Sebuah puisi karya RA Kartini ditulis pada September 1904
Kepada kawan – kawan kami,
Apakah gerangan yang menyebabkan manusia – manusia,
Sebelumnya tak saling mengenal,
Sejenak … saling memandang, lalu berkehendak
Tak akan berpisah selama – lamanya
Apakah gerangan yang mengharukan hati
Waktu mendengar bunyi suara
Tak pernah didengar sebelumnya
Lama bak rekuiem berdesing di telinga kami
Apakah gerangan yang membuat jiwa,
Dalam gembira ria melambung tinggi
Membuat hati hebat berdetak ?
Bila sepasang mata,
Manis memandang mata kami
Dan kami teringat jabat tangan hangat
Tahukah kau, samudra biru
Yang mengombak dari pantai ke pantai
Tahukah kau berkata kepadaku
Ada dasar keajaiban itu, wahai !
Katakan padaku, angin bersayap cepat
Dari tempat – tempat jauh kau datang
Apakah gerangan yang tak dipanggil datang
Selamanya mengikat hati kuat – kuat
Wahai !
Katakan, surya emas bercahaya – cahaya
Sumber cahaya dan panas alam semesta nan kuasa
Apa gerangan keajaiban besar itu namanya ?
Yang membuat hati kita dengan nikmatnya
Melembutkan, melupakan duka
Yang menghampiri kita di dunia ?
Sinar matahari menembus dedaunan
Jatuh pada pasang naik bergelombang
Menjadi serba berkilauan di sekitar, serba terang
Di bawah sinar cahaya matahari keemasan
Permainan permai dari cahaya dan warna
Disaksikan mata nan gembira ria
Dan dari dada yang terharu dalam
Membubungkan puji syukur yang dalam !
Bukan suatu keajaiban, melainkan tiga !
Berkilauan di atas indung mutiara yang cair
Dengan huruf berlian tertulis oleh cahaya :
” Cinta, Persahabatan, Simpati ! “
Cinta, Persahabatan, Simpati,
Riak ombak menggumam menirukan
Bayu di pepohonan menyanyikan
Kepada anak manusia yang bertanya
Manis terbelai telinga yang mendengarkan
Oleh nyanyian gelombang dan angin nan ajaib
” Di seluruh … seluruh dunia
Jiwa yang sama akan berjumpa ! “
Jiwa yang sama tak memandang warna
Tak memandang pangkat dan tingkat
Tetapi tangan berjabat
Dalam hal apapun jua !
Dan bila jiwa telah berjumpa
Tak terlepaskan lagi ikatan
Yang mengikatnya, dan dalam hal apa jua
Meski waktu dan jarak, tetap setia
Suka duka ditanggung bersama
Demikian sepanjang hidup !
Duhai ! Bahagia nian bertemu dengan jiwa nan sama
Telah bersua harta terkudus.
Kredit Foto: Har Toyo
*Dibacakan oleh Masita Riany di Reboan Perempuan, bersama kawan – kawan GIMS ( Gerakan Indonesia Membaca Sastra ), Komnas Perempuan dan kawan – kawan aktivis perempuan lainnya. Kedai Tjikini – Jakarta,1 May 2013.
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Paus Membasuh Kaki Semua Umat di Indonesia, Melangkah dalam Keberagaman dan Kesetaraan
Puisi: Ketukan Palumu