19 April 2024

Kewajiban Perempuan dalam Perjuangan kemerdekaan Indonesia (3/5)

0Shares

(Sekilas Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia)

 

Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan; “bahwa soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.” Demikian penting soal wanita ini menjadi bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara, sehingga pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan dalam membangun gerakan perempuan.[i]

 

Sukarno mengatakan: “nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme.

Kita sadar bahwa kaum perempuan Indonesia masih merupakan bagian dari masyarakat marginal. Kapitalisme berkepentingan melanggengkan struktur dan budaya yang patriarkal untuk memperpanjang kekuasaannya. Sehingga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Di satu sisi gerakan perempuan harus mengembalikan kepercayaan diri dan kemampuan pada diri kaum perempuan untuk bisa menolong dirinya sendiri. Sehingga pada gilirannya kelak mereka dapat berdiri tegak sebagai pribadi yang merdeka. Di pihak lain, gerakan perempuan sadar bahwa mereka punya peran penting dalam perjuangan yang lebih luas.[ii]

Di penghujung abad ke-19, ketika Kartini menulis tentang ketertindasannya sebagai perempuan Jawa. Ia menyadari bahwa pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir di kalangan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan semata-mata tugas perempuan. Kartini memang belum berpikir tentang Indonesia, tetapi dia sangat menyadari bahwa nasib “bangsa boemipoetra” saat itu sedang berada di bawah kekuasaan feodal dan kolonial.

Gagasan Kartini tentang pentingnya kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi semua orang tanpa membedakan gender dan kelas untuk meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa menjadi salah satu syarat kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional sejak awal abad ke-20. Kartini mendesakkan, bahwa prasyarat perjuangan pembebasan manusia harus mempertimbangkan pengalaman perempuan sampai wilayah yang paling privat, yakni lembaga perkawinan. Hal ini berbeda dengan dengan Tjoet Nja’ Dhien di Aceh, Nyi Ageng Serang di Jawa, atau Martha Chistina Tiahahu di Maluku, yang memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipercayai untuk mengarungi dunia laki-laki.

Dengan kebijakan politik Etis pada awal abad ke-20, penguasa kolonial yang menganggap kaum bumiputra malas, bodoh dan tidak beradab membuka ruang-ruang pendidikan secara luas dengan harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian Kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh kaum bumiputra yang menganggap kemajuan sebagai tumbuhnya gairah untuk berpikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat dalam kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan.

Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar (sedikit) berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat mereka berpikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Sementara, kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum terpuruk. Di tingkat elit, perempuan semata-mata dijadikan perhiasan rumah tangga, tidak berpengetahuan, tidak memiliki wawasan, dan menjadi korban poligami. Di tingkat bawah, kemiskinan mendorong perempuan menerima kawin paksa sejak usia dini, yang bisa menggiring mereka pada perceraian tidak adil secara berulang, prostitusi dan pergundikan. Mereka berpendapat, dengan bekal pendidikan dan ketrampilan, perempuan akan mampu mengusahakan hidup sendiri dan tidak bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Sedangkan pengetahuan kerumahtanggaan, kesehatan ibu dan anak, gizi, kebersihan akan membuat perempuan mampu merawat keluarga dengan lebih baik.

Semangat inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1904 sekolah perempuan pertama Sekolah Istri didirikan oleh Dewi Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri dan meluas menjadi sembilan sekolah yang memberi perhatian terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911; dan di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan Sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada 1917. Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya dengan mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di Semarang. Di kalangan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pada pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma El Joenoesia, pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama Dinijah Poetri.

Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputra yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat. Di samping itu perempuan juga membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi, penerbitan dan pertemuan umum. Poetri Mardika didirikan di Jakarta pada tahun 1912, didorong oleh Boedi Oetomo. Sementara surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia, yang diterbitkan oleh jurnalis R.M. Tirto Adhisoerjo di Bandung pada 1909, masih dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian, Rohana Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya dikelola perempuan. Dalam waktu kurang lebih 15 tahun organisai-organisasi  lainpun berdiri di berbagai kota dengan kegiatan, antara lain; menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta 1935 berulangkali menekankan pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia. Persoalan sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa. Masalah poligami mulai menjadi tema, yang menurut Sitti Soendari, adalah merupakan masalah perempuan. Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan? Hal ini mendorong Kongres Perempuan Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan di bawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan di dalamnya menjadi masalah politik kebangsaan.

Organisasi-organisasi perempuan bukannya tidak menyadari sisi politis dari perjuangan mereka. Namun, kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak perempuan. Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat menghinakan Islam dan menceraiberaikan rakyat Indonesia dengan membicarakan poligami membuat kongres-kongres perempuan di masa sebelum kemerdekaan tidak berbicara tentang agama dan politik. Mungkin satu-satunya organisasi perempuan yang berani menerobos batasan gerak politik perempuan dan menolak poligami adalah Istri Sedar yang didirikan pada 1930 di bawah Soewarni Pringgodigdo. Soewarni menyatakan: “Perempuan Indonesia berhak atas keadilan dan kemerdekaan, dan poligami adalah penolakan sesungguhnya dari keadilan dan kemerdekaan.” Ketika Soekarno menyatakan bahwa gerakan perempuan pertama-tama harus mendukung kemerdekaan nasional sebelum menuntut hak-haknya, Soewarni berpendapat sebaliknya, bahwa kesetaraan perempuan menjadi prasyarat memenangkan kemerdekaan nasional.

Posisi politik sebagai ibu bangsa mencerminkan tentang keperempuanan dan kebangsaan yang sangat terkait dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran sosialnya sebagai ibu rumah tangga. Rumusan ibu bangsa ini dapat dipahami sebagai strategi gerakan perempuan memperoleh tempat dalam pergerakan nasional tanpa menimbulkan banyak tentangan dari pihak laki-laki. Akan tetapi, di pihak lain, strategi ibu bangsa ini mengukuhkan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perempuan tetap dilihat sebagai makhluk domestik. Pembedaan ini membatasi dan membebani keterlibatan perempuan di ranah publik. Perempuan dapat terlibat dalam kegiatan politik selama mereka tidak melupakan tugasnya melahirkan keturunan baru dan mengurus rumah tangga. Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada tanggal 22 Desember 1938, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, muncullah semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”, yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu masyarakat dan ibu bangsa.**[iii]

Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan perempuan mulai mengambil tugas-tugas perjuangan. Bersama kaum laki-laki perempuan bergabung dalam perjuangan pembebasan nasional dan menjadikan organisasi sebagai alat perjuangannya. Isteri Sedar sebuah organisasi perempuan yang didirikan di Bandung dalam kongresnya tahun 1932 menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesa melalui perjuangan kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi bentukan Jepang untuk para istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah memobilisir dukungan demi kepentingan fasisme Jepang. Salah satu kegiatan dari Fujinkai ini adalah pemberantasan buta huruf.[iv]

Pasca kemerdekaan banyak tumbuh organisasi perempuan, diantaranya adalah Wanita Marhaen yang merupakan sayap perempuan partai nasionalis. Dan juga Gerakan Wanita Sadar (Gerwis) yang kemudian pada tahun 1954 berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Gerwani inilah organisasi perempuan terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah sehingga sering dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam perjalanannya Gerwani banyak memberikan upaya bagi peningkatan kesadaran kaum perempuan dan memperjuangkan hak-hak ekonomi dan politiknya.

Sayangnya, gerakan perempuan terputus sejak 1 Oktober 1965. Rezim Orde Baru yang dimotori oleh Soeharto menumpas habis gerakan kiri termasuk ormas Gerwani yang secara keanggotaannya sangat besar, yakni sekitar 1,5 juta anggota perempuan. Inilah titik balik gerakan perempuan, di mana pasca itu gerakan perempuan direduksi dan hanya menjadi alat bagi pelanggeng kekuasaan Soeharto. Lewat wadah PKK dan Dharma Wanita, wadah-wadah perempuan ini menjadi alat mobilisasi kaum perempuan dalam program pembangunananisme. Dengan kepandaian memutar-balikkan bahasa, orde baru menyebut penghilangan peran perempuan dalam dunia politik ini sebagai “normalisasi” populasi perempuan. Jadi, situasi keterlibatan perempuan dalam politik dianggap abnormal, sementara domestifikasi peran dinilai sebagai hal normal belaka.

Hampir setengah abad, sejak adanya gerakan satu oktober yang sering disebut dengan Gestok atau lebih terkenal dengan G/30/S/PKI kita kaum perempuan tercerai berai tanpa sebuah wadah dan gerakan perempuan yang signifikan. Penumpasan yang dilakukan oleh Soeharto terhadap kelompok kiri dan revolusioner yang kemudian seringkali disebut sebagai tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia, merupakan awal dari sejarah kelam gerakan perempuan. Sejarahpun mengalami distorsi, dimana kaum perempuan yang tergabung dalam Gerwani ini dianggap sebagai sosok-sosok perempuan yang tanpa rasa peri kemanusiaan dan dengan tari-tarian bugilnya ikut melakukan penyiksaan terhadap para jenderal di lubang buaya.

 

Walaupun sudah banyak kajian sejarah yang membuktikan bahwa apa yang dituduhkan dan disangkakan terhadap Gerwani tidak benar, tetapi stigma buruk terhadap kaum perempuan yang tergabung dalam Gerwani ini terus saja dilanggengkan. Padahal tak sedikit dari anggota dan pimpinan Gerwani yang justru mendapat perlakuan tak senonoh, disiksa dan dihukum tanpa lewat pembuktian di pengadilan. Stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap Gerwani dan para anggotanya inilah yang menyebabkan terputusnya mata rantai gerakan perempuan.

 

Seiring bergulirnya waktu, sejarah pulalah yang membukakan mata kepada kaum perempuan Indonesia, bahwa perjuangan panjang kaum perempuan harus terus dikibarkan. Kaum perempuan kini harus mengambil bagian dalam perjuangan pembebasan nasional bersama dengan laki-laki. Menolak liberalisasi ekonomi, sistem kapitalisme dan imperialisme dengan kembali kepada semangat UUD 1945.

[i] Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20110627/perempuan-perlu-membangun-organisasi-massa.html#ixzz3EFc8w184

 

 

[ii] Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20140407/kartini-dan-gerakan-perempuan.html#ixzz3EbOluDVx

 

 

[iii] Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20140723/perempuan-sebagai-ibu-bangsa-potret-sejarah-awal-pergerakan-perempuan.html#ixzz3EFOfVaJZ

 

[iv] Artikel Gadis Arivia, Soekarno dan Gerakan Perempuan: Kepentingan Bangsa Versus Kepentingan Perempuan, Jakarta, 2000, hal. 2 – 3.

 

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai