekam di penjara Bukit Duri selama tujuh tahun.
“Saya bukan anggota organisasi. Saya hanya nyanyi di acara ulang tahun PKI. Tapi karena itu, saya ditangkap. Lagunya pun lagu nasional, lagu daerah,” kenangnya.
Di penjara, ia menjadi saksi kekejaman rezim: melihat teman-temannya disiksa dan mengalami tekanan psikologis yang dalam. “Melihat orang disiksa itu lebih menyakitkan daripada disiksa,” tuturnya lirih.
Perjuangan di Meja Hijau
Setelah bebas, hidup tak serta-merta membaik. Ia dikucilkan oleh keluarga kandungnya sendiri, bahkan KTP-nya dibubuhi tanda eks-tapol (ET). Namun Nani tidak tinggal diam. Ia mengajukan gugatan terhadap negara. Pada 2008, Mahkamah Agung mengabulkan gugatannya. Dalam Keputusan Mahkamah Agung tersebut, Nani dinyatakan bukan anggota organisasi terlarang, tidak terlibat G30S, dan tidak pernah bersalah karena tak pernah diadili.
“Saya menuntut pemerintah, karena saya tidak mendapatkan KTP seumur hidup dan ditandai ET (Eks Tapol). Saya yang menyidang pemerintah. Saya menang di Mahkamah Agung. Dinyatakan bukan organisasi terlarang, tidak terlibat G30S, dan tidak pernah bersalah,” tegasnya.
Dengan keputusan itu, ia melanjutkan perjuangannya untuk rehabilitasi nama baik dan haknya sebagai korban. Nani dan para korban lainnya pernah dipanggil oleh Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan KPP HAM (Komite Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia). Tujuannya adalah untuk mengungkap kebenaran, memproses hukum pelaku, dan memulihkan hak-hak korban.
Sayangnya, sampai sekarang negara belum menunaikan janji sepenuhnya. Kartu kesehatan khusus korban yang dijanjikan Presiden Jokowi pun tak pernah benar-benar sampai.
“Saya bilang saya tidak butuh (tahu) siapa pelaku, saya hanya butuh kebenaran apa yang terjadi. Saya sudah tua, sudah tinggal menunggu kapan mati, sudah umur di atas 80-an. Saya hanya menuntut agar kesehatan kami diperhatikan. Kami minta dibuatkan kartu premi khusus supaya gampang mengurus,” lanjutnya.
Bernyanyi untuk Menyembuhkan
Di usia senja, Nani kembali pada panggilannya: bernyanyi. Pada tahun 2006, Ia membentuk kelompok paduan suara Wanodja Binangkit—yang berarti “perempuan bijaksana dan kreatif”. Mereka menyanyikan lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Selanjutnya pada 2011, beberapa ibu-ibu Wanodja Binangkit membentuk grup vokal Dialita yang menyanyikan lagu-lagu karya korban G30S. Walaupun sudah ada Dialita, namun ibu-ibu korban tetap menjadi anggota Wanodja Binangkit.
Demikianlah, di tengah luka sejarah, suara Nani dan perempuan-perempuan korban lainnya terus hidup, menjadi saksi, pengingat, dan penyembuh.

Nani Nurani adalah sosok yang tak kenal putus asa, “Saya selalu positive thinking. Yang penting Allah jangan meninggalkan saya.”
Kepada tim redaksi, Nani Nurani menyampaikan bahwa salah satu lagu daerah favoritnya adalah berjudul: Sabilulungan. Lagu berbahasa Sunda ini diciptakan oleh Koko Koswara yang lebih sering dikenal dengan nama Mang Koko. Melalui Sabilulungan, ia ingin mengajak siapa pun untuk menjaga persatuan.
Lirik Lagu Sabilulungan dari Jawa Barat
Sabilulungan, dasar gotong royong
Sabilulungan, dasar gotong royong
Sabilulungan, sipat silih rojong
Sabilulungan, sifat saling dukung
Sabilulungan genténg ulah potong
Sabilulungan,genting jangan pecah
Sabilulungan persatuan tembong
Sabilulungan, persatuan terlihat
Tohaga, rohaka
Kuat, Perkasa
Teguh tangguh perbawa sabilulungan
Teguh (dan) tangguh bawaan sabilulungan
Sadia sajiwa
Sedia, sejiwa
Segut singkil ngabasmi pasalingsingan
Siap untuk membasmi perselisihan
Saat ditanya pesan untuk generasi muda, ia menjawab tanpa ragu: “Saya minta peristiwa kelam seperti G30S itu tidak akan pernah terjadi lagi, karena sangat dalam melukai. Kami disakiti oleh bangsa sendiri, kita diadu domba dengan bangsa sendiri. Semoga seluruh anak bangsa menjaga persatuan demi kejayaan NKRI tercinta,” pungkasnya.
Beberapa waktu lalu Ibu Nani Nurani mempersembahkan tembang Cianjuran Buhun dalam pertunjukan yang bertajuk “Cianjur, Melampaui Cinta”, sebagai sebuah wujud syukur serta ungkapan cinta atas perjalanan Peradaban.
Saksikan melalui link youtube berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=f0rgHAbXfdw&list=PPSV
Humaira
Terkait
Teh Imas, Petani Cianjur yang Mantap Beralih ke Pertanian Alami
Dr. Samia Al-Amoudi: Perempuan Paling Berani dari Arab Saudi
Sepinggan Indonesia: Membaca Cinta Tanah Air Lewat Dapur dan Kisah Perempuan