24 Juni 2025

Indonesia Gelap: Potret Ketidakadilan Struktural

0Shares

Ketika kita berbicara tentang “Indonesia Gelap,” kita tidak hanya membahas kekurangan infrastruktur penerangan di pelosok negeri, tetapi juga bayangan panjang ketidakadilan yang menyelimuti banyak aspek kehidupan, terutama bagi perempuan. Gelap yang dimaksud adalah sistem yang masih menormalisasi kekerasan berbasis gender, ketimpangan ekonomi, marginalisasi perempuan dalam politik, serta pembungkaman aktivisme perempuan. Dalam artikel ini, kita akan melihat bagaimana perspektif feminis memahami kegelapan ini, sekaligus menawarkan kritik serta saran yang dapat menjadi titik balik menuju Indonesia yang lebih adil dan setara.

Kegelapan Struktural, Ketimpangan Gender Berlapis

Di balik narasi kemajuan dan pembangunan, perempuan masih menghadapi diskriminasi yang berakar dalam struktur sosial, hukum, dan ekonomi. Indonesia mengalami peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya, dengan data Komnas Perempuan mencatat lebih dari 300.000 kasus kekerasan berbasis gender pada tahun 2023. Angka ini hanyalah puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak terlaporkan akibat stigma dan minimnya perlindungan hukum yang efektif.

Dalam sektor ekonomi, perempuan masih terpinggirkan. Upah yang lebih rendah dibanding laki-laki, beban kerja ganda yang tidak diakui, serta dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan bisnis dan politik menunjukkan bahwa sistem patriarki masih menjadi norma. Kebijakan yang ada sering kali tidak mempertimbangkan pengalaman spesifik perempuan, seperti cuti melahirkan yang terbatas bagi pekerja sektor informal atau minimnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga.

Selain itu, perempuan juga mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat banyak keluarga miskin memilih untuk menyekolahkan anak laki-lakinya, sementara anak perempuan hanya memiliki tempat untuk membantu pekerjaan domestik. Di bidang kesehatan, layanan bagi perempuan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, sering kali masih dianggap tabu dan kurang mendapatkan perhatian dalam alokasi anggaran negara.

Negara Gagal Melindungi Perempuan

Meskipun ada berbagai regulasi yang bertujuan melindungi perempuan, implementasinya masih jauh dari harapan. UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang diharapkan menjadi tonggak perlindungan perempuan masih menemui banyak kendala dalam penerapannya. Banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender, sehingga korban sering kali disalahkan atau diabaikan. Di sisi lain, pendidikan dan media masih mereproduksi narasi yang menormalisasi ketidakadilan gender, misalnya dalam representasi perempuan yang hanya dilihat sebagai pelengkap atau objek seksual.

Selain itu, peran perempuan dalam politik masih minim. Meskipun ada kebijakan afirmatif seperti kuota 30% perempuan dalam parlemen, realitasnya perempuan dalam politik sering kali menjadi token tanpa suara yang berdaya. Hambatan struktural seperti budaya politik yang maskulin, kekerasan politik berbasis gender, dan pembungkaman aktivis perempuan semakin memperburuk keadaan.

Tingginya angka kekerasan seksual terhadap aktivis perempuan juga menjadi bukti bahwa negara gagal dalam memberikan perlindungan bagi mereka yang berjuang melawan sistem yang menindas. Pembungkaman terhadap perempuan yang bersuara dalam gerakan sosial, baik melalui ancaman, kriminalisasi, maupun serangan digital, semakin menghambat perjuangan menuju kesetaraan.

Efisiensi Anggaran dan Implikasinya terhadap Perempuan

Pada saat yang sama, efisiensi anggaran yang pemerintah terapkan sering kali justru menambah beban perempuan. Pemotongan anggaran di sektor kesehatan dan pendidikan, misalnya, berdampak besar bagi perempuan yang lebih bergantung pada layanan publik ini. Minimnya anggaran untuk program perlindungan perempuan juga memperburuk situasi korban kekerasan berbasis gender. Di mana perempuan sulit mengakses bantuan hukum, layanan kesehatan, dan rumah aman.

Pengurangan subsidi bagi kebutuhan dasar seperti pangan, listrik, dan transportasi juga berdampak langsung pada perempuan. Terutama mereka yang bekerja di sektor informal atau menjadi tulang punggung keluarga. Ketika negara abai dalam memberikan perlindungan ekonomi, perempuan terpaksa menanggung beban yang lebih besar untuk bertahan hidup.

Gerakan “Indonesia Gelap” yang berlangsung pada 17 dan 20 Februari 2025 menjadi momentum bagi masyarakat menyuarakan kegelisahan terhadap ketimpangan yang semakin nyata. Dalam aksi ini, berbagai kelompok akan menyoroti dampak efisiensi anggaran terhadap semua sektor masyarakat termasuk perempuan. Serta menuntut kebijakan yang lebih pro-rakyat. Aksi ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap kegelapan sistem yang menindas dan menuntut transparansi serta keadilan sosial.

Aksi ini juga memperlihatkan bagaimana kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat memperburuk kondisi perempuan di berbagai sektor. Dengan partisipasi berbagai elemen masyarakat, aksi ini akan menjadi momentum untuk menekan pemerintah. Harapannya agar memberikan solusi nyata termasuk bagi kami perempuan yang selama ini terpinggirkan dari agenda pembangunan.

Menerangi Jalan ke Depan

Agar Indonesia keluar dari “kegelapan” ini, ada beberapa langkah yang dapat kita tempuh. Negara perlu memastikan penegakan hukum yang berpihak pada korban kekerasan berbasis gender. Pelatihan bagi aparat penegak hukum tentang perspektif gender perlu menjadi kebijakan wajib. Pemerintah perlumeningkatkan akses terhadap layanan hukum bagi korban kekerasan seksual dengan menyediakan layanan pendampingan hukum gratis.

Pendidikan yang berbasis gender idealnya menjadi bagian dari kurikulum sekolah untuk membongkar norma patriarki sejak dini. Kampanye publik tentang kesetaraan gender perlu untuk terus kita galakkan melalui media dan ruang-ruang publik lainnya.

Pemerintah selayaknya memperluas akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi. Ini termasuk kebijakan upah yang setara dan perlindungan pekerja informal serta pekerja rumah tangga. Program pemberdayaan ekonomi perempuan harus lebih luas lagi, dengan memberikan pelatihan kewirausahaan serta akses permodalan yang lebih luas.

Perlu juga untuk mendorong kepemimpinan perempuan dalam ruang politik. Dengan menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan politik berbasis gender serta memberikan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan muda. Menyediakan sistem pendukung bagi perempuan di politik agar dapat berpartisipasi secara maksimal tanpa hambatan struktural.

Kami pun membutuhkan perlindungan terhadap aktivis perempuan. Andai saja dapat menjadi prioritas, termasuk kebijakan yang menjamin kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi kelompok perempuan. Juga solidaritas antargerakan harus kuat untuk menghadapi represi terhadap aktivisme perempuan.

    Indonesia hanya akan keluar dari “kegelapan” jika negara, masyarakat, dan individu bergerak bersama. Demi untuk membangun sistem yang lebih adil dan setara. Perspektif feminis menawarkan analisis yang tajam terhadap ketidakadilan yang perempuan hadapi serta solusi konkret untuk mengatasinya. Perjuangan ini bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi seluruh masyarakat. Tanpa kesetaraan gender, pembangunan yang berkelanjutan hanyalah utopia semu. Saatnya menerangi Indonesia dengan keadilan dan kesetaraan bagi semua.

    Penulis: Milla Joesoef

    0Shares