Pada Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang diperingati setiap tanggal 29 Desember, Komnas Perempuan telah menyelesaikan manual perlindungan keamanan perempuan pembela HAM (PPHAM) di Indonesia (29/12/2022).
“Ini merupakan upaya kami agar selalu mengingat apa yang menjadi bagian kerja perempuan pembela HAM (PPHAM) itu memiliki risiko, karena itu menjadi ruang yang sangat kuat bagi kita dalam memastikan keamanan PPHAM,” ucap Theresia pada Webinar Peringatan Hari PPHAM.
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM RI menambahkan “Kita juga berharap agar manual ini bisa menjadi instrumen yang makin menguatkan akses bagi PPHAM, selain dari perspektif atau paradigma penegakan HAM”.
Menurutnya, hak asasi perempuan selayaknya dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai berikut:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang.”
Dalam pelaksanaannya, hak perempuan sama seperti halnya hak laki-laki dan hak tersebut sebagaimana telah disepakati dunia internasional dimasukkan dalam Konvensi CEDAW. Perempuan adalah juga manusia, karena itu hak perempuan adalah hak asasi manusia.
Hak Atas Standar Hidup yang Layak
Di antara instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia terdapat hak atas standar hidup yang layak. Hak atas standar hidup yang layak tercantum di dalam Pasal 25 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 Menegaskan “Semua orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Baca juga: Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia
Lalu pada pasal 28 H ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan“.
Ironi Antara Hukum dan Realitas
Akan tetapi banyak perempuan adat di Jawa, Papua, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Begitu pula perempuan nelayan di Natuna, Babel, Sulawesi, Pulau Pari dan lainnya.
Ibu-ibu petani di Wadas, Enrekang, Minahasa, Jambi harus bersitegang dengan kekuatan dan persenjataan tak sepadan di hadapan mereka demi mempertahankan sumber penghidupan. Perampasan atas tanah dan hunian juga terjadi pada perempuan miskin di kota-kota besar demi tata kota yang bebas dari kesan kumuh tanpa menyelesaikan persoalannya yang paling mendasar.
Baca juga: Menggemakan 16HAKTP
Ketimpangan sosial ekonomi, kemiskinan dan pemiskinan oleh sistem, ketidakmampuan pemerintah setempat mengentaskan kemiskinan, sehingga lebih memilih menyingkirkan kaum miskin dari pandangan mata mereka. Tidak sinkronnya implementasi HAM di lapangan mudah sekali kita ketemukan sehingga dapat kita simpulkan hak ekonomi, sosial dan budaya terutama pada masyarakat akar rumput, belum terpenuhi.
Urgensi Penegakan HAM
Bahkan tidak hanya itu, dalam perjuangan penegakan HAM, juga terjadi pelanggaran HAM pada para perempuan pembela HAM (PPHAM). Seperti halnya ancaman hingga kekerasan yang meliputi kekerasan verbal, fisik, psikis bahkan kekerasan seksual.
Di tengah urgensi penegakan HAM ini setidaknya dengan terbitnya manual perlindungan keamanan PPHAM, kita memiliki sebuah harapan. Semoga saja komitmen dari segenap lembaga berwenang dapat kita andalkan. (*)
Mila Nabilah
Baca juga: Ecoprint, Bagian dari Green Jobs untuk Adaptasi Perubahan Iklim
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif