Dr. Samia Al-Amoudi dikenal sebagai salah satu perempuan paling berani dari Arab Saudi, ia termasuk dalam delapan perempuan paling berani di dunia. Dalam sebuah acara penghargaan internasional bertajuk International Women of Courage yang diadakan pada 7 Maret 2007 di Washington, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Condoleezza Rice, menyerahkan penghargaan atas keberanian Dr. Al-Amoudi.
Penghargaan ini diberikan oleh Departemen Luar Negeri AS untuk menghormati perempuan yang menunjukkan keberanian luar biasa dan kepemimpinan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Upacara penghargaan pertama kali diadakan pada tahun 2007 dan diprakarsai oleh Menteri Luar Negeri AS saat itu, Condoleezza Rice.
Sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta asisten profesor di Universitas King Abdulaziz (KAU), Dr. Al-Amoudi menjadi satu-satunya perempuan asal Arab Saudi yang menerima penghargaan tersebut. Ia terpilih bersama tujuh perempuan lain dari seluruh dunia, yang dinilai menunjukkan keberanian luar biasa dalam menghadapi tantangan hidup.
Tujuh perempuan lain yang menerima penghargaan antara lain: Mary Akrami: (Afghanistan), Mariana Yaipén-López: (Argentina), Siti Musdah Mulia: (Indonesia), Sarareh (Sara) Sadat Ghasemi: (Irak), Mariya Ahmed Didi: (Maladewa), Aija Pavlova: (Latvia), dan Jennifer Louise Williams: (Zimbabwe).
Para penerima penghargaan dipilih dari 82 nominasi yang diajukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dari berbagai negara. “Saya merasa sangat terhormat dan senang, tapi juga takut, karena ini menjadi tanggung jawab yang besar,” ujar Dr. Al-Amoudi.
Penghargaan tersebut diberikan kepada perempuan-perempuan yang telah bekerja keras demi kebaikan masyarakat dan menginspirasi banyak orang. Bagi Dr. Al-Amoudi, semuanya bermula ketika ia mendiagnosis dirinya sendiri mengidap kanker payudara. Reaksi pertamanya adalah memikirkan bagaimana cara memberi tahu anak-anaknya tentang penyakit tersebut.
Dr. Samia bercerita bahwa penyakit itu justru membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat. “Kanker ini tidak hanya membuat saya lebih kuat, tapi juga lebih mampu menghadapi krisis kehidupan. Saya jadi lebih beriman dan melihat hidup dengan sudut pandang yang berbeda,” ungkapnya.
Tanggal 7 April 2006, hari Jumat, menjadi momen penting yang mengubah arah hidupnya. Saat itu, secara tak sengaja ia meraba benjolan di payudaranya. “Dalam sekejap, naluri kedokteran saya langsung bekerja. Saya periksa benjolannya dan juga kelenjar getah bening di bawah lengan,” jelasnya. Ia menyadari dengan cepat bahwa benjolan itu adalah tumor, sesuatu yang ironis bagi seorang dokter.
Ketakutan pertama yang ia rasakan adalah bagaimana cara menyampaikan hal ini kepada anak-anaknya. Ia memiliki dua anak kandung: Abdullah yang saat itu masih di bangku SMP, dan Israa yang masih SD. Ia juga memiliki seorang anak tiri, Suzan, mahasiswa yang sudah ia anggap seperti anak kandung sendiri sejak lama.
Dr. Samia memilih cara bertahap untuk menjelaskan kondisinya kepada anak-anak. Ia mulai dengan menceritakan kisah seorang “teman” yang tinggal di Amerika dan menderita kanker. Lalu ia bertanya pada mereka: apakah si teman itu sebaiknya memberitahu anak-anaknya? Ketika anak-anak menjawab “ya”, barulah ia mulai mengungkapkan bahwa ia akan menjalani serangkaian tes karena ada benjolan di payudaranya.
Abdullah pun bertanya, “Apakah itu kanker, Bu?” Ia menjawab bahwa itu mungkin saja, namun ia akan menunggu hasil pemeriksaan dokter. Ia juga menjelaskan bahwa kanker bukan berarti akhir dari segalanya. “Saya bilang pada mereka bahwa Tuhan menguji orang-orang yang dicintai-Nya, dan akan membalas mereka di akhirat,” katanya.
Penyakit ini mengubah hidupnya sebagai individu, sebagai ibu, dan sebagai tenaga medis. Ia merasa terlalu sibuk untuk jatuh sakit, namun justru dari pengalaman inilah ia jadi lebih empatik terhadap pasien, karena benar-benar merasakan sendiri rasa sakit dan ketidaknyamanan selama perawatan.
Sebagai seorang dokter, ia tahu banyak perempuan tidak menyadari gejala kanker payudara sejak dini. Maka dari itu, ia memanfaatkan pengalamannya untuk mengadakan kampanye dan program kesadaran publik agar perempuan dapat mengenali gejala lebih awal. Ia juga sangat peduli pada anak perempuannya yang saat itu berusia 10 tahun — agar kelak tak perlu mengalami hal yang sama.
“Kanker payudara ini adalah pesan cinta yang ingin saya sampaikan pada semua perempuan. Jangan abaikan atau tunda pemeriksaan dini. Jaga dirimu,” pesan Dr. Samia.

Cerita Musdah Mulia tentang Dr. Samia al-Amoudi
Musdah Mulia dari Indonesia, yang juga sebagai salah satu penerima ‘2007 International Women of Courage Award’ punya cerita sendiri tentang Dr. Samia al-Amoudi.
Dalam buku tebal karyanya, ‘Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara’ dituliskan bahwa Dr. Samia al-Amoudi bekerja mengedukasi perempuan Arab sehingga terhindar dari penyakit kanker payudara yang merupakan pembunuh nomor satu bagi perempuan muda di Arab Saudi. Untuk itulah dia sangat aktif memberikan penyuluhan dan mengedukasi masyarakat, terutama perempuan tentang bagaimana mencegah dan mengatasi penyakit kanker, khususnya kanker payudara. Dalam berbagai penyuluhan dan pembelajaran yang dia sampaikan di masyarakat, baik melalui televisi, radio, dan media elektronik lainnya, dia terpaksa harus menunjukkan gambar payudara dan organ perempuan lainnya yang terkait dan beresiko terkena kanker.
Namun, aktifitasnya itu disalahpahami oleh ulama konservatif dan kelompok fundamentalis Islam. Dia dituduh melegalkan aksi pencabulan dan pornografi sehingga ditangkap polisi. Parahnya lagi, suaminya pun marah kepadanya lalu menceraikannya. Akan tetapi anak-anak Dr. Samia memihak dia, termasuk anak tirinya gigih membelanya. Menurut Dr. Samia, kurangnya literasi kesehatan terkait organ-organ payudara menyebabkan penyakit ini mengganas di masyarakat, padahal penyakit ini bisa dicegah dengan perawatan organ-organ tubuh secara benar.
Meski ditangkap polisi, diceraikan suami, serta dikucilkan dari masyarakat, Dr. Samia bergeming dan terus melanjutkan perjuangan nya meski mendapatkan tantangan yang bertubi-tubi baik dari keluarga maupun masyarakat nya.(*)
Sukir Anggraeni
Dari berbagai sumber
Terkait
Nani Nurani, Suara yang Tak Pernah Padam
Pentas Teaterikal, Bebaskan 11 Warga Maba Sangaji
Puisi: Halmahera Murka