Buku Sepinggan Indonesia karya Yuanita Maya bukan hanya memuat resep-resep masakan tradisional. Lebih dari itu, buku ini mengajak pembaca menyusuri lorong-lorong sejarah, budaya, dan identitas Indonesia, melalui aroma dan rasa yang lahir dari dapur-dapur rumah tangga.
Diskusi yang berlangsung secara daring melalui IG Live @suluh_perempuan ini menghadirkan tiga narasumber perempuan inspiratif: Yuanita Maya, Imbaniasih dari DPP Suluh Perempuan, dan Jung Nursabah dari Muslimah Reformis. Diskusi dipandu oleh Pupah Mafruhah.
Menulis dari Luka, Menyulam Makna dari Rasa
Yuanita Maya mengawali kisah di balik Sepinggan Indonesia dengan sangat personal. Buku ini lahir dari ruang penyembuhan dirinya atas depresi mendalam usai kehilangan sahabat. “Saya sudah sampai titik delusi, dan menulis buku ini jadi bentuk terapi,” ungkapnya.
Melalui buku ini, Yuanita menyelami kekayaan kuliner Indonesia, bukan hanya sebagai resep, tapi sebagai jendela memahami bangsa: dari toleransi di Kudus hingga kisah persahabatan lintas agama di Sulawesi Utara. Ia menyebut makanan tradisional sebagai “aforisme” untuk meneropong Indonesia. Tak hanya itu, seluruh keuntungan buku ini ia sumbangkan untuk panti rehabilitasi ODGJ di Kudus sebagai bentuk rasa syukur karena berhasil melewati fase tergelap dalam hidupnya.
Imbaniasih, aktivis Suluh Perempuan, menyambut buku Sepinggan Indonesia sebagai contoh nyata bahwa perempuan punya ruang daya yang luar biasa.
“Masak bukan cuma kerja rumah, tapi terapi jiwa,” ucapnya.
Ia menggambarkan bagaimana proses memasak sayur asam pun bisa menjadi ekspresi kreativitas yang menyembuhkan, menghangatkan, dan membangkitkan rasa syukur.
Dalam menghadapi arus globalisasi dan dominasi makanan instan, Imbaniasih menekankan pentingnya menjaga warisan kuliner tradisional, baik sebagai identitas budaya maupun pengikat sosial.
“Makanan kita itu lengkap. Ada sambal, kerupuk, sayur, itu nggak bisa digantikan oleh makanan instan,” tambahnya.
Lebih dari Sekedar Buku Resep
Jung Nursabah dari Muslimah Reformis dalam kesempatan ini mengapresiasi Buku ‘Sepinggan Indonesia’ tulisan Yuanita Maya. Menurutnya, buku ini mengajak pembaca untuk menjelajah Indonesia melalui citarasa kuliner dan keragaman seni budayanya. Di tengah keasikan membincang berbagai isu melalui masakan tradisional Nusantara, pembaca juga bisa mengeksplorasi rasa langsung lewat resep-resep masakan yang disuguhkan oleh penulisnya.
Sebagai aktivis yang mewakili Muslimah Reformis, Jung juga menyoroti nilai-nilai Islam yang terpatri dalam tradisi kuliner Nusantara. Menurutnya, makanan bukan sekadar soal rasa, tapi juga ruang berbagi, kebersamaan, dan syukur.
“Islam tidak menghapus budaya, tapi menyempurnakannya,” ujarnya sambil menyebut ketupat, tumpeng, hingga selamatan sebagai warisan yang sarat nilai ukhuwah dan tasamuh.
Ia juga mengajak untuk membalik narasi patriarkal bahwa dapur adalah beban perempuan.
“Justru dapur bisa jadi ruang produksi, ruang politik, ruang pemberdayaan ekonomi perempuan,” tegas Jung, merujuk pada banyaknya UMKM perempuan yang tumbuh dari dapur rumah.
Menanggapi soal toleransi beragama, Yuanita Maya menceritakan kekhasan masakan Soto Kudus. Ia mengatakan bahwa di Kudus orang tidak makan daging sapi sebagai bentuk toleransi beragama umat Islam kepada umat Hindu yang menganggap Sapi sebagai binatang yang suci.
Sepinggan Indonesia menyuguhkan kisah-kisah tentang ibu-ibu penjaga dapur warisan, tentang potluck sebagai budaya gotong royong, hingga potret keberagaman yang hadir lewat semangkuk sayur lodeh. “Kita bisa bicara toleransi lewat cerita masakan. Bisa bicara politik identitas lewat sambal,” ungkap Yuanita.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya makanan sebagai alat mempertahankan karakter bangsa. Dalam budaya Indonesia yang mengedepankan kolektivitas, makanan menjadi alat perekat sosial. “Di mana ada pertemuan, pasti ada makanan. Karena makanan itu bahasa kasih yang paling jujur,” tuturnya.
‘Sepinggan Indonesia’ bisa dibeli di toko buku online, maupun toko buku offline.
“Oh iya, semua keuntungan yang saya dapatkan dari buku ini, saya sumbangkan untuk panti ODGJ, karena itu sebagai bentuk terima kasih saya kepada Tuhan,” pungkas Yuanita Maya. (*)
Sukir Anggraeni
Terkait
Dari Jawa ke Betawi, Jejak Luhur Masita Riany
Sushila Karki, Teladan Gen Z Nepal dalam Melawan Korupsi
“Kemerdekaan Bukan Akhir, Tapi Awal Perjalanan Bangsa”